Amalan-amalan Keliru di Bulan Dzulhijjah

Bulan Dzulhijjah merupakah salah satu bulan haram yang Allah muliakan. Di dalamnya terdapat berbagai hukum, ketaatan, dan ritual ibadah yang Allah syariatkan. Allah juga menjanjikan pahala berlimpah bagi yang beribadah di bulan ini sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam.
Namun sayang, bulan yang mulia ini banyak dilalaikan oleh kaum muslimin. Mereka tidak mengetahui keutamaan-keutamaan yang terdapat di bulan Dzulhijjah. Yang lebih tragis lagi, di antara kaum muslimin banyak yang melakukan beberapa kekeliruan di bulan ini; baik yang berkaitan dengan ibadah puasa sunnah atau penyembelihan kurban.

Berikut ini beberapa kekeliruan yang dilakukan kaum muslimin di bulan Dzulhijjah:
1. Memasuki bulan Dzulhijjah dalam keadaan tidak mengetahui keutamaan-keutamaan yang terdapat di dalamnya, sehingga mereka tidak mampu untuk mengamalkan amalan-amalan yang terdapat di dalamnya. Ini adalah keadaan kebanyakan kaum muslimin, wallahul musta’an.
2. Mengkhususkan puasa pada hari kedelapan Dzulhijjah dengan apa yang mereka namakan puasa hari tarwiyyah. Namun -Wallahu a’lam bish-shawab-, selama ini belum kami dapatkan satu dalil pun yang shahih yang menunjukkan tentang disunnahkannya puasa secara khusus pada hari tersebut. Kecuali jika yang dimaukan adalah merupakan bagian dari puasa sepuluh awal bulan Dzulhijjah, maka hal ini disunnahkan.
3. Berpuasa pada hari ‘Arafah dalam keadaan mereka wukuf di ‘Arafah, di mana yang rajih dalam hal ini adalah makruh hukumnya.
4. Berpuasa pada hari tasyrik (11, 12, dan 13) Dzulhijjah, yang mana menurut pendapat yang rajih dalam hal ini adalah haram hukumnya secara mutlak, kecuali bagi mereka yang melakukan haji tamttu’ ketika mereka tidak mendapatkan al-hadyu untuk mereka sembelih.
5. Menyembelih dengan tidak menyebut nama Allah Subhanallahu wa Ta’ala, padahal telah jelas perkaranya bahwa menyebut nama Allah Subhanallahu wa Ta’ala ketika menyembelih atau berkurban adalah wajib hukumnya menurut pendapat yang rajih dan juga ketika melepas hewan pemburu untuk mengejar binatang buruannya.
6. Mempersyaratkan untuk menghadap kiblat ketika menyembelih hewan kurban. Dan ini merupakan kebiasaan dari kaum muslimin tanpa adanya penyandaran mereka terhadap dalil sedikitpun.
7. Orang yang hendak berkurban memotong kuku atau rambut mereka atau mengupas sebagian kulitnya dengan tanpa adanya udzur yang syar’i, dalam keadaan hewan kurbannya belum disembelih.
8. Menjual daging atau kulit kurban, padahal telah datang perintah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam untuk menshadaqahkannya.
9. Memberikan upah kepada pemotong hewan kurban dari daging, kulit, atau anggota tubuh hewan kurban lainnya. Akan tetapi ongkos tersebut diberikan dari ongkos tersendiri, dan jika kulit atau daging hewan kurban tersebut hendak dishadaqahkan kepada si penyembelih maka tidak mengapa, karena shadaqah bukan ongkos penyembelihan.
10. Menyembelih kambing ketika memasuki tanggal 10 Dzulhijjah sebagaimana dilakukan penduduk negeri Yaman dengan apa yang mereka namakan sebagai Walimatul Amwat (walimah kematian) dengan tujuan memuliakan mereka-mereka xang telah meninggal. Dan Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu telah menyebutkan dalam kitab beliau Ijabatus Sail halaman 459 bahwa perkara tersebut merupakan bid’ah, dikarenakan penyembelihan adalah sebuah ibadah, dan ibadah tidak dibatasi pada waktu tertentu kecuali dengan izin dari pembuat syariat (Allah Subhanallahu wa Ta’ala).
Masih banyak lagi perkara-perkara yang dilakukan oleh kaum muslimin dalam bulan Dzulhijjah yang tidak ada dasar dan petunjuknya dari Allah Subhanallahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wassalam. Namun dengan menyebutkan beberapa perkara ini insya Allah mencukupi dan setidaknya merupakan peringatan bagi mereka bahwa apa yang mereka lakukan sebenarnya masih sangat jauh dari apa yang dinamakan sebagai amalan shalih.
Wallahul musta’an wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa ash-haabihi ajma’in walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Sumber: Qurban Bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam karya Abu Hudzaifah Muhammad Al-Cireboni, penerbit: Hikmah Ahlus Sunnah, cet. Kedua Syawal 1429 H – 2008 M, hal. 89-95 dengan sedikit perubahan.