Beberapa Faidah Terkait Amalan di Bulan Dzulhijjah

Berikut iniadalah artikel dari salafy.or.id, yang ditulis oleh Ustadz  Kharisman tentang Beberapa Faidah Terkait Amalan di Bulan Dzulhijjah : (aslinya terdiri dari 3 tulisan, tapi Maktabah IMU satukan jadi 1)

Beberapa Faidah Terkait Amalan Di Bulan Dzhulhijjah

Di tulis Oleh Ustadz Kharisman
                Berikut ini adalah panduan ringkas dan sebagian dalam bentuk tanya jawab tentang amalan di bulan Dzulhijjah untuk kaum muslimin yang tidak berhaji. Penjelasan adalah seputar amalan di 10 hari awal bulan Dzulhijjah secara umum, shaum (puasa) Arafah, ibadah qurban, dan sholat Iedul Adha.
Keutamaan Amalan di 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah
          Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah saat-saat terbaik untuk beramal sholeh. Sebagian Ulama menjelaskan bahwa amalan terbaik yang dilakukan di waktu malam (dari terbenam matahari hingga terbit fajar) adalah pada saat 10 hari terakhir bulan Ramadhan dalam upaya mendapat Lailatul Qodar. Sedangkan untuk siang hari (dari terbit Fajar sampai terbenam matahari), amal sholeh yang terbaik adalah yang dilakukan di 10 hari pertama bulan Dzulhijjah (Tafsir Ibnu Katsir).
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامٍ أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ قَالُوا وَلَا الْجِهَادُ قَالَ وَلَا الْجِهَادُ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ
Dari Ibnu Abbas dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda: “Tidaklah ada suatu amalan yang lebih utama dikerjakan pada hari-hari ini (10 hari pertama Dzulhijjah). Para Sahabat bertanya: Apakah juga tidak bisa dikalahkan oleh Jihad fii Sabiilillah? Nabi bersabda: Tidak juga jihad fii sabiilillah , kecuali seseorang yang keluar (untuk berjihad) dengan jiwa dan hartanya kemudian tidak kembali sedikitpun (H.R alBukhari)
          Segala macam bentuk ibadah bisa diperbanyak sesuai dengan tuntunan Nabi. Bisa dalam bentuk sholat Sunnah, dzikir, shodaqoh, puasa Sunnah (selain di tanggal 10 Dzulhijjah), ataupun amal sholeh yang lain.
Bagi seseorang kepala keluarga yang akan berkurban, pada awal masuk bulan Dzulhijjah, hendaknya ia tidak memotong rambut, kuku, dan kulit yang ada pada tubuhnya, sesuai dengan hadits:
إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
“Jika masuk 10 awal Dzulhijjah, dan seseorang dari kalian ingin berkurban, maka janganlah mengambil rambut dan kulitnya sedikitpun” (H.R Muslim)
KEUTAMAAN SHOUM ARAFAH
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
 “dan (Nabi) ditanya tentang puasa hari Arafah maka beliau bersabda: Menghapus dosa tahun yang lalu dan yang akan datang” (H.R Muslim).
Disunnahkan untuk shoum pada hari Arafah  (9 Dzulhijjah), dan diharamkan puasa pada 10,11,12, dan 13 Dzulhijjah.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الْفِطْرِ وَالنَّحْرِ
 Dari Abu Said al-Khudry –radliyallahu ‘anhu-beliau berkata: Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam melarang puasa pada Iedul Fitri dan Iedul Adha “(H.R al-Bukhari).
عَنْ نُبَيْشَةَ الْهُذَلِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
 Dari Nubaisyah al-Hudzaliy beliau berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum (H.R Muslim)
 QURBAN:
 1.      Apakah hukum melakukan qurban bagi yang mampu?
Jawab: Hukumnya adalah Sunnah Muakkadah (ditekankan), Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam setiap tahun selalu berkurban. Namun, tidak sampai taraf wajib, karena Nabi menyatakan:
 إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
 “Jika masuk 10 awal Dzulhijjah, dan seseorang dari kalian ingin berkurban, maka janganlah mengambil rambut dan kulitnya sedikitpun” (H.R Muslim)
 Dalam hadits tersebut Nabi menyatakan : “ dan seseorang dari kalian ‘ingin’ berkurban”, jika merupakan kewajiban, Nabi tidak mengkaitkannya dengan ‘keinginan’.
Sedangkan hadits yang menyatakan:
 مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا
 “Barangsiapa yang memiliki kelapangan, sedangkan ia tidak berkurban, janganlah dekat-dekat musholla kami” (H.R Ahmad, Ibnu Majah, al-Hakim).
 Hadits tersebut (selain juga mauquf, sebagai ucapan Abu Hurairah, bukan ucapan Nabi) tidak secara tegas menunjukkan keharaman bagi yang meninggalkannya, karena sama dengan hadits:
 مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ قَالَ فَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا

