Resensi Buku : FIKIH PUASA LENGKAP, Terjemah dan Syarah (Penjelasan) Kitab Manhajus Salikin Wa Taudhih al-Fiqhi fid-Din, Kitab ash-Shiyam




Resensi Buku : FIKIH PUASA LENGKAP, Terjemah dan Syarah (Penjelasan) Kitab Manhajus Salikin Wa Taudhih al-Fiqhi fid-Din, Kitab ash-Shiyam
A.          Tentang Buku
Judul Buku         : Fikih Puasa Lengkap (Bahasa Indonesia)
Judul Asli           : Manhajus Salikin Wa Taudhih al-Fiqhi fid-Din, Kitab Ash-Shiyam  (Bahasa Arab)
Karya                 : Al-Imam al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di
Pensyarah           : Abu ‘Abdillah Muhammad as-Sarbini al-Makassari
Penyalin             : Abu ‘Abdirrahman Muhammad bin Munir al-Marghubi
Cover                 : Ahmad Royyan
Cetakan              : Pertama, Juni 2011 – Rajab 1432 H
Penerbit              : Oase Media  (grub dari Asy-Syariah)
ISBN                  : 978-979-97587-2-9


 B.          Terjemah Matan Kitab
Al Imam as-Sa’di Rahimahullah berkata pada kitab Manhajus Salikin:

Kitab ash Shiyam (Kitab Puasa)
Dalil diwajibkannya ibadah puasa adalah firman Allah Azza wa Jalla :
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian…”(al-Baqarah: 183)
Berpuasa ramadhan wajib atas setiap muslim, yang telah baligh, berakal, dan mampu untuk berpuasa dengan berdasar (pada salah satu dari dua hal) : adanya ru’yah hilal ramadhan (melihat tanda awal bulan Ramadhan) atau dengan penyempurnaan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Berpuasalah kalian ketika melihat hilal Ramadhan dan berbukalah kalian (mengakhiri Ramadhan) ketika melihat hilal Syawal. Namun, jika hilal tertutup (tidak jelas) atas kalian, tentukanlah untuknya.” (Muttafaq ‘alaih)
Pada lafadz lain disebutkan, “…tentukanlah untuknya tiga puluh hari.”
Pada lafadz lain lagi disebutkan , “…Sempurnakanlah jumlah Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. al-Bukhari)
Pelaksanaan puasa Ramadhan bisa dengan dasar persaksian ru’yah hilal dari seorang yang ‘adl, sedangkan untuk bulan-bulan lainnya tidak diterima persaksian ru’yah hilalnya selain dari dua orang yang ‘adl.
Wajib menetapkan niat di malam harinya (sebelum waktu Subuh) untuk pelaksanaan puasa wajib. Adapun untuk puasa sunnah, diperbolehkan berniat di siang harinya.
Orang sakit yang terkena mudharat karena berpuasa dan musafir, keduanya memiliki pilihan untuk berbuka (tidak berpuasa) atau tetap berpuasa.
Wanita haid dan wanita nifas diharamkan berpuasa dan berkewajiban melakukan qadha puasa. Adapun wanita hamil dan wanita menyusui, jika keduanya mengkhawatirkan keadaan janin dan bayinya, diperbolehkan berbuka (tidak berpuasa) serta berkewajiban melakukan qadha puasa dan memberi makanan (fidyah) kepada fakir miskin untuk setiap puasa (yang ditinggalkannya).
Seorang yang tidak mampu lagi berpuasa karena lanjut usia atau karena penyakit yang tidak ada harapan sembuh, berkewajiban memberi makan seorang fakir miskin untuk setiap hari puasa (yang ditinggalkannya). 
Barangsiapa berbuka (batal puasa) dengan makan, minum, muntah secara sengaja, berbekam atau mengeluarkan mani karena memeluk istri, kewajibannya hanyalah melakukan qadha puasa (tanpa kaffarat). Akan tetapi, orang yang berbuka dengan jima’ (senggama) wajib melakukan qadha puasa dan (membayar kafarat berupa) membebaskan budak. Jika tidak mendapatkan budak, ia wajib (menebusnya) dengan berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Jika ia tidak mampu, ia wajib (menebusnya) dengan memberi makan enam puluh orang fakir miskin. Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda, ”Barangsiapa lupa selagi ia berpuasa, lalu ia makan atau minum, hendaklah ia menyempurnakan (melanjutkan) puasanya, karena sesungguhnya Allah semata-mata memberi makan dan minum kepadanya (tanpa membatalkan puasa).”(Muttafaq ‘alaih)
Rasulullah Shalllahu alaihi wasallam bersabda, “Kaum muslimin (yang berpuasa) akan senantiasa dalam kebaikan selama mereka bersegera dalam berbuka puasa.” (Muttafaq ‘alaih)
Beliau Shallalahu alaihi wasallam juga bersabda, “Hendaklah kalian makan sahur, karena pada santapan sahur terdapat berkah.” (Muttafaq ‘alaih)
Beliau Shallallahu alaihi wasallam bersabda pula, “Jika seseorang di antara kalian berbuka puasa, hendaknya ia berbuka dengan kurma kering. Jika ia tidak mendapati kurma kering, hendaknya ia berbuka dengan minum air, karena air itu suci lagi menyucikan.” (Hadits Riwayat lima imam)
Rasulullah Shalllahu alaihi wasallam bersabda, “barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan haram (dusta dan selainnya), serta tindakan dungu, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak berkeinginan terhadap aktivitas orang itu meninggalkan makan dan minum.” (HR.al-Bukhari)
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa mati dalam keadaan punya tanggungan puasa wajib, hendaklah walinya menunaikan puasa tersebut untuknya.” (Muttafaq ‘alaih)
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam ditanya mengenai puasa di hari Arafah, maka beliau bersabda, “Puasa hari Arafah akan menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.”
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam juga ditanya mengenai puasa di hari ‘Asyura, maka beliau bersabda, “Puasa ‘asyura akan menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu.”
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam ditanya pula mengenai puasa di hari Senin, maka beliau bersabda, “Itulah harikelahiranku dan hari aku diutus atau diturunkannya wahyu kepadaku.” (HR. Muslim)
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan lalu mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, ia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim)
Rasululah Shallallahu alaihi wasallam melarang berpuasa pada dua hari, hari ‘Idul Fitri dan hari raya Kurban (‘Idul Adha). (Muttafaq ‘alaih)
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam  bersabda, “Hari-hari tasyriq adalah hari-hari untuk makan dan minum serta berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla.” (HR. Muslim)

Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam juga bersabda, “Janganlah sekali-sekali seseorang di antara kalian berpuasa di hari Jum’at, kecuali ia berpuasa pula sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.”(Muttafaq ‘alaih)
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam telah bersabda, “Barangsiapa berpuasa ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosanya yang telah lalu. Barangsiapa melakukan shalat malam (shalat tarawih) selama Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosanya yang telah lalu. Barangsiapa melakukan shalat malam (Shalat tarawih) pada Lailatul Qadr (malam kemuliaan) karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq ‘alaih)
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam senantiasa melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Para istri beliau pun melakukan I’tikaf sepeninggal beliau. (Muttafaq ‘alaih)
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam  bersabda, “Tidaklah diikat (dipasang) pelana-pelana unta itu untuk safar (kunjungan ibadah) selain menuju tiga masjid: Masjidil Haram, masjidku ini (Masjid Nabawi) dan Masjidil Aqsha.” (Muttafaq ‘alaih)

C.          Daftar Isi
Kitab ini terdiri dari XV Bab. Pada daftar isi diuraikan secara lengkap per bab (sub bab). Berikut ini daftar isi pada bab tanpa uraian:

Prakata penerbit
Daftar isi
Bab I . Pendahuluan
Bab II. Syarat-syarat wajibnya puasa ramadhan
Bab III. Ketentuan memasuki Ramadhan
Bab IV. Ketentuan Niat berpuasa
Bab V. Ketentuan puasa bagi orang yang sakit dan musafir
Bab VI. Ketentuan puasa bagi wanita dalam kondisi-kondisi khusus
Bab VII. Ketentuan bagi orang yang tidak mampu lagi berpuasa
Bab VIII. Pembatal-pembatal puasa
Bab IX. Ketentuan berbuka puasa dan sahur
Bab X. Hal-hal lain yang ahrus ditinggalkan ketika berpuasa
Bab XI. Ketentuan tanggungan puasa orang yang meninggal dunia
Bab XII. Puasa-puasa sunnah
Bab XIII. Puasa-puasa yang dilarang
Bab XIV. Keutamaan ibadah di bulan ramadhan
Bab XV. Ibadah I’tikaf

D.          Prakata Penerbit
“… Buku yang ada di hadapan Anda adalah terjemahan dan syarah (penjelasan) dari kitab manhajus Salikin wa Taudhih  al-Fiqhi fid-Din, Kitab ash-Shiyam karya al Imam al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di Rahimahullah (1307-1376 H), salah seorang ulama yang menonjol dalam bidang tafsir, guru dari ulama besar Arab Saudi, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah.
Buku ini disayarah (dijelaskan) oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-sarbini al-makassari dalam majelis taklim beliau, yang kemudian disalin oleh Abu Abdirrahman Muhammad bin Munir al-Marghubi..”

E. Rekaman Kajian


Berikut ini link rekaman kajian membahas buku ini. Silahkan klik disini.