Catatan untuk blog majelisrasulullah.org: Untukmu yang Belum Tahu Tentang Siapa Sebenarnya Habib Mundzir…?

Catatan admin blog maktabah Imu: berikut ini adalah tulisan ustadz Abdullah Al Jakarty yang saya copy paste di blog ini untuk berbagi . Semoga bermanfaat.

___________________________________________________

Tulisan Pertama: Untukmu yang Belum Tahu Tentang Siapa Sebenarnya Habib Mundzir…?

Oleh: Abu Ibrahim ‘Abdullah Bin Mudakir

Siapa yang tidak kenal dengan Habib Mundzir Al-Musawa dengan majelis Rasulullahnya?, sebagian orang (orang-orang awam yang jauh dari ilmu syar’i), orang-orang yang fanatik, dan orang-orang yang tersesat menganggapnya sebagai seorang yang memiliki ilmu atau bahkan seorang ulama. Namun bagi mereka yang sedikit saja mempunyai ilmu dan pemahaman agama yang baik dan benar maka dengan mudah dan jelas dapat menilai siapa Habib Mundzir sebenarnya. Namun karena begitu besar fitnah yang dibawa oleh Habib Mundzir maka dari itu kami merasa terpanggil untuk menjelaskan kepada ummat tentang siapa sebenarnya Habib Mundzir dalam rangka nasihat kepada ummat.
Allah Subhaanahu wata’aala berfirman :

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ المُنْكَرِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ المُفْلِحُونَ

 “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (Qs. Ali Imran : 104)
dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
الدِّينُ النَّصِيحَةُ .قُلْنَا لِمَنْ قَالَ  لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ ».

“Ad-Din (agama) adalah nasehat. Kami bertanya : untuk siapa? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “ Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya dan Imam-imam kaum muslimin serta seluruh kaum muslimin.” (HR. Muslim dari shahabat Abu Ruqayyah Tamiim bin Aus Ad-Daarii)
Insya Allah di bawah ini penjelasan sederhana tentang penyimpangan dan kesesatan Habib Mundzir :

Pertama : Kebodohan dan penyelisihan Habib Mundzir terhadap makna dan hakekat tauhid 
Bagaimana mungkin seorang yang dianggap sebagai seorang yang memiliki ilmu atau bahkan seorang ulama oleh para pengikutnya ternyata seorang yang bodoh terlebih lagi dalam masalah tauhid, yang merupakan pondasi agama kita dan inti  dakwah para Rasul. Hal ini diketahui dari sepak terjang Habib Mundzir, dari perkataannya, dari ceramah-ceramahnya dan dari perbuatan dan amalannya. Di sisi Habib Mundzir tauhid adalah tauhid yang orang musyrik zaman dahulu pun menyakininya yaitu sebatas pada tauhid Rububiyyah yaitu tidak ada pencipta selain Allah, tidak ada yang pemberi rezeki selain Allah dan tidak ada yang mengatur alam semesta ini selain Allah.
Allah Subhaanahu wata’aala berfirman mengkhabarkan bahwa orang musyrik pun mengimani hal ini :
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ المَيِّتِ وَيُخْرِجُ المَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللهُ فَقُلْ أَفَلا تَتَّقُونَ

Katakanlah: 'Siapakah yang melimpahkan rezeki kepada kalian dari langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka Katakanlah “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (QS. Yunus : 31).

Berkata Ibnu Katsir Rahimahullah :
{ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ } أي: هم يعلمون ذلك ويعترفون به، { فَقُلْ أَفَلا تَتَّقُونَ  أي: أفلا تخافون منه أن تعبدوا معه غيره بآرائكم وجهلكم؟

(Maka mereka akan menjawab: “Allah”). Yaitu mereka mengetahui dan mengakui yang demikian itu (Allah sebagai pencipta, pemberi rezki dll –ed), “(Maka Katakanlah “Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” yaitu kenapa kalian tidak takut kepada-Nya yang kalian beribadah bersama-Nya yang lainnya dengan pendapat-pendapat kalian dan dengan kebodohan kalian.” (Tafsir Ibnu Katsier, Jilid 4 hal 287, cet. Daarul Hadits Al-Qaahirah)

Berkata salah seorang ulama ahlussunnah dari negeri Yaman, Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab Al-Whusoby hafidzahullah :
ولم ينكر هذا القسم أحد إلا فرعون والنمرود والدهرية قديما والشيوعية حديثا, والمنكر له يعتبر كافرا ملحدا

“Tidak ada yang mengingkari tauhid dengan jenis ini (tauhid rububiyyah) kecuali fir’aun, namrud, Ad-Duhriyah di masa lalu dan komunis di masa kini. Orang yang mengingkari jenis ini terhitung kafir mulhid (atheis).” (Al-Qaulul Mufiid Fi Adilatit Tauhid : 78, Cet. Maktabah Al-Irtsaad, Shan’a Yaman)
Dan hal ini (keimanan/pengakuan terhadap tauhid rububiyyah) semata tidaklah cukup sampai seseorang mentauhidkan Allah di dalam beribadah. Yaitu seseorang tidaklah beribadah kecuali hanya kepada Allah semata dan tidak kepada yang lainnya. Dia menyerahkan seluruh ibadahnya hanya kepada Allah Subhaanahu wata’aala dan tidak kepada yang lainnya. Shalatnya, doanya, menyembelih hewannya, tawakalnya dan seluruh ibadahnya hanya dia peruntukkan kepada Allah semata dan tidak kepada yang lainnya siapapun orangnya. Namun Habib Mundzir bodoh terhadap hal ini (yaitu memahami tauhid uluhiyyah/ibadah). Sehingga dia menolak untuk di ajak beribadah hanya kepada Allah semata dan meninggalkan peribadatan kepada selain Allah, tetapi yang dia inginkan selain beribadah kepada Allah juga beribadah kepada orang shalih, baik itu nabi atau yang lainnya yang mereka anggap wali (1). Mereka menolak untuk diajak  bersandar dan bertawakal hanya kepada Allah semata tetapi yang mereka inginkan bersandar dan bertawakal kepada Allah dan juga bersandar dan bertawakal kepada kuburan-kuburan yang mereka anggap wali.  Padahal Allah Subhaanahu wata’aala berfirman :
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan memohon pertolongan” (QS. Al-fatihah : 5)
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya”. (QS. An-Nisaa : 36)
Berkata salah seorang ulama Yaman serta ulamanya kaum muslimin, Al-Imam Shan’ani Rahimahullah :
“ Segala puji bagi Allah yang tidak menerima tauhid rububiyyah dari hamba-Nya, sampai mereka mentauhidkan-Nya dalam ibadah dengan seluruh bentuk pengesaan (penyerahan ibadah hanya kepada-Nya). Sehingga mereka tidak mengambil tandingan bagi Allah, tidak menyeru (berdoa) bersama Allah siapapun, tidak bersandar kecuali kepada-Nya, tidak berlindung pada setiap keadaan kecuali hanya kepada-Nya, tidak berdoa kepada-Nya dengan selain dari asmaul husna (nama-nama yang indah) dan tidak bertawasul kepada-Nya dengan perantaraan pemberi syafaat.

مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلّا بِإِذْنِهِ

“Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya (Qs. Al-Baqarah : 255)

Saya bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah, satu-satunya Rabb dan sesembahan yang haq, dan muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya yang Allah perintah untuk mengatakan :
   قُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللهُ

“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. “ (Qs. Al-A’raf : 188). (Kitab Tah-hirul I’tiqad ‘An Adranil Ilhad : 22)

Berkata Syaikh Al-Allamah Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah :
وهذا القسم كفر به وجحده أكثر الخلق
“ Macam tauhid ini (tauhid uluhiyyah/ibadah -ed) yang kebanyakan manusia mengingkari dan menolaknya.” (Al-Qaulul Mufiid ‘Ala Kitabit Tauhid : 12, Cet. Dar Ibnul Jauzi)
Berkata salah seorang ulama ahlussunnah dari negeri Yaman, Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab Al-Whusoby hafidzahullah  :
والذي أنكروا هذا القسم هم المشركون قديما والقبوريون حديثا
 “Orang-orang yang mengingkari tauhid jenis ini (tauhid uluhiyyah/ibadah –ed) adalah orang-orang musyrik pada zaman dahulu dan para penyembah kuburan pada masa sekarang.” (Al-Qaulul Mufiid Fii Adilatit Tauhid : 80, Cet. Maktabah Al-Irtsaad, Shan’a Yaman).

Bersambung insya Allah pada penyimpangan dan kesesatan berikutnya….
 _______________ 
Catatan:

(1)   Diantara sekian banyak bukti dari apa yang kami sampaikan adalah perkataan Habib Mundzir berikut ini, Habib Munzir menyatakan pada bukunya “Meniti Kesempurnaan Iman” (pada halaman 4-5): “Istighatsah adalah memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya, untuk sebagian kelompok muslimin hal ini langsung di vonis syirik, namun vonis mereka itu hanyalah karena kedangkalan pemahamannya terhadap syariah islam, Pada hakekatnya memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya adalah hal yang diperbolehkan selama ia seorang Muslim, Mukmin, Shalih dan diyakini mempunyai manzilah di sisi Allah swt, tak pula terikat ia masih hidup atau telah wafat…” (sampai di sini penukilannya)

Bantahannya
Wahai Habib Mundzir, doa itu adalah ibadah, tidak boleh dipalingkan untuk selain Allah. Dan diantara bentuk doa adalah istighatsah (memohon pertolongan setelah terjadinya musibah). Jika dipalingkan kepada orang mati maka mutlak bentuk kesyirikan akbar. Siapapun orang mati yang ditujukan doa kepadanya.
Allah Subhaanahu Wata’aala berfirman
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kapada Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. (Qs. Al-Mu’min : 60)
Berkata Syaikh Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad Qaasim An-Najdi Rahimahullah : “ Dinamakan (pada ayat ini) doa adalah ibadah, dan datang dalam Al-Qur’an dalam banyak tempat (ayat) bahwasanya doa adalah ibadah, maka memalingkannya kepada selain Allah adalah bentuk kesyirikkan akbar (besar).” (Haasiyah Tsalasatul Ushuul : 36)

Allah Subhaanahu Wata’aala berfirman :
إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ

“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu.” (Qs. Al-Anfal : 9)

Berkata Syaikh Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad Qaasim An-Najdi Rahimahullah
“ Ditunjukkan pada ayat (ini) bahwasanya istighatsah adalah ibadah, maka apabila dipalingkan kepada selain Allah merupakan perbuatan kesyirikan.” (Haasiyah Tsalasatul Ushuul : 36)
Dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu berkata : Rasululloh shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
الدعاء هو العبادة
” Doa adalah ibadah.” (HR. Bukhari di dalam adabul mufrod dishahihkan oleh Syaikh Muqbil di Shahihul musnad mima laysa fi shohihain)
Berkata Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz Bin Baaz RahimahullahAdapun berdoa kepada orang mati,  atau yang tidak hadir di hadapannya yang tidak mendengar ucapanmu, atau berdoa kepada patung, atau jin atau pohon  dan yang selainnya  maka ini perbuatan syirik orang musyrik ” (Syarh Tsalatsah Al-Ushul : 14)

http://membantahquburi.wordpress.com/  


Penyimpangan Kedua: Kebodohan dan Penyimpangan Habib Mundzir Terhadap Tauhid Asma’ wa Sifat dan Menyandarkan Penyimpangannya Kepada Pemahaman Salaf adalah Sebuah Kedustaan darinya.


Di antara kesesatan dan penyimpangan yang dilakukan oleh Habib Mundzir Al-Musawa adalah dalam masalah tauhid asma wa sifat. Namun sebelum lebih jauh menjelaskan kesesatan dan penyimpangan Habib Mundzir dalam masalah tauhid asma’ wa sifat, maka alangkah baiknya kita memulai dengan menjelaskan makna tauhid dan macam-macamnya secara ringkas.
Tauhid adalah Mentauhidkan Allah dengan apa-apa yang merupakan kekhususan bagi Allah, di dalam Rububiyah-Nya, Uluhiyah-Nya dan Asma’ wa Sifat-Nya. (Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid , Syaikh Ibnu Utsaimin : 11 dan Syarh Kasyfisy Syubhaat, Syaikh Ibnu Utsaimin : 21)
Para ulama membagi tauhid  menjadi tiga macam berdasarkan penelitian dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah
Tauhid rububiyah adalah mentauhidkan Allah di dalam perbuatan-Nya. Yaitu mengilmui dan meyakini bahwa Allah sematalah yang mencipta, memberi rizki dan mengatur alam semesta ini.

Dalilnya firman Allah Ta’aala :
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Artinya:  “Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.  (QS. Al-Fatihah : 2)
Tauhid Uluhiyyah adalah mentauhidkan Allah di dalam perbuatan hamba, yaitu dengan beribadah hanya kepada Allah semata yang tidak ada sekutu baginya dengan seluruh macam-macam ibadah.
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

Artinya : “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya”. (QS. An-Nisaa : 36)
Tauhid Asma wa Sifat yaitu mentauhidkan Allah Subhaanahu wa ta’aala dengan menetapkan seluruh nama-nama dan sifat-sifat yang Allah tetapkan untuk diri-Nya dan yang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tetapkan untuk Allah, dengan tanpa tahrif (menyelewengkan makna yang benar ke makna yang tidak benar), dengan tanpa ta’thil (menolaknya) dengan tanpa takyif (menghayalkan bagaimana sifat Allah) dan dengan tanpa tamtsil (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya).
Allah Subhaanahu wata’aala berfirman :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ

 Artinya : “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (QS. As-Syura : 11)
(Silahkan lihat penjelasan pembagian tauhid menjadi tiga beserta penjelasannya di kitab-kitab syarh para ulama terhadap kitab tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dan syarh matan-matan aqidah)

