Keutamaan Hari Nahr

Keutamaan Hari Nahr


Dari Abdullah bin Qurath radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَعْظَمُ الأَيَّامِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمُ النَّحْرِ ثُمَّ يَوْمُ الْقَرِّ

“Hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari An-Nahr kemudian hari Al-Qarr.” [1]
An-Nahr berarti penyembelihan. 10 Dzulhijjah disebut dengan hari An-Nahr sebab hari tersebut adalah permulaan syariat penyembelihan hewan qurban.
Hari Al-Qarr artinya hari menetap karena, pada 11 Dzulhijjah, orang-orang yang mengerjakan ibadah haji bermalam dan menetap di Mina.

Selain itu, 12 Dzulhijjah disebut dengan nama hari An-Nafar Al-Awwal karena jamaah haji keluar dari Mina pada hari ini.
13 Dzulhijjah disebut dengan nama hari An-Nafar Ats-Tsâny karena ini adalah hari terakhir di Mina bagi jamaah haji yang menginginkan hal yang lebih afdhal.
Hadits di atas menunjukkan bahwa hari An-Nahr adalah hari yang paling agung di sisi Allah Subhânahû wa Ta’âlâ. Hari An-Nahr adalah hari haji Akbar yang ­disebutkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam [2] dan termasuk hari ‘Id umat Isla­m sebagaimana keterangan yang telah berlalu dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallâhu ‘anhu.
Hari An-Nahr, atau ‘Id An-Nahr, lebih utama daripada ‘Idul Fitri. Hal ini karena, pada ‘Id An-Nahr, terdapat pelaksanaan shalat, penyembelihan, keutamaan dalam sepuluh hari Dzulhijjah, serta keutaman tempat dan waktu yang agung bagi orang-orang yang melaksanakan ibadah haji, sedangkan, pada ‘Idul Fitri, hanya terdapat pelaksanaan shalat dan shadaqah saja. Tentunya, sembelihan lebih utama daripada shadaqah.
Terdapat sejumlah hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan ‘Id An-Nahr atau ‘Idul Adha yang, insya Allah, ­akan diuraikan dalam kesempatan lain.


[1] Hadits ini di atas diriwayatkan oleh Ahmad 4/350, Abu Dâwud no. 1765, An-Nasâ`iy dalam As-Sunan Al-Kubrâ` no. 4098, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahâd wal Matsâny no. 2407-2408, Ibnu Khuzaimah no. 2866, 2917, 2966, Al-Hâkim 4/246, dan Al-Baihaqy 5/241, 7/288, serta dishahih­kan oleh Al-Albâny dalam lrwâ’ul Ghalîl no. 1958.
[2] Sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar radhiyallâhu ‘anhumâ riwayat Al-Bukhâry –secara mu’allaq-, Abu Dâwud, Ibnu Mâjah no. 3059, Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqât 2/183-184, Ath-Thabarâny 2/377, Al-Hâkim 2/361, serta Al-Baihaqy 5/139 dan dalam Syu’abul Îmân 3/469. Dishahihkan oleh Al-Albâny rahimahullâh dalam beberapa buku beliau.