Hukum Tentang Berqurban


Kebanyakan ulama, dinukil dari Abu Bakr Ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khaththâb, Bilâl, dan Abu Mas’ûd Al-Badry dari kalangan shahabat, serta Suwaid bin Ghafalah, Sa’îd bin Al-Musayyab, Sufyân Ats-Tsaury, Ibnul Mubârak, ‘Athâ`, ‘Alqamah, Al-Aswad, Malik –dari pendapat masyhur beliau-, Asy-Syâfi’iy, Ahmad, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, Ishâq, Abu Tsaur, Al-Muzany, Ibnul Mundzir, Dâwud, Ibnu Hazm, dan selain mereka dari kalangan imam fiqih, berpendapat bahwa hukum tentang berqurban adalah sunnah. Mereka memahami bahwa dalil-dalil tentang syariat udh-hiyyah hanya menunjukkan penganjuran, bukan pengwajiban, apalagi Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا.
“Apabila telah masuk sepuluh (awal Dzulhijjah) dan salah seorang di antara kalian berkehendak untuk menyembelih (qurban), janganlah ia menyentuh sesuatu pun berupa rambut dan kulitnya.” [1]

Sabda beliau, “Dan salah seorang dari kalian berkehendak untuk menyembelih qurban,” menunjukkan ketidakwajiban hal tersebut karena hal yang bersifat wajib mesti dilaksanakan, bukan suatu alternatif yang disandarkan kepada kehendak pelaku sebagaimana dalam hadits di atas. Demikian keterangan Imam Asy-Syâfi’iy dan selain beliau.
Selain itu, di antara dalil tentang ketidakwajiban berqurban adalah hadits yang diriwayatkan oleh Jâbir radhiyallâhu ‘anhu bahwa beliau berkata, “Saya menyaksikan (‘Idul) Adha bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam di lapangan. Tatkala beliau selesai berkhutbah, seekor kambing didatangkan kepada beliau, lalu beliau pun menyembelih (kambing) tersebut seraya bersabda,
بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّيْ وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِيْ
Bismillâhi wallâhu Akbar. Ya Allah, ini untuk saya dan untuk siapa saja di antara umatku yang tidak berqurban.’.”[2]
Imam Asy-Syaukâny menjelaskan sisi pendalilan akan ketidakwajiban berqurban, dari hadits di atas dan yang semisalnya dengannya, melalui ucapan beliau, “Yang tampak adalah bahwa udh-hiyyah beliau, bagi umat dan keluarga beliau, adalah mencukupi orang yang tidak berqurban, baik orang tersebut mampu ber-udh-hiyyahatau tidak.”
Selain itu, di antara dalil akan ketidakwajiban berqurban adalah sejumlah atsar dari shahabat yang menguatkan pendapat jumhur ulama:
Diriwayatkan oleh Al-Baihaqy, dari Abu Sarîhah Hudzaifah bin Usaid Al-Ghifaryradhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata,
أَدْرَكْتُ أَبَا بَكْرٍ أَوْ رَأَيْتُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا لاَ يُضَحِّيَانِ كَرَاهِيَةَ أَنْ يُقْتَدَى بِهِمَا
“Saya mendapati Abu Bakr, atau saya melihat Abu Bakr dan Umar radhiyallâhu ‘anhumâ, tidak mengerjakan udh-hiyyah karena khawatir bila mereka dijadikan panutan.”
Maksudnya adalah bahwa mereka dijadikan panutan agar tidak meninggalkan berqurban atau menganggap bahwa berqurban itu wajib.
Juga dari Abu Mas’ûd Al-Anshâry, beliau berkata,
إِنِّيْ لأَدَعُ الأَضْحَى وَإِنِّيْ لَمُوسِرٌ مَخَافَةَ أَنْ يَرَى جِيرَانِيْ أَنَّهُ حَتْمٌ عَلَيَّ
“Saya meninggalkan udh-hiyyah, padahal saya sangat berkelapangan, karena khawatir bahwa para tetanggaku beranggapan bahwa hal tersebut adalah wajib bagiku.” [3]
Imam Al-Bukhâry menyebutkan pula hadits dari Ibnu Umar radhiyallâhu ‘anhumâbahwa beliau berkata,
هِيَ سُنَّةٌ مَعْرُوْفَةٌ
“(Udh-hiyyah) itu adalah sunnah dan dikenal.” [4]
Masih ada beberapa ucapan shahabat lain tentang ketidakwajiban berqurban tersebut:
Ibnu Hazm rahimahullâh berkata, “Tidak sah, dari seorang shahabat pun, bahwaudh-hiyyah adalah wajib.”[5]
Al-Mâwardy rahimahullâh berkata, “Telah diriwayatkan, dari para shahabat, hal yang merupakan ijma’ (kesepakatan) akan gugurnya kewajiban (udh-hiyyah).”[6]
Pada versi lain, sejumlah ulama berpendapat bahwa hukum udh-hiyyah adalah wajib. Pendapat tentang kewajiban berqurban adalah pendapat Rabî’ah, Al-Laits bin Sa’d, Al-Auzâ`iy, Abu Hanîfah, salah satu pendapat Malik, serta salah satu riwayat dari Abu Yusuf dan Muhammad. Pendapat ini pula yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Mereka memandang bahwa udh-hiyyah merupakan salah satu simbol Islam dan ibadah yang ditekankan dalam banyak dalil dari Al-Qur`an maupun hadits.
Ada beberapa dalil yang dipakai oleh kalangan ulama yang mewajibkan udh-hiyyah. Namun, semua dalil tersebut mengandung kemungkinan yang bermakna sunnah, bukan wajib. Selain itu, dalil-dalil tersebut banyak berasal dari hadits lemah. Oleh karena itu, kami lebih condong kepada pendapat yang menyatakan bahwa udh-hiyyah adalah sunnah, bukan wajib. Kendati demikian, dalil-dalil ulama, yang menganggap udh-hiyyah adalah wajib, tetap perlu dipertimbangkan sehingga seorang muslim dan muslimah, yang mempunyai kelapangan harta, tidak pantas meninggalkan ibadah yang agung nan mulia ini.