Aqidah yang benar tentang tauhid asma wa sifat sebagaimana telah dijelaskan pengertiannya di atas. Berikut ini sebagai tambahan penjelasan dari perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullaah :
وَمِنْ الْإِيمَانِ بِاَللَّهِ : الْإِيمَانُ بِمَا وَصَفَ بِهِ نَفْسَهُ فِي كِتَابِهِ وَبِمَا وَصَفَهُ بِهِ رَسُولُهُ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ غَيْرِ تَحْرِيفٍ وَلَا تَعْطِيلٍ وَمِنْ غَيْرِ تَكْيِيفٍ وَلَا تَمْثِيلٍ بَلْ يُؤْمِنُونَ بِأَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ : { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ } . فَلَا يَنْفُونَ عَنْهُ مَا وَصَفَ بِهِ نَفْسَهُ وَلَا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَلَا يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَاءِ اللَّهِ وَآيَاتِهِ وَلَا يُكَيِّفُونَ وَلَا يُمَثِّلُونَ صِفَاتِهِ بِصِفَاتِ خَلْقِهِ لِأَنَّهُ سُبْحَانَهُ لَا سَمِيَّ لَهُ وَلَا كُفُوَ لَهُ وَلَا نِدَّ لَهُ وَلَا يُقَاسُ بِخَلْقِهِ – سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – فَإِنَّهُ سُبْحَانَهُ أَعْلَمُ بِنَفْسِهِ وَبِغَيْرِهِ وَأَصْدَقُ قِيلًا وَأَحْسَنُ حَدِيثًا مِنْ خَلْقِهِ ثُمَّ رُسُلُهُ صَادِقُونَ مَصْدُوقُونَ
“Dan bagian dari beriman kepada Allah adalah beriman  dengan sifat – sifat yang Allah sifati diri-Nya sendiri di dalam kitab-Nya,  dengan tanpa tahrif (menyelewengkan makna yang haq (benar) kepada makna yang tidak benar), dengan tanpa ta’thil (menolaknya), dengan tanpa takyif (menghayalkan sifat Allah) dengan tanpa tamtsiil (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Bahkan beriman bahwasanya Allah Ta’aala berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia As-Samii’ (Maha Mendengar) dan Al-Bashiir (Maha Melihat).” (Qs. Asy Syura : 11)
 Janganlah kalian menolak untuk-Nya sifat-sifat yang Allah mensifati diri-Nya sendiri, janganlah kalian memalingkan ayat tentang sifat Allah dari maksud sebenarnya, janganlah kalian berpaling dari nama-nama Allah dan ayat-Nya, janganlah kalian menyamakan sifat-sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya, dikarenakan Dia, yang Maha Suci bagi-Nya, tidak ada yang menyamai-Nya, tidak ada tandingan bagi-Nya, dan tidak diqiaskan Dia dengan makhluq-Nya, Maha Suci Allah Ta’aala, dikarenakan Dia, Maha Suci bagi-Nya lebih mengetahui diri-Nya sendiri dari selain-Nya, dan yang paling jujur perkataannya serta paling baik ucapannya dari makhluk-Nya kemudian Rasul-Nya adalah orang yang benar lagi dibenarkan.” (Matan Aqidah Al Wasithiyah)

Adapun yang ditempuh oleh Habib Mundzir adalah jalannya orang-orang sesat lagi menyimpang,  jalan-Nya orang-orang yang tidak beradab kepada Allah dengan menolak, menyelewengkan ayat-ayat dan hadits-hadits sifat kepada makna yang tidak diinginkan Allah dan Rasul-Nya.
Perlu diketahui bahwasanya manusia terkelompokkan menjadi tiga kelompok ditinjau dari aqidah mereka  tentang tauhid asma’ wa sifat.
Pertama : Ahlul haq (orang-orang yang berada di atas kebenaran), orang-orang yang Allah beri petunjuk, mereka adalah ahlu sunnah wal jama’ah yaitu mereka mengimani dengan menetapkan seluruh nama-nama dan sifat-sifat Allah dengan tanpa menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
Kedua: Orang-orang sesat lagi menyimpang dari musyabihah (orang-orang yang menyerupakan sifat Allah dengan makhluk-Nya).
Ketiga:  orang-orang sesat dari mu’athilah (orang yang menolak sifat-sifat Allah) yang mereka terbagi menjadi beberapa kelompok :
  1. Mereka yang menolak seluruh nama-nama Allah dan sifat-Nya seperti  kelompok Jahmiyah.
  2. Mereka yang menetapkan nama-nama Allah dan menolak seluruh sifat-sifat Allah seperti kelompok Mu’tazilah.
  3. Mereka yang menolak sebagian sifat Allah dan menetapkan nama-nama Allah, seperti kelompok Asy-Sya’irah, Al-Maturidiyah dan yang sepemahaman dengannya. Dan Habib Mundzir menempuh jalan sesat ini (hal ini diketahui dari ceramah dan tulisan-tulisannya, di antaranya apa yang ada di bukunya yang berjudul “Aqidahku 2”). Dan penolakan mereka dengan jalan melakukan takwil (menyelewengkan makna yang benar tentang sifat Allah ke makna yang tidak benar).
Berikut ini di antara perkataan Habib Mundzir yang menunjukkan penyimpangannya terhadap tauhid asma’ wa sifat.
Berkata Habib Munzir :
“Madzhab Takwil ayat atau hadist tasybih sesuai dengan ke-Esaan Allah dan keagungan Allah swt, dan pendapat ini lebih arjah (lebih baik untuk di ikuti) karena terdapat penjelasan dan menghilangkan awhaan (khayalan dan wasangka) pada kaum muslimin umumnya, sebagaimana Imam Syaf’i, Imam Bukhari, Imam Nawawi dll.” (dinukil dari buku “Aqidahku 2 Penulis Habib Mundzir, hal 25-26)
Dan Habib Mundzir berkata lagi :
“Dan banyak para shahabat, tabi’in dan para Imam Ahlussunnah waljama’ah yang berpegang dengan pendapat takwil, seperti Imam Ibnu Abbas, Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Tirmidzy, Imam Abul Hasan Al-Asyariy, Imam Ibnul Jauziy dll.” (dari buku Aqidahku 2 Penulis Habib Mundzir, hal 25-26)
Lihatlah wahai para pembaca budiman, tentang pendapat, keyakinan dan aqidah sesat Habib Mundzir yang berpegang kepada mazhab sesat takwil, menolak sifat Allah dengan jalan mentakwil/menyelewengkan makna yang haq dari sifat Allah kepada makna yang tidak benar. Bahkan dia sandarkan kesesatannya itu kepada para shahabat, tabi’in dan Imam Syafi’i dan Imam Ahlussunnah yang lainnya. Jelas hal ini adalah sebuah KEBODOHAN DAN KEDUSTAAN HABIB MUNDZIR ATAS MEREKA.
Para pembaca budiman saya mengajak Anda untuk memperhatikan lebih seksama karena kita akan membantah kedustaan Habib Mundzir dengan apa yang dia katakan di  atas.
Sebagaimana telah dijelaskan di awal bahwa ahlus sunnah wal jama’ah mereka beriman kepada seluruh nama-nama dan sifat-sifat yang Allah sifatkan untuk diri-Nya dan yang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sifatkan untuk Allah dengan tanpa takwil (yaitu menyelewengkan makna  yang benar kepada makna yang tidak benar) dan dengan tanpa menyerupakan Allah dengan makluk-Nya. Allah Subhaanahu wa ta’aala berfirman :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia As Samii’ (Maha Mendengar) dan Al Bashiir (Maha Melihat).” (Qs. Asy Syura : 11).
Berkata Asy-Syaikh Al-Allamah Shalih Al Fauzan Hafidzahullaah :
هذه الأية ميزان لأهل الحق ترد على المعطلة وترد على المشبهة, وتسبت لله الأسماء والصفات من غيرتعطيل ومن غير تشبيه, (  لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ    ) هذا رد على المشبهة الذين غلوا في الإثبات (  وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ  )  هذا رد على المعطلة الذين غلوا في التنزيه حتى نفوا أسماء الله صفاته فرارا من الثشبيه عندهم, فوقعوا في تشبيه  أشر مما فروا منه وهو أنهم شبهوا الله بالمعدومات و الممتنعات.
“Ayat ini adalah miizan (timbangan) bagi ahlu haq (orang – orang yang berada di atas kebenaran) yang membantah mu’athilah dan musyabihah. Ditetapkan nama-nama dan sifat-sifat untuk Allah dengan tanpa ta’thil (menolak sifat-sifat Allah -ed) dan dengan tanpa tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya -ed). Ayat ( لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ  “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia”) ini adalah bantahan bagi musyabihah yang berlebih-lebihan dalam menetapkan. Ayat  (وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ,  “dan Dia As Samii’ (Maha Mendengar) dan Al Bashiir (Maha Melihat)” ) ini bantahan bagi mu’athilah yang berlebihan dalam tanziih (mensucikan) sampai menolak nama-nama Allah dan sifat-sifat Allah, mereka lari dari tasybih (menyerupakan) menurut anggapan mereka justru malah terjatuh kepada tasybih (menyerupakan) yang lebih jelek dari apa yang mereka lari darinya, yaitu mereka menyerupakan Allah dengan sesuatu yang tidak ada atau tidak mungkin ada.“ (Syarh Lum’atil I’tiqaad Syaikh Shalih Al-Fauzaan, hal 90)
Benarkah takwil terhadap sifat Allah jalannya para shahabat, tabi’in dan para imam Ahlus sunnah wal jama’ah di antaranya Al-Imam Syafi’i rahimahullah. Atau hal ini merupakan sebuah kedustaan atas mereka yang dikatakan oleh Habib Munzir…?

