Banyak hikmah di belakang syariat berqurban yang mengingatkan seorang hamba kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan hari akhirat.
Di antara hikmah tersebut adalah:
1. Menegakkan peribadahan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ menjelaskan ibadah qurban sebagai
salah satu bentuk penegakan perintah dan penyerahan diri kepada-Nya
sebagaimana dalam firman-Nya,
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb
semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya, demikian itulah yang diperintahkan
kepadaku, dan saya adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri
(kepada Allah).’.” [Al-An’âm: 162-163]
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ juga menjelaskan bahwa berqurban adalah ibadah yang agung bila disertai dengan takwa dan keikhlasan sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging-daging dan darah (unta) itu sekali-kali tidak dapat
mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalianlah yang dapat
mencapainya.” [Al-Hajj: 37]
2. Sebagai lambang kesyukuran seorang hamba terhadap nikmat Allah Subhânahû wa Ta’âlâ.
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ berfirman,
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela
dengan sesuatu yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang
yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada
kalian, mudah-mudahan kalian bersyukur.” [Al-Hajj: 36]
3. Menghidupkan sunnah Nabi Ibrahim ‘alaihis salâm.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ
إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى
قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ
مِنَ الصَّابِرِينَ. فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ. وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ. قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ. إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ. وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku, sesungguhnya saya
melihat dalam mimpi bahwa saya menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa
pendapatmu!’ (Anaknya) menjawab, ‘Wahai ayahku, kerjakanlah sesuatu
yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku
termasuk ke dalam golongan orang-orang yang sabar.’ Tatkala keduanya
telah berserah diri dan (Ibrahim) membaringkan (anak)nya di atas
pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia,
‘Wahai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu.
Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang
berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan
Kami menebus (anak itu) dengan seekor sembelihan yang besar.” [Ash-Shaffât: 102-107]
Sementara itu, Allah Subhânahû wa Ta’âlâ telah memerintah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan umat beliau untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim ‘alaihis salâm sebagaimana dalam firman-Nya,
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Kemudian Kami mewahyukan kepadamu (Muhammad), ‘Ikutilah agama
Ibrahim dengan hanif (lurus, condong kepada tauhid),’ dan dia tidaklah
termasuk ke dalam golongan orang-orang musyrikin.” [An-Nahl: 123]
Seorang muslim, bila mengingat kesabaran Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘alaihis salâm, akan mencontoh kesabaran mereka berdua dalam hal menjalankan perintah Allah ‘Azza wa Jalla, dan selalu mengingat bahwa mendahulukan perintah Allah di atas segala hal adalah lebih baik baginya.
4. Memperkuat tali persaudaraan dan kecintaan antara sesama muslim.
Hal ini sangat tampak dari beberapa syariat dalam berqurban, seperti
memberi sebagian daging qurban kepada tetangga dan fakir miskin serta
pembolehan kepada tujuh orang untuk berserikat dalam penyembelihan.
5. Pengagungan terhadap simbol Allah Subhânahû wa Ta’âlâ.
Tidak diragukan bahwa ibadah qurban adalah salah satu simbol Allah
yang sangat agung. Menegakkan simbol tersebut merupakan buah ketakwaan.
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ berfirman,
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa yang mengagungkan
syiar-syiar Allah, sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” [Al-Hajj: 32]
6. Mendulang kebaikan dari pelaksanaan ibadah qurban.
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ berfirman,
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ
“Dan telah Kami jadikan untuk kalian unta-unta itu sebagian dari
syiar Allah agar kalian memperoleh kebaikan yang banyak padanya.” [Al-Hajj: 36]
Ketika menafsirkan ayat di atas, Ibnu Katsîr rahimahullâh
berkata, “Sesungguhnya sebagian salaf ada yang berutang untuk
menggiring unta. Oleh karena itu, dikatakan kepadanya, ‘(Mengapa)
engkau berutang untuk menggiring unta?’ Dia menjawab, ‘Saya mendengar
Allah berfirman, ‘Untuk kalian memperoleh kebaikan yang banyak padanya.’.’.”
7. Memberi kelapangan kepada anak, keluarga, dan tetangga pada hari ‘Id.
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ berfirman,
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ
“Maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela
dengan sesuatu yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang
yang meminta.” [Al-Hajj: 36]
Dari Al-Barâ` bin Azib radhiyallâhu ‘anhumâ, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ بِهِ فِى يَوْمِنَا
هَذَا نُصَلِّى ثُمَّ نَرْجِعُ فَنَنْحَرُ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ
أَصَابَ سُنَّتَنَا وَمَنْ ذَبَحَ فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ قَدَّمَهُ
لأَهْلِهِ لَيْسَ مِنَ النُّسُكِ فِى شَىْءٍ.
“Sesungguhnya permulaan, yang kita mulai pada hari kita ini,
adalah shalat. Setelah itu, kita kembali lalu menyembelih. Barangsiapa
yang mengerjakan hal tersebut, sesungguhnya ia telah mencocoki sunnah
kami, dan barangsiapa yang menyembelih sebelum pelaksanaan shalat
(‘Id), sesungguhnya (sembelihan) itu hanyalah daging yang dia
peruntukkan untuk keluarganya, tidak terhitung sebagai nusuk (sembelihan) sama sekali.” [1]