Seekor Kambing untuk Satu Keluarga
Seekor kambing cukup bagi satu orang bersama anggota keluarga di rumahnya, dan ia boleh mengikutkan orang lain dalam pahala udh-hiyyah-nya sebab, ketika menyembelih, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam membaca basmalah lalu berdoa,
اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ.
“Ya Allah, terimalah dari Muhammad dan keluarga Muhammad, serta dari umat Muhammad.” [7]
Anggota keluarga yang tersebut dalam hadits mencakup istrinya –walaupun lebih dari satu dan berpisah rumah-, anak-anaknya, dan keluarganya yang tinggal serumah dengannya.

Mana yang Lebih Utama, Berqurban atau Bersedekah Senilai Harga Qurban?
Ada sebagian kaum muslimin yang tidak berqurban, tetapi bersedekah senilai harga hewan qurban, yang sedekah tersebut ditujukan kepada hal yang lebih bermanfaat menurut pandangan mereka.
Namun, hal ini adalah sebuah kekeliruan yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Berqurban adalah simbol Allah ‘Azza wa Jalla yang disyariatkan untuk ditegakkan sebagaimana dalam firman-Nya,
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah, sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” [Al-Hajj: 32]
Selain itu, contoh amalan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah dengan berqurban, bukan dengan bersedekah, sedang Allah Subhânahû wa Ta’âlâberfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik pada (diri) Rasulullah itu bagi kalian, (yaitu) bagi siapa saja yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat serta banyak menyebut Allah.” [Al-Ahzâb: 21]
Telah berlalu, bersama kita, sejumlah dalil yang menunjukkan makna kesunnahan dengan berqurban, bukan dengan mensedekahkan harga qurban tersebut. Selain itu, akan datang sejumlah dalil lain yang memuat makna ini.