Berikut ini penjelasannya :
Pada kesempatan ini saya hanya membawakan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullaah. Untuk menjelaskan kedustaan Habib Mundzir terhadap apa yang dia katakan diatas. 
قال الإمام أبو عبد الله محمد بن إدريس الشافعي  : آمنت بالله وبما جاء عن الله ، على مراد الله ، وآمنت
برسول الله ، وبما جاء عن رسول الله على مراد رسول الله

Berkata Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (Imam Syafi’i)  Rahimahullaah :
“Aku beriman kepada Allah dan kepada semua perkara yang berasal dari Allah, di atas apa yang Allah maksudkan. Dan aku juga beriman kepada Rasullullah dan apa yang datang dari Rasulullah di atas apa yang Rasulullah maksudkan.”
Berkata Asy-Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan kepada kita tentang makna perkataan Al-Imam Syafi’i rahimahullah. Beliau berkata :
“ما تضمنه كلام الإمام الشافعي”
تضمن كلام الإمام الشافعي ما يأتي:
1- الإيمان بما جاء عن الله تعالى في كتابه المبين على ما أراده الله من غير زيادة، ولا نقص، ولا تحريف.
2- الإيمان بما جاء عن رسول الله، صلى الله عليه وسلم ، في سنة رسول الله، صلى الله عليه وسلم ، على ما أراده رسول الله، صلى الله عليه وسلم ، من غير زيادة ولا نقص ولا تحريف.
وفي هذا الكلام رد على أهل التأويل، وأهل التمثيل، لأن كل واحد منهم لم يؤمن بما جاء عن الله ورسوله على مراد الله ورسوله فإن أهل التأويل نقصوا، وأهل التمثيل زادوا.
Kandungan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i adalah sebagai berikut :
  1. Beriman dengan perkara yang berasal dari Allah Ta’aala dalam kitab-Nya yang jelas sesuai dengan apa yang Allah maksudkan, tanpa memberi tambahan, tanpa pengurangan dan tanpa menyimpangkannya.
  2. Beriman dengan apa yang datang dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di dalam sunnahnya sesuai dengan apa yang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maksudkan, tanpa memberi tambahan, tanpa pengurangan dan tanpa menyimpangkannya.
Dan pada perkataan beliau (Al-Imam Syafi’i) di atas terdapat bantahan bagi ahlu takwil (para pentakwil/orang yang menyelewengkan makna yang benar tentang sifat Allah ke makna yang tidak benar -ed) dan ahlu tamtsil (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluknya) dikarenakan masing-masing dari mereka tidak beriman kepada apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya dan di atas apa yang Allah dan Rasul-Nya maksudkan. Sesungguhnya para pentakwil adalah orang-orang yang mengurangi sifat Allah (makna yang benar dihilangkan atau dikurangi-ed). Sedangkan para pentamtsil adalah orang-orang yang telah menambah.” (Lum’atul I’tiqad, Syarh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin : 37, Ad-Waa’us Salaf)
Lihat wahai para pembaca budiman kedustaan Habib Mundzir atas Al-Imam Syafi’i Rahimahullaah dengan mengatakan Al-Imam As-Syafi’i  menempuh jalan takwil dalam masalah asma wa sifat. !! padahal hakekatnya sebaliknya justru Al-Imam As-Syafi’i malah membantah orang-orang yang melakukan takwil dalam asma wasifat..!! Itulah Habib Mundzir seorang pendusta.
Perhatikan juga perkataan Al-Imam Syafi’i Rahimahullaah berikut ini sebagai penjelasan tambahan bagi kita semua atas kedustaan Habib Mundzir dengan perkataannya di atas. Berkata Al-Imam Syafi’i Rahimahullaah :
لله تغالى أسماء وصفات لايسع أحدا قامت عليه الحجة ردها, فإن خلف بعد ثبوت الحجة عليه فهو كافر فأم قبل ثبوت الحجة عليه فمعذور بالجهل, لأن علم ذلك لا يدرك بالعقل, ولابالروية والفكر, ويثبت هذه الصفات وينفي عنها التسبيه كما نفى عن نفسه ( لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ)
“Bagi Allah Ta’aala mempunyai nama-nama dan sifat-sifat yang tidak boleh seorang pun yang telah tegak hujjah atasnya untuk menolaknya, jika dia menyelisihi setelah tetapnya (tegaknya) hujjah maka dia seorang kafir ada pun sebelum tetapnya (tegaknya) hujjah  maka dia diberi udzur atas kebodohannya. Dikarenakan ilmu tentang hal itu (nama-nama dan sifat Allah –ed) tidaklah didapatkan dengan akal, tidak juga dengan pemikiran dan tidak juga dengan pendapat. Ditetapkan sifat-sifat ini dan ditiadakan dari tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya) sebagaimana Allah menafikan (meniadakan) hal itu (tasybih) dari-Nya.
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia As Samii’ (Maha Mendengar) dan Al Bashiir (Maha Melihat).” (Qs. Asy Syura : 11). (Silahkan meruju’ dalam Kitab Mukhtashar Al-‘Uluw, Syaikh Al-Albani : 177 dan Ijtimaaul Juyyus Al-Islmiyyah, Ibnul Qayyim : 59 – Tahqiq Lum’atul I’tiqad Syarh Syaikh Ibnu Utsaimin :  37, Penerbit Adwaa’us Salaf)
Kami mencukupkan hanya membawakan perkataan Al-Imam As-Syafi’i rahimahullah untuk menjelaskan kedustaan Habib Mundzir dan tidak membawakan perkataan ulama dan imam ahlussunnah yang lainnya yang Habib Mundzir sebutkan sebagiannya agar tidak memperpanjang risalah ini.
Dan berikut ini penjelasan tentang kedustaan Habib Mundzir atas nama para shahabat dan tabi’in.
Yang pertama kami nukilkan kembali perkataan Habib Mundzir :
“Dan banyak para shahabat, tabi’in dan para Imam Ahlussunnah waljama’ah yang berpegang dengan pendapat takwil, seperti Imam Ibnu Abbas, Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Tirmidzy, Imam Abul Hasan Al-Asyariy, Imam Ibnul Jauziy dll.” (dari buku “Aqidahku 2 Penulis Habib Mundzir, hal 25-26)
Berikut ini penjelasan kedustaannya, dengan membawakan perkataan para ulama kibar ahlus sunnah wal jama’ah
Berkata Asy-Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah:
الذي درج عليه السلف في الصفات هو الإقرار والإثبات لما ورد من صفات الله تعالى في كتاب الله وسنة رسوله ، صلى الله عليه وسلم ، من غير تعرض لتأويله بما لا يتفق مع مراد الله ورسوله
“Yang ditempuh oleh para salaf (generasi shahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in –ed) dalam masalah sifat Allah adalah mengakui, membiarkan apa adanya, dan menetapkan segala yang datang dalam permasalahan sifat Allah dalam kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya tanpa melakukan upaya-upaya pentakwilan yang tidak sesuai dengan maksud Allah dan Rasul-Nya.” (Lum’atul I’tiqad Syarh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin : 38)
Berkata Asy-Syaikh Al-Allamah Shalih Al-Fauzan Hafidzahullah:
Tentang perkataan ini yaitu beriman kepada apa yang berasal dari Allah sesuai dengan apa yang Allah maksudkan (tidak melakukan takwil –ed) dan beriman kepada apa yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sesuai dengan apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maksudkan (tidak melakukan takwil –ed), ini adalah jalan yang ditempuh oleh para salaf, mereka adalah pemimpin umat ini, dari kalangan para shahabat, tabi’in dan atba tabi’iin generasi yang memiliki keutamaan, tidak seorang pun dari mereka yang tidak berpendapat seperti ini. Mereka membaca Al-Qur’an dan meriwayatkan hadits-hadits dan tidak mendapatkan pertentangan sesuatu pun dari hal ini. Telah lewat generasi yang memiliki keutamaan, mereka tidak mendapatkan pertentangan pada ayat-ayat dan hadits-hadits ini. Dan muncul pertentangan setelah habis generasi yang memiliki keutamaan, ketika datang (muncul) ulama-ulama kalam dan filsafat  mereka memasukkan ke dalam agama apa yang bukan bagian darinya, mereka berhukum dengan kaidah-kaidah mantiq dan penjelasan akal –sebagaimana yang mereka namakan- dan menjadikan hal itu sebagai hakim bagi kitabullah dan sunnah Rasulullah.”  (Syarh Lum’atil I’tiqaad Syaikh Shalih Al-Fauzaan, hal 90. Darul Atsariyah)
Berkata Syaikh Al Allamah Shalih Abdul Aziz Alu Syaikh :
Jadi pada zaman shahabat belum terjadi takwil dan belum terjadi perselisihan dalam aqidah, dan begitu juga pada zaman tabi’in (generasi setelah shahabat) sampai muncul pada akhir zaman tabi’in kesesatan-kesesatan yang nampak bersamaan dengan kelompok-kelompok dari khawarij kemudian mu’tazilah kemudian tersebar pada umat. Dan hal ini menunjukkan kepada kamu bahwasanya takwil dan penyelisihan terhadap nash-nash (dalil Al Qur’an dan Sunnah); di dalam kewajiban penerimaan terhadap nash-nash. Bahwasanya hal itu (takwil dan penyelisihan terhadap nash-nash) termasuk perkara bid’ah dan perkara muhdats (perkara baru yang diada-adakan dalam agama), dan perbuatan bid’ah dan muhdats adalah perbuatan yang tertolak. (Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda):
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“Barangsiapa yang mengada-adakan perkara yang baru di dalam urusan (agama) kami ini apa yang tidak termasuk di dalamnya maka amalannya tertolak.“
Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru dalam urusan kami ini (agama kami –ed) dalam perkara-perkara ilmiyah yang bukan bagian darinya maka tertolak –yaitu tertolak atas pelakunya-. Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru dalam urusan kami ini dalam perkara-perkara amaliyah yang bukan bagian darinya maka tertolak –yaitu tertolak atas pelakunya-. Dan hal ini masuk dalam perkara bid’ah dalam perkara ilmiyyah (ilmu) dan amaliyah (amal), dan hal ini sebagimana akan datang perkataan Ibnu Mas’ud di mana beliau berkata :
 اتبعوا ولا تبتدعوا فقد كفيتم
“Ikutilah dan janganlah kalian berbuat bid’ah, sungguh kalian telah tercukupi (dalam perkara agama –ed).”  (Syarh Lum’atil I’tiqad Syaikh Al-Allamah Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh hal : 20. Daa’rul Atsar)
Lihatlah wahai Habib Mundzir, para shahabat menempuh jalan tentang asma’ (nama-nama) dan sifat Allah dengan beriman kepada seluruh nama-nama dan sifat – sifat yang Allah sifatkan untuk diri-Nya dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sifatkan untuk Allah dengan tanpa takwil (menyelewengkan makna yang benar ke makna yang tidak benar) dan dengan tanpa tamtsil (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Allah Subhaanahu wa ta’aala berfirman :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia As Samii’ (Maha Mendengar) dan Al Bashiir (Maha Melihat.)”
Bukan seperti apa yang engkau katakan…!!!
Sungguh telah jelaslah yang benar sebagai sebuah kebenaran yang bathil sebagai sebuah kebathilan. Yang jujur sebagai sebuah kejujuran yang dusta sebagai sebuah kedustaan. Semoga Allah Ta’aala menjadikan kita sebagai orang yang mengikuti jalan kebenaran dan istiqamah di atasnya. Dan melindungi kita dan kaum muslimin dari jalan kebathilan dan orang yang menyeru kepadanya.


