Terapi Penyakit Kejiwaan (Gangguan Psikologis) Menurut Islam

Image: mayafitrianisa.blogspot.com
Terapi Penyakit Kejiwaan (Gangguan Psikologis)
Terapi pengobatan paling baik terhadap gangguan kejiwaan dan sempitnya dada (depresi) adalah sebagai berikut:
1.      Hidayah dan tauhid, sebagaimana kesesatan dan kesyirikan yang merupakan sebab utama sempitnya dada (gangguan psikologis).
2.      Cahaya keimanan yang benar yang Allah berikan ke dalam hati seorang hamba bersama amalan shalih.
3.      Ilmu yang bermanfaat. Semakin luas ilmu (agama) seorang hamba, semakin lapang dan luas pula dadanya. [1]
4.      Bertaubat dan kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mencintai-Nya sepenuh hati, dan konsentrasi menghadap kepada-Nya, serta merasa nikmat dengan beribadah kepada-Nya.
5.      Senantiasa mengingat Allah dalam setiap keadaan dan di setiap tempat. Sebab dzikir memiliki pengaruh-pengaruh yang sangat menakjubkan dalam membuat lapangnya dada, nikmatnya hati, dan menghilangkan kegelisahan dan kesedihan.
6.      Berbuat baik kepada sesama makhluk dengan berbagai jenis kebaikan dan memberikan manfaat kepada mereka dengan hal-hal yang mungkin. Orang yang berakhlak mulia lagi senang berbuat kebaikan adalah manusia yang paling lapang dadanya, yang paling baik jiwanya dan paling senang hatinya.
7.      Punya keberanian, sebab keberanian dapat melapangkan dada dan meluaskan hati.
8.      Membersihkan hati (dagholil qolbi[2]) dari sifat-sifat tercela yang menjadikan sempit dan tersiksanya hati, seperti : hasad, kebencian, dendam, permusuhan, pertikaian dan penyimpangan. Telah tsabit dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bahwasannya beliau pernah ditanya tentang manusia yang paling baik, beliau menjawab : “Setiap orang yang bersih hatinya (makhmuumil qolbi), jujur lisannya.” Maka mereka (para sahabat) berkata: “Jujurnya lisan kemi telah tahu maknanya, lalu apa yang dimaksud makhmuumil qolbi ?Beliau menjawab: “Seorang yang bertaqwa dan yang bersih (hatinya), tidak ada perbuatan dosa padanya, tidak ada pula penyimpangan, tidak ada dendam dan tidak ada hasad.[3]
9.      Meninggalkan perilaku berlebihan dalam melihat, berkata, mendengar, bergaul, makan dan tidur. Sebab meninggalkan itu semua termasuk sebab yang dapat melapangkan dada, menyenangkan hati, dan menghilangkan kegelisahan dan kesedihan.
10.  Menyibukkan diri dengan beramal atau menuntut ilmu yang bermanfaat. Sebab yang demikian itu dapat melalaikan hati dari kegundahan dan kegelisahannya.
11.  Memperhatikan amalan yang sedang dia kerjakan (di saat itu) dan memutuskan perhatian dari angan-angan terhadap apa yang terjadi di waktu yang akan datang dan dari kesedihan di waktu yang telah lalu. Seorang hamba senantiasa bersungguh-sungguh dalam melakukan hal-hal yang memberikan manfaat kepadanya dalam perkara agama dan dunia, dan memohon pertolongan kepada Rabbnya kesuksesan yang dia inginkan, serta memohon pertolongan untuk menjalankannya. Sebab yang demikian itu dapat menghibur dirinya dari kegelisahan yang tengah menimpanya.
12.  Melihat kepada orang yang ada di bawahmu dan jangan melihat kepada orang yang berada di atasmu dalam perkara kesehatan dan apa-apa yang menyertainya, serta di dalam perkara rezki dan apa-apa yang menyertainya.
13.  Melupakan apa-apa yang telah berlalu dari perkara-perkara yang tidak disukai yang tidak mungkin baginya untuk mengulanginya, sehingga jangan memikirkannya secara terus-menerus.
14.  Jika seorang hamba mendapatkan musibah, hendaknya dia berusaha untuk meringankannya, dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang diakibatkan oleh musibah tersebut, dan mencegahnya dengan segenap kemampuan.
15.  Kuatnya hati serta tidak adanya kecemasan dan perasaan yang larut dalam kebimbangan-kebimbangan dan khayalan-khayalan yang justru akan lebih menyeretnya kepada pikiran-pikiran yang buruk, dan tidak menyikapinya dengan amarah. Tidak memikirkan akan musnahnya cita-cita yang didambakan dan terjadinya kegagalan yang tidak diinginkan bahkan menyerahkan perkara tersebut kepada Allah Azza wa Jalla disertai dengan melakukan sebab-sebab yang bermanfaat dan memohon kepada Allah ampunan dan keselamatan.