Udh-hiyyah untuk Musafir dan Orang yang Sedang Berhaji
Jumhur ulama berpendapat bahwa udh-hiyyah disyaratkan untuk seluruh kaum muslimin, baik laki-laki maupun perempuan, baik penduduk kota maupun penduduk desa, serta baik orang yang bermukim, musafir, maupun orang yang tengah menunaikan ibadah haji.
Jumhur ulama berpegang dengan dalil-dalil umum tentang pensyariatan udh-hiyyah bahwa syariat udh-hiyyah tersebut berlaku umum bagi seluruh kaum muslimin.
Dalam Shahîh beliau, Imam Al-Bukhâry memberi judul “Bab Udh-hiyyah untuk Musafir dan Kaum Perempuan” lalu membawakan sanadnya kepada Aisyahradhiyallâhu ‘anhâ bahwa sesungguhnya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam masuk menjumpai Aisyah, sedang Aisyah menangis –karena mengalami haid di Sarif, sebelum memasuki Makkah- maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا لَكِ أَنَفِسْتِ . قَالَتْ نَعَمْ . قَالَ إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ ، فَاقْضِيْ مَا يَقْضِيْ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِيْ بِالْبَيْتِ. فَلَمَّا كُنَّا بِمِنًى أُتِيتُ بِلَحْمِ بَقَرٍ ، فَقُلْتُ مَا هَذَا قَالُوا ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ أَزْوَاجِهِ بِالْبَقَرِ
“Ada apa denganmu, apakah engkau nifas (baca: haid)?” (Aisyah) menjawab, “Iya.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya ini adalah perkara yang Allah tetapkan untuk anak-anak perempuan Adam. Tunaikanlah (amalan) yang ditunaikan oleh orang yang berhaji, kecuali thawaf di Al-Bait (Ka’bah).” (Perawi berkata), “Tatkala kami berada di Madinah, daging sapi didatangkan untukku. Saya berkata, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Rasulullah ber-udh-hiyyah untuk isti-istrinya dengan seekor sapi.” [8]
Juga telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahîh beliau dari Tsaubânradhiyallâhu ‘anhu bahwa Tsaubân berkata,
ذَبَحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ضَحِيَّتَهُ ثُمَّ قَالَ يَا ثَوْبَانُ أَصْلِحْ لَحْمَ هَذِهِ. فَلَمْ أَزَلْ أُطْعِمُهُ مِنْهَا حَتَّى قَدِمَ الْمَدِينَةَ
“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menyembelih udh-hiyyah lalu bersabda, ‘Wahai Tsaubân, simpanlah daging udh-hiyyah ini dengan baik.’ Saya pun terus memberi makan untuk beliau berupa (udh-hiyyah) tersebut hingga beliau tiba di Madinah.”
Dalil-dalil di atas dan selainnya adalah bantahan bagi orang-orang Hanafiyah dan Malikiyah yang berpendapat bahwa tidak ada udh-hiyyah bagi orang yang sedang berhaji, juga bantahan bagi orang-orang Hanafiyah dalam hal membedakan antara mukim dan musafir menyangkut kewajiban udh-hiyyah, yang merupakan pendapat yang dipegang dalam madzhab Hanafiyah.

Terhadap Orang yang Tidak Mampu, Apakah Boleh Berutang Agar Mampu Berqurban?
Jawabannya adalah bahwa, kalau orang tersebut mampu melunasi utangnya ketika meminjam untuk ber-udh-hiyyah, hal tersebut adalah baik, tetapi dia tidaklah wajib berutang. Demikian simpulan dari fatwa Ibnu Taimiyah[9].

Menyembelih Hewan dengan Niat Udh-hiyyah dan Aqiqah
Tentang seseorang yang ingin mengaqiqah anaknya sekaligus ber-udh-hiyyahkarena pelaksanaan aqiqah tersebut bertepatan dengan ‘Idul Adha dan hari-hari Tasyriq, apakah udh-hiyyah-nya telah mencukupi aqiqahnya?
Ada dua pendapat di kalangan ulama:
Pendapat pertama adalah bahwa udh-hiyyah telah mencukupi aqiqah. Demikian pendapat Al-Hasan Al-Bashry, Muhammad bin Sîrîn, Qatâdah, dan Hisyâm, juga merupakan madzhab Hanafiyyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Pendapat kedua adalah bahwa udh-hiyyah tidaklah mencukupi aqiqah, tetapi ada sembelihan tersendiri untuk aqiqah. Ini adalah pendapat orang-orang Malikiyyah dan Syâfi’iyyah serta riwayat lain dari Imam Ahmad.
Yang lebih kuat dari dua pendapat di atas adalah pendapat kedua karena aqiqah dan udh-hiyyah mempunyai sebab pensyariatan yang berbeda dan maksud-maksud pensyariatan yang berbeda, sedang dua ibadah boleh digabung dalam sebuah niat dan pelaksanaan bila ada keserupaan antara keduanya.
Wallâhu A’lam.


[1] Akan datang takhrîj-nya.
[2] Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dâwud, At-Timidzy, Ad-Dâraquthny, Ath-Thahâwy, Al-Hakim, Al-Baihaqy, dan selain mereka. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albânyrahimahullâh dalam Irwâ’ul Ghalîl no. 1138. Terdapat penyebutan kata mimbardalam konteks riwayat dari beberapa rujukan di atas, tetapi penyebutan tersebut adalah syâdz ‘ganjil, lemah’ sebagaimana keterangan Al-Albâny dalam Silsilah Al-Ahâdîts Adh-Dha’îfah 2/379-380.
[3] Diriwayatkan oleh Al-Baihaqy. Sanadnya dishahihkan oleh Ibnu Hajar, dalam At-Talkhish, dan Al-Albâny, dalam Irwâ’ul Ghalîl 4/355.
[4] Dalam Fathul Bâry, Ibnu Hajar menyebut bahwa ucapan Ibnu Umar ini diriwayatkan secara bersambung oleh Hammâd bin Salamah dalam Mushannaf-nya dengan sanad yang jayyid ‘baik’.
[5] Al-Muhalla.
[6] Al-Hâwy 19/85.
[7] Diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ.
[8] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry, Muslim, An-Nasâ`iy dan Ibnu Mâjah.
[9] Majmû’ Al-Fatâwâ 26/305.