Kesesatan Ketiga: Kesesatan Habib Mundzir dalam memahami masalah bid’ah.

Di antara kebodohan dan kesesatan Habib Mundzir menganggap bid’ah dalam agama ada yang baik (bid’ah hasanah), dia berusaha untuk menyesatkan ummat dengan membawakan dalil-dalil yang dipahami sesuai dengan hawa nafsunya. Perkara bid’ah bukanlah perkara yang ringan atau sepele, perbuatan bid’ah adalah sebuah kesesatan yang besar. Berkata salah seorang shahabat yang mulia Ibnu Abbas radhiyallahu anhu,

وأبغض الأعمال إلى الله البدع

“Dan perbuatan yang paling dibenci oleh Allah adalah bid’ah.” (Fathul Bari’, Ibnu Rajab: 2/378)

Berkata Sufyan Ats Tsauri rahimahullah,

البدعة أحب إلى إبليس من المعصية والمعصية يتاب منها والبدعة لا يتاب منها

“Bid’ah lebih disukai oleh iblis daripada maksiat, pelaku maksiat masih berkeinginan untuk bertaubat dari kemaksiatannya, sedangkan pelaku bid’ah tidak ada keinginan untuk bertaubat dari kebid’ahannya (karena dia menganggap baik, bahkan mengharap pahala dari perbuatannya –ed).” (I’tiqad Ahlissunnah al-Lallika’i: 1/132)
Berikut ini penjelasan secara ringkas tentang makna bid’ah, beserta dalilnya yang menjelaskan bahwa semua bid’ah adalah sesat dan sedikit bantahan terhadap syubhat Habib Mundzir seputar masalah ini.


Pengertian Bid’ah
Bid’ah menurut bahasa: “Segala sesuatu yang diada-adakan yang tidak ada contohnya yang mendahuluinya.” (Iqtidha Shiratal Mustaqim: 2/95)
Bid’ah menurut istilah adalah:

كل اعتقاد أو لفظ أو عمل أحدث بعد موت النبي صلى الله عليه والسلام بنية التعبد والتقرب ولم يدل عليه الدليل من الكتاب ولا من السنة, ولا إجماع السلف

“Setiap keyakinan, atau ucapan atau perbuatan yang diada-adakan setelah kematian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan niat untuk beribadah dan bertaqarub padahal tidak ada dalil yang menunjukkannya baik dari al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma’ salaf.” (al-Qaulul Mufid, Syaikh Muhammad al-Whushaby: 81)
Berkata asy-Syaikh al-Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah tentang dhaabit (standar untuk menilai) itu perbuatan bid’ah yaitu, “Beribadah kepada Allah dengan apa yang tidak disyariatkan.” (Silahkan lihat Majmu’ Tsamin: 2/291)