“Barangsiapa yang makan bawang hendaknya menjauh dari masjid kami” (muttafaqun ‘alaih).
 Tidak ada seorang Ulama’ pun yang mengharamkan makan bawang berdasarkan hadits tersebut (Faidah ini diambil dari Fatwa Syaikh Bin Baz rahimahullah).
Selain itu, Abu Bakar dan Umar pernah tidak berukurban sebagai contoh agar orang tidak menganggapnya sebagai kewajiban (Tafsir al-Qurthuby 15/108)/.
Berkurban menjadi wajib jika seseorang telah bernadzar sebelumnya.
 2.      Apakah keutamaan berkurban?
Jawab: Berkurban keutamaannya sangat besar. Bahkan, Imam Ahmad berpendapat sejumlah uang yang dikeluarkan untuk penyembelihan kurban lebih utama dibandingkan nominal yang sama yang dikeluarkan untuk shodaqoh yang lain (Tafsir al-Qurthuby 15/108).
Ibnul Aroby menyatakan bahwa tidak ada satu hadits pun yang shahih yang terkait dengan keutamaan berkurban (Tuhfatul Ahwadzi juz 5 halaman 63).
Kalaulah tidak ada keutamaan lain selain karena Nabi mencontohkannya dan senantiasa melakukannya, maka cukuplah itu sebagai keutamaan. Karena menjalankan Sunnah Nabi menjadi sebab datangnya kecintaan dan ampunan Allah:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah, jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku (Nabi Muhammad), niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S Ali Imran: 31).
 3.      Jika seseorang mampu, apakah yang disunnahkan dia berkurban untuk setiap anggota keluarganya satu binatang kurban, atau mencukupkan satu untuk seluruh keluarganya?
Jawab: Yang disunnahkan adalah seseorang berkuban satu untuk seluruh anggota keluarganya yang berada dalam 1 rumah. Hal ini berdasarkan hadits:
 عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيَّ كَيْفَ كَانَتْ الضَّحَايَا فِيكُمْ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَ الرَّجُلُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ ثُمَّ تَبَاهَى النَّاسُ فَصَارَ كَمَا تَرَى
 Dari Atho’ bin Yasar beliau berkata: Aku bertanya kepada Abu Ayyub al-Anshori tentang bagaimana penyembelihan (kurban) yang kalian lakukan di masa Nabi shollallaahu alaihi wasallam? Beliau berkata: seseorang laki-laki di masa Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam berkurban satu domba untuk dirinya dan untuk keluarganya (ahlul bait). Mereka makan dan memberi makan (darinya), kemudian manusia bermegah-megah seperti yang kamu lihat (H.R atTirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan Malik)
 Jika seorang anak yang telah berkeluarga tinggal satu rumah bersama kedua orang tuanya, maka cukup berkurban 1 binatang kurban untuk seluruh penghuni rumah, sebagaimana difatwakan oleh Fatwa alLajnah adDaimah (11/404).
Jika seseorang memiliki anggota keluarga yang sangat banyak, satu binatang kurban sudah mencukupi, namun jika menyembelih lebih dari satu, maka itu lebih utama (Fatwa alLajnah adDaimah (11/408)).

