Telah berlalu hadits-hadits yang menyebutkan perintah Nabi untuk
mengulangi penyembelihan yang dilaksanakan bukan pada waktunya, seperti
hadits Jâbir bin Abdillah radhiyallâhu ‘anhumâ bahwa beliau berkata,
صَلَّى بِنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَوْمَ النَّحْرِ بِالْمَدِينَةِ فَتَقَدَّمَ رِجَالٌ فَنَحَرُوا وَظَنُّوا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَدْ نَحَرَ فَأَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَنْ كَانَ نَحَرَ قَبْلَهُ أَنْ يُعِيدَ بِنَحْرٍ آخَرَ وَلاَ يَنْحَرُوا حَتَّى يَنْحَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat dengan mengimami kami pada hari Nahr di Madinah. Maka, sekelompok lelaki maju kemudian menyembelih. Mereka menyangka bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah menyembelih. Oleh karena itu, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam
memerintah siapa saja, yang telah menyembelih sebelum beliau
(menyembelih), untuk mengulangi penyembelihannya dengan sembelihan
lain, dan tidak boleh ada yang menyembelih hingga Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah menyembelih.” [1]
Juga hadits Jundub bin Sufyah Al-Bajaly radhiyallâhu ‘anhu bahwa beliau bersabda,
مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَلْيَذْبَحْ شَاةً مَكَانَهَا وَمَنْ لَمْ يَكُنْ ذَبَحَ فَلْيَذْبَحْ عَلَى اسْمِ اللَّهِ.
“Barangsiapa yang menyembelih sebelum pelaksanaan shalat (‘Id),
hendaknya ia menyembelih kambing (lain) sebagai pengganti, dan
barangsiapa yang belum menyembelih, hendaknya dia menyembelih dengan
(menyebut) nama Allah.” [2]
Juga ada hadits-hadits lain yang belum kami sebutkan disini.
Hadits-hadits tersebut menunjukkan hukum-hukum yang harus diketahui
berkaitan dengan hewan yang telah dipastikan sebagai udh-hiyyah.
Hewan terpastikan menjadi udh-hiyyah berdasarkan salah satu dari dua perkara:
- Dengan mengucapkan pemastian, seperti seseorang yang menyatakan, “Ini adalah hewan qurban,” dengan maksud bahwa hewan tersebut telah menjadi hewan udh-hiyyah. Adapun kalau ia baru mengabarkan sesuatu yang akan dilakukan pada masa mendatang, hal itu belum terhitung pemastian.
- Dengan menyembelih hewan tersebut dengan niat udh-hiyyah.
Apabila hewan telah terpastikan menjadi udh-hiyyah, berikut sejumlah hukum yang berkaitan dengan udh-hiyyah tersebut.
Pertama, udh-hiyyah tidak
boleh berpindah kepemilikan, baik dengan cara dijual, dihibahkan,
dihadiahkan, maupun dengan cara lain, kecuali kalau si pemilik menjual udh-hiyyah tersebut untuk membeli udh-hiyyah yang lebih baik. Apabila pemilik udh-hiyyah, yang telah memastikan hewannya sebagai udh-hiyyah, meninggal, ahli warisnya harus tetap menyembelih dan membagikan udh-hiyyah tersebut.
Kedua, udh-hiyyah tidak
boleh digunakan secara mutlak: tidak boleh dipakai untuk membajak
tanah, tidak boleh ditunggangi tanpa hajat, susunya tidak boleh diperah
kalau hal itu membahayakannya, atau bentuk lain yang semisalnya.
Ketiga, kalau udh-hiyyah itu terkena cacat atau aib, pertanggungjawaban terhadap udh-hiyyah tersebut dirinci. Kalau cacat tersebut karena keteledoran atau perbuatan pemilik udh-hiyyah, dia wajib mengganti udh-hiyyah tersebut. Namun, kalau cacat tersebut bukan karena kesengajaan sang pemilik, udh-hiyyah itu tetap disembelih dan terhitung sah, insya Allah.
Keempat, demikian pula, kalau udh-hiyyah tersebut hilang, pertanggungjawaban dilihat dari faktor kelalaian sang pemilik. Jika hilang karena kelalaian pemilik, udh-hiyyah wajib diganti dengan udh-hiyyah lain yang semisal dengannya. Akan tetapi, jika hilang bukan karena kelalaian, udh-hiyyah tidak wajib diganti.
Kelima, sama
halnya, bila sembelihan tersebut mati sebelum disembelih,
pertanggungjawaban ditinjau dari sebab kematiannya. Bila sembelihan
mati karena suatu penyakit yang wajar, sang pemilik tidak berkewajiban
untuk menggantinya. Namun, bila sembelihan mati karena perbuatan tangan
pemiliknya, sang pemilik wajib menggantinya.
Keenam, penyembelihan yang
dilakukan sebelum pelaksanaan shalat ‘Id sama hukumnya dengan mematikan
hewan tersebut secara sengaja sehingga sang pemilik berkewajiban untuk
mengganti hewan itu.