Macam-macam Bid’ah
Macam bid’ah ada lima semuanya adalah kesesatan sebagiannya lebih jelek dari sebagian yang lain.
Pertama: Bid’ah I’tiqadiyyah (bid’ah keyakinan), yaitu setiap keyakinan yang menyelisihi kitab (al-Qur’an) dan sunnah. Seperti orang yang meyakini Qutub-Qutub, Badal-Badal, Ghauts-Ghauts memiliki daya upaya dalam mengatur alam atau mengetahui perkara yang ghaib, ini merupakan kekufuran.
Kedua: Bid’ah Lafdziyyah (bid’ah ucapan), yaitu setiap lafaz (ucapan) yang diucapkan seseorang dalam rangka beribadah yang menyelisihi kitab (al-Qur’an) dan sunnah. Seperti seseorang yang berdzikir dengan nama mufrad (الله) atau dengan nama ganti (هو) lihat Majmu Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: 10/226-229.
Ketiga: Bid’ah Badaniyah (bid’ah yang dilakukan oleh badan), yaitu setiap gerakan yang dilakukan oleh seseorang dalam rangka beribadah, sedangkan gerakan itu menyelisihi kitab (al-Qur’an) dan sunnah. Seperti seseorang yang berjoget/bergoyang ketika berdzikir.
Keempat: Bid’ah Maaliyah (bid’ah yang terkait dengan harta) yaitu setiap harta yang dikeluarkan dalam rangka beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang menyelisihi kitab (al-Qur’an) dan sunnah. Seperti  membangun kubah di atas kuburan dan membuat tawaabit (tabut-tabut) di atasnya.
Kelima: Bid’ah Tarkiyah (bid’ah dengan meninggalkan sesuatu), yaitu setiap orang yang meninggalkan sesuatu dari perkara agama atau perkara yang mubah (boleh) dalam rangka beribadah (dengan niat untuk beribadah –ed) seperti meninggalkan menikah, atau meninggalkan memakan daging dalam rangka beribadah. (Al-Qaulul Mufiid Fi Adilatit Tauhid, Syaikh Muhammad al-Whushaby: 182)

Dalil Semua Bid’ah Dalam Agama adalah Sesat
Banyak dalil yang menunjukkan semua bid’ah sesat di antaranya,
Allah Subhaanahu wata’aala berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3)
Berkata al-Imam Malik rahimahullah,
من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة فقد زعم أن محمداً خان الرسالة» لأن الله- عز وجل- قال: ?الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ? [المائدة: 3] فمن لم يكن يومئذ ديناً فمتى يكون اليوم ديناً؟!!.
“Barangsiapa mengada-adakan di dalam islam suatu kebid’ahan yang dia melihatnya (menganggapnya) sebagai sebuah kebaikkan, sungguh dia telah menuduh bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengkhianati risalah, karena Allah ta’aala telah berfirman (yang artinya): ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu.” (al-Maidah: 3). Maka sesungguhnya apa yang tidak menjadi agama pada hari itu, tidak menjadi agama pula pada hari ini ?!!!.” (Silahkan Lihat al-I’tisham, Imam Asy Syatibi: 1/64)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam suatu khutbahnya,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 2042 dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu)
Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي ، وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ وَالأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Maka wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyidin yang diberi petunjuk (yang datang) sesudahku, gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam urusan agama –ed.) Karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Ahmad no. 17184, Abu Daud no. 4609, Ibnu Majah hadits no. 42, at-Tirmidzi no. 2676, beliau mengatakan hasan shahih)
Dan beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-adakan (sesuatu yang baru) dalam  urusan kami, apa-apa yang tidak ada darinya maka tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718 dari ‘Aisyah)
Berkata salah seorang shahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,
اِتَّبِعُوا وَلَا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ
“Ittibalah (ikutilah) dan janganlah kalian berbuat bid’ah, sungguh telah cukup bagi kalian.” (al Ibanah: 1/327, al-Lallika’i: 1/22)
Berkata salah seorang shahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu,
كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة
“Semua bid’ah adalah sesat walaupun manusia melihatnya (menganggapnya) baik.” (Al Ibanah : 1/339, al-Lallika’i: 1/92)
Sungguh telah jelaslah bagi orang yang mencari kebenaran dari dalil-dalil di atas tentang semua bid’ah dalam agama adalah sesat, tidak ada bid’ah hasanah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan semua bid’ah adalah sesat. Maka sebuah kesesatan yang nyata dari apa yang dilakukan oleh Habib Mundzir di mana dirinya mengajak ummat ini kepada kelam dan hitamnya perbuatan bid’ah. Dan lebih celakanya lagi dia menyandarkan pemahaman adanya bid’ah hasanah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat.
Para pembaca yang kami hormati pada kesempatan ini kami akan mulai menjelaskan kesesatan Habib Mundzir dalam masalah ini walaupun dengan ringkas. Dan hanya sebagian dari syubhat saja yang kami jelaskan tentang kesesatannya dalam masalah ini.
Untuk mengawali penjelasan singkat akan kebodohan, penyimpangan dan kesesatan Habib Mundzir dalam masalah ini, kami menyukai untuk mengawali dengan membawakan perkataan asy-Syaikh al-Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, di mana beliau berkata,
وإنك لتعجب من قوم يعرفون قول رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « إياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار » ويعلمون أن قوله: “كل بدعة” كلية عامة شاملة، مسورة بأقوى أدوات الشمول والعموم “كل” والذي نطق بهذه الكلية صلوات الله وسلامه عليه يعلم مدلول هذا اللفظ وهو أفصح الخلق، وأنصح الخلق للخلق لا يتلفظ إلا بشيء يقصد معناه. إذن فالنبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حينما قال: « كل بدعة ضلالة » كان يدري ما يقول، وكان يدري معنى ما يقول، وقد صدر هذا القول منه عن كمال نصح للأمة.
وإذا تم في الكلام هذه الأمور الثلاثة -كمال النصح والإرادة، وكمال البيان والفصاحة، وكمال العلم والمعرفة- دل ذلك على أن الكلام يراد به ما يدل عليه من المعنى، أفبعد هذه الكلية يصح أن نقسم البدعة إلى أقسام ثلاثة، أو إلى أقسام خمسة؟ أبدا، هذا لا يصح.
وما ادعاه العلماء من أن هناك بدعة حسنة . فلا تخلو من حالين:
1 – أن لا تكون بدعة لكن يظنها بدعة.
2 – أن تكون بدعة فهي سيئة لكن لا يعلم عن سوئها.
فكل ما ادعي أنه بدعة حسنة فالجواب عنه بهذا. وعلى هذا فلا مدخل لأهل البدع في أن يجعلوا من بدعهم بدعة حسنة وفي يدنا هذا السيف الصارم من رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « كل بدعة ضلالة ». إن هذا السيف الصارم إنما صنع في مصانع النبوة والرسالة، إنه لم يصنع في مصانع مضطربة، لكنه صنع في مصانع النبوة، وصاغه النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هذه الصياغة البليغة فلا يمكن لمن بيده مثل هذا السيف الصارم أن يقابله أحد ببدعة يقول : إنها حسنة ورسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يقول: « كل بدعة ضلالة »
“Sesungguhnya kamu akan terheran dari sebuah kaum yang mengetahui sabda Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wasallam,
إياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار
“Berhati-hatilah kalian dari perkara yang baru, dikarenakan setiap perkara yang baru (dalam agama –ed) adalah bid’ah, dan setiap (semua) bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.”
Mereka mengetahui sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (كل بدعة ضلالة: semua bid’ah adalah sesat) maknanya menyeluruh, umum dan mencakup yang didukung dengan kata yang menyeluruh dan umum yaitu lafadz ( كل /semua) yang berbicara dengan makna yang umum ini adalah Rasulullah shalawaatullah wa salaamuhu alaihi mengetahui apa yang ditunjukkan pada lafadz ini beliau adalah sefasih-fasih manusia,  aku nasihatkan untuk berakhlak kepada makhluk (manusia) dengan tidak berkata kecuali dengan sesuatu yang dimaksudkan dengannya maknanya. Jika demikian ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  (كل بدعة ضلالة: semua bid’ah adalah sesat) beliau mengetahui apa yang beliau katakan, mengetahui makna yang beliau katakan, telah keluar perkataan ini darinya sebagai bentuk kesempurnaan nasihat beliau kepada ummat. Apabila telah sempurna di dalam perkataan ini tiga perkara, kesempurnaan nasehat dan iradah (maksud/tujuan), kesempurnaan penjelasan dan kefasihan, kesempurnaan ilmu dan ma’rifat (pengenalan/pengetahuan) itu (semua –ed) menunjukkan bahwasanya perkataan yang diinginkan adalah yang menunjukkan pada makna dari perkataan tersebut…….Apakah setelah kalimat menyeluruh ini boleh mengatakan bid’ah terbagi menjadi tiga atau lima? Selama-lamanya ini tidak boleh. Apa yang dikatakan oleh ulama bahwa di sana ada bid’ah hasanah, maka tidak lepas dari dua keadaan,
  1. (Yang dikatakan) bukan perkara bid’ah akan tetapi diduga perbuatan bid’ah.
  2. (Yang dikatakan/disebut) perkara bid’ah, bid’ah adalah perkara yang jelek akan tetapi dia tidak mengetahui kejelekkannya.
Maka segala sesuatu yang didakwahkan (dikatakan) sebagai bid’ah hasanah (yang baik), jawabannya dengan kata di atas, sehingga tidak ada pintu masuk bagi ahlu bid’ah untuk menjadikan bid’ah mereka sebagai bid’ah hasanah. Dan di tangan kami ada pedang yang sangat tajam dari Rasulullah yakni  (كل بدعة ضلالة semua bid’ah sesat). Pedang yang sangat tajam ini dibuat di atas nubuwah dan risalah, dan tidak dibuat di atas sesuatu yang goyah. Dan bentuk (kalimat) ini sangat jelas, maka tidak mungkin seseorang menandingi pedang yang tajam ini dengan mengatakan adanya bid’ah hasanah sementara Rasulullah bersabda كل بدعة ضلالة semua bid’ah sesat.” (Al-Ibda’ Fi Kamal asy-Syar’i wa Khatiri Al Ibtida’: 13)