4.      Bolehkah beberapa kepala keluarga patungan untuk membeli binatang kurban bersama?
 Jawab: Kalau patungannya untuk membeli kambing, maka tidak boleh. Namun jika untuk membeli sapi, maka tidak mengapa selama jumlah kepala keluarga yang menyerahkan iuran tidak lebih dari 7.
 عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رضي الله عنهما قَالَ : نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ ، وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ
 Dari Jabir bin Abdillah –radliyallaahu ‘anhumaa- beliau berkata: Kami menyembelih (alhadyu/kurban) bersama Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam pada tahun Hudaibiyyah untuk untuk 7 dan sapi untuk 7 (kepala keluarga)(H.R Muslim).
5.      Kapankah waktu penyembelihan kurban? Bolehkah dilakukan di waktu malam?
 Jawab: Penyembelihan kurban bisa dimulai setelah sholat Iedul Adha, jika dilakukan sebelumnya maka tidak terhitung sebagai ibadah kurban.
 مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيَذْبَحْ مَكَانَهَا أُخْرَى
Barangsiapa yang menyembelih (kurban) sebelum sholat (Ied) maka hendaknya mengganti dengan sesembelihan lain (setelah sholat) (H.R alBukhari dari Sahabat Jundab bin Sufyan alBajaly)
Berakhirnya masa penyembelihan adalah dengan berakhirnya waktu Ashar tanggal 13 Dzulhijjah.
وَكُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ
 “Semua hari tasyriq adalah hari penyembelihan” (H.R Ahmad. Ibnu Hajar menyatakan bahwa di dalam sanadnya terputus, namun tersambung dalam riwayat adDaruquthny, sedangkan seluruh perawinya terpercaya. Syaikh alAlbany menghasankannya).
Sehingga, masa penyembelihan kurban adalah 4 hari, yaitu:  tanggal 10 Dzulhijjah setelah sholat Ied, tanggal 11, tanggal 12, dan tanggal 13 Dzulhijjah. Perlu diingat bahwa berakhirnya hari pada penanggalan hijriah adalah dengan berakhirnya waktu Ashar.
Penyembelihan boleh dilakukan di waktu malam, karena tidak ada larangan dalam masalah ini, namun yang lebih utama di siang hari.
Jika penyembelihan terpaksa dilakukan setelah lewat dari tanggal 13 Dzulhijjah karena udzur, seperti binatangnya hilang kemudian baru ditemukan, atau orang yang dipercaya menanganinya terlupa, maka InsyaAllah tetap terhitung sebagai amalan kurban, diqiyaskan dengan seseorang yang terlewatkan melakukan sholat karena terlupa atau ketiduran (penjelasan Syaikh al-Utsaimin dalam Ahkaamul Udlhiyah).
 6.      Apa saja syarat-syarat Binatang Qurban?
Jawab : Syarat-syarat binatang qurban ada 5:
1.      Berupa hewan ternak unta, sapi, dan kambing (kambing kacang atau domba).
Itulah yang disebut bahiimatul an’aam dalam Quran surat al-Hajj ayat 34.
2.      Cukup usia
عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنْ الضَّأْنِ
Dari Jabir beliau berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah, kecuali jika sulit bagi kalian maka sembelihlah jadza’ah dari domba”(H.R Muslim).
Yang dimaksud dengan musinnahadalah: untuk unta 5 tahun, sapi 2 tahun, kambing 1 tahun. Jadza’ah adalah usia 6 bulan, hanya diperbolehkan bagi domba, jika kesulitan menemukan usia minimal 1 tahun. Untuk kambing kacang tidak boleh usia di bawah 1 tahun.
.
3.      Tidak ada cacat: penglihatan/mata, pincang, sakit, dan sangat kurus karena terlalu tua.
 أَرْبَعٌ لَا تُجْزِئُ الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ظَلْعُهَا وَالْكَسِيرُ الَّتِي لَا تُنْقِي
 Empat hal yang tidak memadai (untuk kurban) : buta jelas butanya, sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas pincangnya, dan yang sangat kurus dan tidak bersumsum (H.R Ahmad)
4.      Milik dari orang yang berkurban.
5.      Tidak terkait dengan hak orang lain, misal: hewan yang digadaikan.
(Disarikan dari Ahkaamul Udlhiyyah karya Syaikh alUtsaimin).
7.      Apa saja syarat Penyembelihan kurban?
 Jawab: Syarat-syarat dalam penyembelihan kurban ada 5:
a.      Penyembelihnya muslim atau ahlul kitab yang mumayyiz dan berakal sehat.
b.      Alat yang digunakan untuk menyembelih tidak boleh menggunakan tulang atau kuku.
مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوا مَا لَمْ يَكُنْ سِنًّا أَوْ ظُفْرًا
“apa yang mengalirkan darah dan disebut Nama Allah, maka makanlah, selama tidak menggunakan tulang atau kuku” (H.R Abu Dawud)
c.       Disebut nama Allah ketika penyembelihan. (Bismillah, Allahu Akbar)
d.     Penyembelihan pada bagian syar’i di leher yang memotong urat yang mengalirkan darah.
Di leher terdapat 3 macam saluran/ urat di leher : al-mari’ (saluran makan dan minum), al-hulquum (saluran pernapasan), dan al-wadjaan(urat yang mengalirkan darah, berjumlah 2). Yang wajib terpotong adalah semua alwadjan tersebut.
e.      Penyembelihan dilakukan di waktu-waktu kurban (dari selepas sholat Iedul Adha sampai berakhirnya Ashar 13 Dzulhijjah).
(Disarikan dari Fatwa Syaikh Sholeh al-Fauzan dan Ahkaamul Udlhiyah Syaikh al-Utsaimin).
8.      Bagaimana jika Penyembelihnya Lupa Membaca Nama Allah saat Menyembelih?
Jawab: Jika penyembelihnya lupa membaca Nama Allah, maka yang demikian tidak mengapa. Sesembelihan tetap sah. Sebagaimana pendapat dari Sahabat Ibnu Abbas, dinukil oleh Imam al-Bukhari dalam Shahihnya.
9.      Bolehkah Memberi Upah Kulit kepada Petugas Penyembelih?
Jawab: Tidak boleh memberi upah dari bagian hewan yang dikurbankan, baik berupa daging, kulit, dan lainnya. Hal ini sebagaimana hadits:
 أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ أَنْ يَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَمَرَهُ أَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلَالَهَا فِي الْمَسَاكِينِ وَلَا يُعْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا مِنْهَا شَيْئًا
(Dari Ali bin Abi Tholib) bahwa Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan beliau untuk mengurusi binatang kurban beliau dan membagikan seluruhnya daging, kulit, dan lapisan di punggung hewan tersebut kepada orang-orang miskin dan tidak memberi upah pada penyembelihan itu darinya sedikitpun” (Muttafaqun ‘alaih).
Upah boleh diberikan dalam bentuk lain, seperti uang.
Jika petugas penyembelih diberi bagian dari daging atau kulitnya sebagai bentuk hadiah, maka yang demikian tidak mengapa (sebagaimana difatwakan Syaikh alUtsaimin).
Upah adalah imbal jasa karena perbuatan sesuatu, sedangkan hadiah adalah pemberian untuk saling menumbuhkan perasaan cinta dan mempererat persaudaraan sesama muslim. Niat menjadi pembeda antara satu hal dengan hal yang lain.