16.  Bersandarnya hati kepada Allah, bertawakkal kepada-Nya, dan berperasangka baik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebab orang yang bertawakkal kepada Allah tidak akan terpengaruh oleh berbagai macam kebimbangan.
17.  Seorang yang berakal akan mengetahui bahwa kehidupannya yang baik adalah kehidupan yang bahagia dan penuh ketentraman, dan bahwasannya kehidupan itu sangat pendek, sehingga dia tidak akan memperpendeknya lagi dengan  kebimbangan dan terus larut dalam kesusahan. Sebab yang demikian itu adalah lawan dari kehidupan yang baik.
18.  Jika menimpanya perkara-perkara yang dibenci, dia membandingkan antara nikmat-nikmat yang masih diberikan kepadanya, baik kenikmatan diniah maupun duniawiah dengan apa-apa yang menimpanya dari perkara-perkara yang tidak disukai. Ketika dia membandingkan hal tersebut, niscaya akan nampak jelas baginya akan banyaknya kenikmatan yang masih diberikan kepadanya. Dan demikian pula, dengan membandingkan antara apa-apa yang dikhawatirkan dari kejadian-kejadian yang akan memberikan madhorot kepadanya dengan kemungkinan-kemungkinan yang banyak dalam hal keselamatan. Sehingga tidak membiarkan kemungkinan-kemungkinan yang lemah mendominasi kemungkinan-kemungkinan yang banyak lagi kuat. Dengan demikian akan hilanglah kegelisahannya dan ketakutannya.
19.  Dia akan mengetahui bahwasannya gangguan manusia tidaklah dapat memberikan mudhorot kepadanya, khususnya dalam perkataan-perkataan yang buruk.  Bahkan hal itu akan menimbulkan bahaya bagi mereka sendri. Sehingga dia tidak menaruh perhatian dan tidak memperdulikannya hingga perbuatan tersebut tidak dapat memudhorotkannya.
20.  Dia akan menjadikan pikirannya kembali kepada apa-apa yang bermanfaat dalam kehidupan agama dan dunianya.
21.  Hendaknya seorang hamba tidak menuntut ucapan syukur (terima kasih) atas perbuatan baik yang dia korbankan dan dia kerjakan, kecuali dari Allah semata. Dia mengetahui bahwa perbuatan yang dia lakukan itu hanyalah merupakan muamalah darinya kepada Allah. Sehingga dia tidak peduli akan ucapan terima kasih dari orang yang dia beri kenikmatan.
Sebagaimana firman Allah Subahanahu wa Ta’ala :
“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu tidak pula (ucapan) terima kasih.” (Al-Insaan:9)
Hal ini lebih ditekankan lagi dalam bermuamalah dengan istri dan anak-anaknya.
22.  Dia menjadikan perkara-perkara yang bermanfaat terpampang di hadapan matanya serta berusaha untuk mewujudkannya, tidak memperhatikan kepada perkara-perkara yang mengandung mudhorot. Sehingga benak dan pikirannya tidak tersibukkan dengannya.
23.  Memutuskan perkara-perkara yang sedang dihadapi dan meluangkan pikiran untuk hari esok sehingga dia dapat menghadapi perkara hari esok dengan kekuatan pikiran dan amalan.
24.  Hedaknya dia menyeleksi amal-amal dan ilmu-ilmu yang bermanfaat mulai dari yang terpenting, terkhusus yang memiliki motivasi kuat di dalam menjalankannya. Tak lupa dengan meminta pertolongan kepada Allah kemudian memusyawarahkannya. Apabila nampak jelas adanya kemaslahatan hendaknya dia bertekad kuat untuk mengamalkannya diiringi tawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
25.  Menyebut-nyebut nikmat Allah, lahir maupun batin. Sebab dengan mengetahui nikmat Allah dan menceritakannya, Allah akan mencegah (datangnya) kebimbangan dan kegelisahan, dan akan memberikan semangat pada seorang hamba untuk bersyukur.
26.  Bermuamalah atau bergaul dengan pasangan hidup, kerabat, para pekerja dan dengan setiap orang yang berhubungan denganmu. Apabila engkau menemui ada kekurangan atau aib (maka pergaulilah mereka) dengan mengenal kebaikan-kebaikan mereka, dan membandingkan antara keduanya. Dengan senantiasa memperhatikan hal itu, persahabatan akan menjadi langgeng dan dada menjadi lapang. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Janganlah seorang mukmin membenci (istrinya) mukminah. Jika dia membenci darinya satu akhlaq, maka dia akan meridhoi dari siri istrinya tersebut akhlaq yang lain.”[4]
27.  Berdo’a untuk kebaikan semua urusannya, yang paling agung dari do’a-do’a itu adalah:

ALLAHUMMA ASHLIH LI DINI AL-LADZI HUWA ‘ISHMATU AMRI, WA DUN-YAYA AL-LATI FIHA MA’ASYI, WA AKHIROTI AL-LATI ILAIHA MA’ADI, WAJ’ALI AL-HAYATA ZIYADATAN LI FI KULLI KHOIRIN, WA AL-MAUTA ROHATAN LI MIN KULLI SYARRIN.

“Ya Allah, perbaikilah agamaku yang mana agama itu merupakan bentuk penjagaan urusanku, dan perbaikilah duniaku yang di dalamnya ada kehidupanku, dan juga akhiratku yang kepadanya tempat kembaliku, dan jadikanlah kehidupanku sebagai tambahan bagiku dalam segala kebaikan dan kematian merupakan peristirahatan bagiku dari segala keburukan.[5]

Juga do’a :

ALLAHUMMA ROHMATAKA ARJU FALA TAKILNI ILA NAFSI THORFATA ‘AININ, WA ASHLIHLI  SYA’NI KULLAHU, LA ILAHA ILLA ANTA .

“Ya Allah, rahmat-Mu aku harapkan, janganlah Engkau serahkan diriku pada diriku sendiri walaupun hanya sekejap mata, dan perbaikilah urusanku semuanya, tidak ada sesembahan (yang Haq) kecuali Engkau.”[6]
28.  Jihad fi sabilillah, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam:
“Berjihadlah kalian di jalan Allah. Sesungguhnya jihad fii sabiilillah adalah pintu diantara pintu-pintu yang dengannya Allah akan menyelamatkan (seorang hamba) dari kebimbangan dan kesusahan.[7]
Sebab-sebab serta sarana-sarana ini merupakan terapi pengobatan yang bermanfaat bagi penyakit-penyakit kejiwaan (psikologis) dan termasuk pengobatan yang teragung untuk mengobati goncangnya jiwa bagi orang yang mau mencermati dan mengamalkannya dengan jujur dan ikhlas. Sebagian ulama telah mempraktekkan metode pengobatan ini untuk mengobati kondisi dan penyakit kejiwaan, dan ternyata Allah memberikan manfaat yang sangat besar dengannya. 
Disalin dari : Al-Qohthoni, Said bin Ali bin Wahf. 2011. Tindakan Preventif Menghindari Sihir & Serangan Jin. Sukoharjo: Maktabah Al-Ghuroba, hal. 90-107
Silahkan klik disini untuk ebook pdf nya.

[1] Yakni lapang dan luas dadanya di dalam menerima apa-apa yang telah Allah takdirkan bagi dirinya dan di dalam menghadapi permasalahan-permasalahannya. –pent.
[2] Yaitu cacat atau aib yang ada di dalam sesuatu, yang aib tersebut dapat merusak sesuatu.
[3] Dikeluarkan Ibnu Majah no.4216, dan lihat “Shahih Ibnu Majah” (2/4111).
[4] Muslim 2/109
[5] Muslim (4/2086)
[6] Abu dawud (4/324) dan Ahmad (5/42)
[7] Ahmad (5/314, 316, 319, 326, 330) dan Al-Hakim, dia shahihkan serta disetujui oleh Adz-Dzahabi (2/75)

1 komentar:

  1. penyakin jiwa memang sulit diatasi ya mas. Butuh treatment tertentu agar bisa lekas sembuh :)

    BalasHapus

Terima kasih telah membaca artikel kami. Silahkan berkomentar dengan sopan.