Di antara Syubhat yang dibawakan Habib Mundzir adalah, 

Berkata Habib Mundzir: “Nabi saw memperbolehkan kita melakukan bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syari’ah, sebagaimana sabda beliau saw :
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barangsiapa membuat hal yang baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangi sedikitpun dosanya.” (Shahih Muslim hadits no 1017. Demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, sunan al-baihaqi Al-kubra, Sunan Addarimy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi) Hadits ini menjelaskan makna Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Dhalalah  (Sumber buku Kenalilah Aqidahmu 2, Habib Mundzir hlm 1)

Jawaban terhadap Syubhat Habib Munzir
Pada hadits di atas (yang dibawakan oleh Habib Mundzir) dengan lafadz hadits
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً
Terjemahan hadits dari kami,
“Barangsiapa mengamalkan/mengerjakan dalam islam sunnah yang baik.” Lafadz hadits dengan lafadz سُنَّةً حَسَنَةً  (sunnah yang baik). Namun Habib Mundzir menerjemahkan dengan “Barangsiapa membuat hal yang baru yang baik”???
Jawaban Pertama: Bahwasanya makna dari hadits di atas, “Barangsiapa yang mengerjakan dalam islam sunnah yang baik…” sebagaimana lafadz hadits di atas
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً
Maknanya yaitu mengerjakan amal dalam rangka melaksanakan atau mengikuti, bukan mengerjakan amal dengan membuat syariat baru/amalan baru yang tidak ada contohnya dari agama. Maksud hadits tersebut adalah beramal dengan apa-apa yang telah disyari’atkan/ditetapkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam. Hal ini sesuai dengan asbabul wurud (sebab datangnya hadits ini) menunjukkan hal itu (bahwa maksud hadits di atas memang demikian –ed) yaitu tentang shadaqah yang telah disyariatkan. Sebagaimana yang dikisahkan oleh Jabir bin Abdillah di mana ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam berkhutbah pada kami, maka beliau memberi semangat pada manusia untuk bershadaqah, akan tetapi para shahabat berlambat-lambat (tidak bersegera) sehingga nampak dari wajah Rasulullah kemarahan. Kemudian datang seseorang dari kaum Anshar dengan membawa sekantong berisi uang (untuk shadaqah), maka para shahabat mengikutinya, sehingga kelihatan pada wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senang dan beliau bersabda: “Barangsiapa yang mengerjakan dalam islam sunnah yang baik…”” (dengan lafadz ini dikeluarkan oleh Ad-Darimi)
Maka barangsiapa yang memberikan contoh atau menghidupkan amalan yang baik yang dicontohkan/diajarkan dalam agama seperti shadaqah, shalat jama’ah, ta’lim dan yang lainnya lalu orang lain mengikutinya maka dia telah mengerjakan dalam islam sunnah yang baik. Itu yang dinginkan pada hadits di atas.

Jawaban Kedua:
Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan dalam islam sunnah yang baik…” sementara beliau juga bersabda: “Semua bid’ah adalah sesat” maka tidak mungkin muncul dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam perkataan yang satu mendustakan perkataan yang lain. Dan tidak mungkin perkataan ini bertentangan selama-lamanya. Yang ada adalah Habib Mundzir memahami sesuai dengan hawa nafsunya dengan menjadikan dalil di atas sebagai pembolehan untuk melakukan bid’ah.
Yang benar dalam memahami dua hadits di atas adalah barangsiapa ada orang yang memberikan contoh yang baik atau menghidupkan amalan shalih yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian diikuti oleh orang lain maka dia telah membuat sunnah yang baik. Dan barang siapa yang mengerjakan sesuatu yang tidak ada contohnya/tidak diajarkan dalam agama maka dia telah berbuat bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.

Jawaban Ketiga:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada hadits di atas (yang dibawakan oleh Habib Mundzir)
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً
“Barangsiapa mengerjakan dalam islam sunnah yang baik.” Lafadz hadits dengan lafadz سُنَّةً حَسَنَةً  (sunnah yang baik).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bersabda: “Barangsiapa yang mengerjakan/berbuat bid’ah….” maka dari sini jelas berbeda yang diinginkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan apa-apa yang dipahami oleh Habib Mundzir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dengan “… mengerjakan Sunnah…” bukan dengan kalimat mengerjakan bid’ah pada hadits di atas. Beliau juga bersabda pada hadits di atas: “di dalam islam…” sedangkan bid’ah bukan dari islam. Dan beliau juga bersabda (kelanjutan hadits di atas), “..yang baik..” sedangkan bid’ah bukan perkara kebaikan, sebagaimana dalam sabda beliau dalam hadits yang lain. Yaitu, “Setiap bid’ah adalah sesat.”
Maka jelaslah perbedaan antara sunnah dan bid’ah, karena sunnah adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (yang diajarkan Rasulullah) sedangkan bid’ah adalah mengada-adakan perkara yang baru dalam urusan agama yang bukan darinya.
Itu jawaban singkat dari syubhat yang dibawakan oleh Habib Mundzir, yang para ulama telah membantah syubhat ini di antaranya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.