10.  Bolehkah menjual kulit binatang yang dikurbankan?
Jawab: Tidak boleh bagi seseorang yang berkurban menjual kulit binatang kurbannya. Hal ini sesuai dengan hadits:
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
Barangsiapa yang menjual kulit kurbannya maka tidak ada kurban baginya (H.R alBaihaqy, dihasankan oleh Syaikh alAlbaany).
Sebaiknya kulit kurban itu diserahkan saja kepada pihak yang berhak menerima, misalkan fakir miskin, kemudian setelah diserahterimakan, maka kulit kurban itu adalah hak milik mereka yang bebas mau dijual lagi atau dipakai untuk keperluan lain.
11.  Bagaimana Alokasi Pembagian Daging Kurban?
Jawab:
Alokasi yang paling utama adalah untuk fakir miskin. Disunnahkan juga untuk memakan sebagian dari kurban tersebut.
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
…maka makanlah darinya, dan beri makan orang-orang yang sangat fakir (Q.S al-Hajj:28).
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ
…maka makanlah darinya, dan beri makan orang yang berkecukupan dan orang yang meminta” (Q.S al-Hajj:36).
Sebagian daging tersebut juga bisa diberikan sebagai bentuk hadiah kepada tetangga, kaum kerabat, dan semisalnya.
SHOLAT IEDUL ADHA:
Disunnahkan tidak makan sebelum sholat Iedul Adha
عن بُرَيْدَةَ رضي الله عنه قَالَ : كَانَ  رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ ، وَلا يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ ، فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ
Dari Buraidah radliyallaahu ‘anhu beliau berkata : Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam tidaklah berangkat menuju sholat Iedul Fitri sampai beliau makan (terlebih dahulu) dan beliau tidak makan pada hari Iedul Adha sampai kembali dan makan dari kurbannya (H.R Ahmad)
Menempuh jalan yang berbeda
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ . رواه البخاري
Dari Jabir bin Abdillah radliyallaahu ‘anhumaa beliau berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam pada hari Ied menempuh jalan yang berbeda (berangkat dan pulang dari tanah lapang sholat Ied)(H.R alBukhari).
Memperbanyak bacaan takbir
وروى الدارقطني وغيره أن ابن عمر كان إذا غدا يوم الفطر ويوم الأضحى يجتهد بالتكبير حتى يأتي المصلى ، ثم يكبر حتى يخرج الإمام
adDaruquthny dan selainnya meriwayatkan bahwa Ibnu Umar jika berangkat pagi hari melakukan sholat Iedul Fitri dan Iedul Adha bersungguh-sungguh dalam bertakbir sampai tiba di tempat sholat, kemudian terus bertakbir sampai keluarnya Imam
Memperbanyak takbir selepas sholat Fardlu 5 waktu disunnahkan untuk dilakukan sejak selepas sholat Subuh 9 Dzulhijjah hingga berakhirnya Ashar 13 Dzulhijjah (akhir tasyriq). Seperti yang dilakukan Sahabat Nabi:
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ مِنْ غَدَاةِ عَرَفَةَ إِلَى آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ
Dari Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhuma bahwasanya beliau bertakbir dari (selepas) sholat Subuh di hari Arafah hingga akhir hari tasyriq (H.R Musaddad dan dinyatakan bahwa para perawinya terpercaya oleh al-Bushiry dalam al-Ithaaf)

Takbir dan Bacaan di antara Takbir
عن عائشة رضي الله عنها : ” التكبير في الفطر والأضحى الأولى سبع تكبيرات وفي الثانية خمس تكبيرات سوى تكبيرتي الركوع ” رواه أبو داود وصححه الألباني في إراواء الغليل

Dari ‘Aisyah –semoga Allah meridlainya- : “Takbir pada sholat Iedul Fitri dan Iedul Adha pada rokaat pertama 7 takbir dan pada rokaat kedua 5 takbir selain takbir ruku’ “(riwayat Abu Dawud dishahihkan oleh Syaikh alAlbany dalam Irwaul Ghalil)
Disunnahkan untuk memuji Allah dan bersholawat kepada Nabi pada saat diam di antara takbir-takbir tersebut:
Ibnu Mas’ud berkata:
يحمد الله بين التكبيرتين ويصلي على النبي صلى الله عليه وسلم
Memuji Allah dan bersholawat kepada Nabi di antara takbir (Ma’rifatus Sunan wal Atsar lil Baihaqy (5/327).
 Bagaimana jika terlambat/ketinggalan sholat Ied
 Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad berpendapat bahwa seorang yang terlambat sholat Ied hendaknya melakukan sholat Ied sebagaimana kaifiyat sholat Ied biasanya: 2 rokaat, 7 takbir di rokaat pertama dan 5 takbir di rokaat kedua. Dalilnya:
 إِذَا أَتَيْتُمْ الصَّلَاةَ فَلَا تَأْتُوهَا وَأَنْتُمْ تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا وَعَلَيْكُمْ السَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَاقْضُوا
 “Jika engkau mendatangi sholat, janganlah mendatanginya dalam keadaan tergesa-gesa. Datangilah dalam keadaan tenang. Apa yang kamu dapatkan, maka sholatlah, apa yang terluputkan maka gantilah” (H.R Ahmad, semakna dengan hadits Muttafaqun ‘alaih).
Jika seorang mendatangi sholat Ied khotib sedang berkhutbah, sebaiknya ia dengarkan khutbah terlebih dahulu, kemudian mengganti sholat Ied yang terluputkan agar mendapatkan 2 keutamaan sekaligus (mendengarkan khutbah dan sholat Ied) (Fatwa al-Lajnah ad-Daimah)
Hukum Mendengarkan Khutbah Ied
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ السَّائِبِ قَالَ  شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ قَالَ إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ
 Dari Abdullah bin as-Saib beliau berkata: Aku mengikuti sholat Ied bersama Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam. Ketika selesai sholat beliau bersabda: Sesungguhnya kami akan berkhutbah, barangsiapa yang mau duduk mendengarkan khutbah silakan duduk, barangsiapa yang ingin untuk pergi silakan pergi (H.R Abu Dawud, anNasaai, dan Ibnu Majah)
 Bagaimana jika Iedul Adha/ Iedul Fitri bertepatan dengan hari Jumat
قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
“Telah tergabung dalam hari kalian ini 2 Ied, barangsiapa yang mau, (sholat Ied) telah mencukupinya (tidak wajib lagi) dari sholat Jumat, dan kami akan melaksanakan sholat Jumat”(diriwayatkan oleh Abu Dawud)

--alhamdulillah --