Syubhat Kedua: (tentang perkataan Imam Syafi’i)
Berkata Habib Mundzir: “Berkata Imam Syafi’i: Bahwa bid’ah terbagi 2, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmummah (tercela) maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar mengenai shalat tarawih, “Inilah sebaik-baik bid’ah.” (Tafsir Qurtuby Juz: 2, hal: 86-87) (Sumber buku Kenalilah Aqidahmu 2, Habib Mundzir hlm: 9)
Jawaban pertama:
Sungguh tidak boleh mengambil perkataan manusia yang bertentangan dengan perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menjadi hujjah atas setiap orang, bukan perkataan seseorang yang menjadi hujjah atas perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Jawaban kedua:
Sesungguhnya bagi orang yang mau berfikir terhadap perkataan Imam Syafi’i, perkataan Imam Syafi’i dengan bid’ah mahmudah (terpuji) hanya sebatas makna bahasa, bukan makna syar’i, dengan dalil al-Imam Syafi’i memberi batasan terhadap perkara yang beliau katakan, “sebagai bid’ah terpuji” yaitu yang tidak bertentangan/ menyelisihi  syar’i (al-Qur’an dan as-Sunnah). Padahal bid’ah secara syari’i adalah menyelisihi al-Qur’an dan As-Sunnah.
Allah Subhaanahu wata’aala berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3)
Dan beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-adakan (sesuatu yang baru) dalam  urusan kami, apa-apa yang tidak ada darinya maka tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718 dari ‘Aisyah)
Lalu mari kita simak di antara penjelasan ulama yang menjelaskan perkataan al-Imam Syafi’i rahimahullah, karena yang paling tahu maksud perkataan ulama ya ulama juga.
Berkata al-Imam al-Haafidz Ibnu Rajab rahimahullah,
ومراد الشافعي – رحمه الله – ما ذكرناه مِنْ قبلُ : أنَّ البدعة المذمومة ما ليس لها أصل منَ الشريعة يُرجع إليه ، وهي البدعةُ في إطلاق الشرع ، وأما البدعة المحمودة فما وافق السنة ، يعني : ما كان لها أصلٌ مِنَ السنة يُرجع إليه ، وإنَّما هي بدعةٌ لغةً لا شرعاً ؛ لموافقتها السنة .
“Yang dimaksud dengan perkataan al-Imam Syafi’i rahimahullah yang telah kami sebutkan sebelumnya: bahwa bid’ah yang tercela adalah sesuatu yang tidak ada asalnya (dasarnya) dalam syari’at yang dia kembali kepadanya, inilah bid’ah menurut syariat, adapun bid’ah terpuji (yang dikatakan oleh al-Imam syafi’i –ed), yaitu apa-apa yang sesuai dengan sunnah (petunjuk Nabi), maksudnya sesuatu yang ada dasarnya dari sunnah yang kembali kepadanya, hanya saja pemahaman ini (atau penamaan ini –ed) secara bahasa bukan secara syar’i, karena sesuai dengan sunnah.” (Jaamiul Uluum wal Hikam: 503/hadits no. 280)

Kesimpulannya bahwa bid’ah yang dikatakan “terpuji” bukanlah perkara bid’ah akan tetapi diduga/disangka hal itu bid’ah padahal bukanlah bid’ah.
Jika telah tetap sesuatu itu bid’ah menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah maka itu bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat. 

Adapun tentang perkataan shahabat yang mulia Umar bin Khaththab “nikmatnya/sebaik-baik bid’ah adalah ini” yang dibawakan oleh Habib Mundzir di dalam perkataan al-Imam Syafi’i, begitu juga pada tempat yang lain. Berikut penjelasannya kita serahkan kepada ulama, karena ulamalah yang lebih memahami maksud dari perkataan shahabat Umar bin Khaththab  radhiyallahu anhu.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
أكثر ما في هذا تسمية عمر تلك : بدعة ، مع حسنها ، وهذه تسمية لغوية ، لا تسمية شرعية ، وذلك أن البدعة في اللغة تعم كل ما فعل ابتداء من غير مثال سابق .
وأما البدعة الشرعية : فما لم يدل عليه دليل شرعي

“Kebanyakkan orang pada penamaan Umar itu (nikmatnya bid’ah adalah ini) dijadikan untuk dalil adanya bid’ah hasanah, penamaan ini adalah (hanya) penamaan secara bahasa bukan penamaan secara syar’i, padahal penamaan bid’ah secara bahasa umum segala sesuatu yang diada-adakan yang tidak ada contohnya yang mendahuluinya. Adapun bid’ah secara syar’i, adalah setiap yang tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan atasnya.” (Iqtidha Shirathal Mustaqim: 2/95)

Berkata al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah,
والبدعة على قسمين: تارة تكون بدعة شرعية، كقوله: فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة. وتارة تكون بدعة لغوية، كقول أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله عنه عن جمعه إياهم على صلاة التراويح واستمرارهم: نعْمَتْ البدعةُ هذه

“Bid’ah dibagi menjadi dua: adakalanya bid’ah secara syar’i (bid’ah menurut agama -ed) seperti perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat. Dan adakalanya bid’ah bermakna bahasa seperti perkataan Amirul Mu’minin Umar bin Khaththab tentang perkumpulan mereka untuk melaksanakan shalat tarawih secara berjama’ah dan dilakukan demikian seterusnya, nikmatnya bid’ah ini.” (Tafsir Ibnu Katsir pada surat al-Baqarah ayat 117)
Maka jelaslah bagaimana memahami dengan benar perkataan Umar bin Khaththab dan Syafi’i yang sering dijadikan  dalil bahwa bid’ah itu ada yang baik.

Kami cukupkan penjelasan sederhana kami pada kesesatan poin ini dan kami menyarankan untuk para pembaca merujuk kitab-kitab para ulama yang telah membantah habis syubhat (kerancuan/kesesatan) yang terkait dengan adanya bid’ah hasanah. Tulisan ini pun sekedar menukil sebagian kecil dari penjelasan para ulama terkait dengan syubhat ini. Wallahu a’alam bish shawwab.

Ditulis oleh: ‘Abdullah al-Jakarty

 https://membantahquburi.wordpress.com/2013/12/09/kesesatan-ketiga-kesesatan-habib-mundzir-dalam-memahami-masalah-bidah/

2 komentar:

  1. Assalamu'alaikum wr wb. Penjelasannya sangat ilmiah sekali ustadz, semoga Allah memuliakan Anda dan kita semua... Aamiin...

    Ustadz, saya mau bertanya, ada saudara saya yang saya lihat sefaham dengan almarhum Habib Munzir di Pasuruan, Jawa Timur. Saudara saya, yang merupakan orang tua dari kakak ipar saya tersebut meninggal ketika sujud dalam shalat, sedangkan menurut keteranga ustadz faham ahlussunnah wal jamaah versi Habib Munzir adalah sesat. Yang ingin saya tanyakan, apakah orang yang meninggal dalam shalat dan berfaham seperti Habib Munzir tsb termasuk khusnul khatimah atau sebaliknya? Apakah ia masuk neraka karena faham idiologi dan amalan2nya tsb?

    Setelah beberapa tahun, ketika makam almarhum hendak dipindahkan, kemudian digali, saya takjub (melihat video yang kakak saya rekam di hape), bahwa jasadnya masih utuh. Padahal menurut ustadz orang2 seperti itu adalah orang2 yang sesat.

    Satu pertanyaan lagi pak ustadz, apakah antum pernah bermimpi bertemu Rasulullah saw? Kalau ya, bisa kah menceritakan mimpi tsb?

    BalasHapus
  2. saya bukan stadz. dan saya belum pernah berimpi bertemu Rasulullah. baarokallohu fiikum.

    BalasHapus

Terima kasih telah membaca artikel kami. Silahkan berkomentar dengan sopan.