Dalam hal menyembelih, ada beberapa perkara yang harus terpenuhi:
Pertama, hendaknya penyembelih adalah orang waras dan mumayyiz ‘mampu memahami pembicaraan dan menjawab pertanyaan dengan benar’. Hal ini berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla,
إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ
“Kecuali (hewan) yang sempat kalian sembelih.” [Al-Mâ`idah: 3]
Ayat di atas adalah pembicaraan yang ditujukan kepada mukallaf dan orang yang memahami pembicaraan[1]. Ibnul Mundzir rahimahullâh berkata, “Seluruh ulama, yang kami hafal, bersepakat akan bolehnya sembelihan perempuan dan anak kecil yang telah mumayyiz.”[2]
Kedua, penyembelih haruslah seorang muslim atau kitabi
‘orang yang bernisbah kepada Yahudi atau Nashrani, dan penyembelihan
mereka berdasarkan tuntunan kitab mereka’. Hal ini berdasarkan firman
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ,
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ
“Pada hari ini, segala sesuatu yang baik dihalalkan bagi kalian. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi kalian, dan makanan (sembelihan) kalian halal (pula) bagi mereka.” [Al-Mâ`idah: 5]
Keterangan yang telah sah dari Nabi radhiyallâhu ‘anhâ adalah bahwa beliau memakan sembelihan orang-orang Yahudi.
Ketiga, si
penyembelih memaksudkan penghalalan melalui penyembelihan hewan
tersebut. Adapun kalau dia tidak bermaksud menghalalkan sembelihan,
seperti ia memotong leher hewan lantaran membela diri, sembelihannya
tidak sah karena Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ
“Kecuali (hewan) yang sempat kalian tadzkiyah.” [Al-Mâ`idah: 3]
Kata tadzkiyah ‘penyembelihan’ dalam ayat di atas adalah sebuah perbuatan yang disertai dengan niat dan maksud.
Keempat, seseorang tidak
menyembelih untuk yang bukan Allah, yakni tidak menyembelih untuk
berhala, kuburan, tempat yang dikeramatkan, dan sejenisnya, karena
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ berfirman,
وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ
“Dan (diharamkan bagimu) segala sesuatu yang disembelih untuk berhala.” [Al-Mâ`idah: 3]
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ
“Allah melaknat siapapun yang menyembelih untuk yang bukan Allah.” [3]
Kelima, penyembelihan harus dilakukan dengan membaca nama Allah. Syarat ini berdasarkan firman Allah Subhânahû wa Ta’âlâ,
فَكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ بِآيَاتِهِ مُؤْمِنِينَ
“Maka makanlah segala (daging hewan, yang disembelih) dengan menyebut nama Allah, jika kalian beriman kepada ayat-ayat-Nya.” [Al-An’âm: 118]
Juga firman-Nya ‘Azza wa Jalla,
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
“Dan janganlah kalian memakan segala (daging hewan, yang
disembelih) tanpa menyebut nama Allah. Sesungguhnya perbuatan itu
adalah suatu kefasikan.” [Al-An’âm: 121]
Jika seseorang lupa membaca basmalah saat menyembelih, insya Allah,
hal tersebut tidaklah mengapa menurut pendapat kebanyakan ulama –Ali
bin Abi Thalib, Ibnu ‘Abbâs, Mujâhid, ‘Athâ`, Ibnul Musayyab, Az-Zuhry,
Thâwus, Abu Hanifah, Malik, salah satu riwayat dari Ahmad, dan
selainnya-. Hal tersebut berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya,” [Al-Baqarah: 286]
Kelupaan tidaklah tergolong ke dalam kemampuan manusia. Juga telah
dimaklumi bahwa Allah telah mengabulkan doa kaum mukminin dalam
firman-Nya,
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau bersalah.” [Al-Baqarah: 286]
Juga berdasarkan hadits Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ bahwa beliau berkata,
أَنَّ قَوْمًا قَالُوا لِلنَّبِىِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَا بِاللَّحْمِ لاَ نَدْرِيْ
أَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لاَ فَقَالَ سَمُّوا عَلَيْهِ
أَنْتُمْ وَكُلُوهُ
“Sekelompok kaum berkata kepada Nabi bahwa ada kaum yang
membawakan daging kepada kami, tetapi kami tidak mengetahui apakah
disebut nama Allah terhadapnya atau tidak. Maka, Nabi menjawab,
‘Sebutlah nama Allah oleh kalian, lalu makanlah.’.” [4]
Hadits ini menunjukkan bahwa, andaikata penyebutan nama Allah
merupakan syarat mutlak –dalam keadaan ingat maupun lupa-, sembelihan
yang disebut di dalam hadits, yang mengandung bentuk keraguan akan
penyebutan nama Allah terhadapnya, tidak akan dihalalkan.
Keenam, seseorang tidak boleh melafazhkan nama
apapun, kecuali nama Allah, dalam penyembelihan. Barangsiapa yang
menyembelih dengan menyebut nama nabi, wali, malaikat, maupun nama lain
yang bukan nama Allah, sembelihannya tidaklah halal menurut kesepakatan
para ulama. Hal ini berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
“Diharamkan bagimu (untuk memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging hewan) yang disembelih atas nama yang bukan Allah.” [Al-Mâ`idah: 3]
Ketujuh, hewan harus disembelih
dengan menggunakan benda tajam, baik berupa besi, kayu, kaca, maupun
benda lain, tetapi dengan ketentuan bukan benda tajam berupa gigi dan
kuku. Kriteria ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,
مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ فَكُلْ
، لَيْسَ الظُّفُرَ وَالسِّنَّ ، أَمَّا الظُّفُرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ ،
وَأَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ.
“Segala sesuatu yang tertuangkan darah dan telah disebut nama Allah terhadapnya maka makanlah, kecuali (sesuatu yang disembelih dengan menggunakan) kuku dan gigi. Adapun kuku, itu adalah pisau orang-orang Habasyah. Adapun gigi, itu adalah tulang.” [5]
Juga berdasarkan hadits[6]
tentang kisah budak perempuan milik Ka’b bin Malik bahwa perempuan itu
mengembala kambing pada suatu tempat, lalu kambing tersebut tertimpa
musibah, kemudian perempuan tersebut memecah batu lalu menyembelih
kambing itu dengan menggunakan batu. Kejadian ini diceritakan kepada
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam memerintah mereka untuk memakan kambing tersebut.
Ibnu Qudâmah menyebut tujuh faidah dari kisah di atas:
- Pembolehan perempuan untuk menyembelih,
- Pembolehan budak perempuan untuk menyembelih,
- Pembolehan perempuan haid untuk menyembelih karena Nabi tidak meminta rincian keadaan budak perempuan tersebut, bahwa dia haid atau tidak saat menyembelih.
- Pembolehan menyembelih dengan menggunakan batu.
- Pembolehan menyembelih hewan yang dikhawatirkan akan mati,
- Pembolehan penyembelihan oleh orang yang bukan pemilik hewan bila hewan tersebut dikhawatirkan mati.
- Halalnya sembelihan orang yang bukan pemilik hewan, walaupun hewan itu disembelih tanpa seizing sang pemilik.
Tersimpul dari keterangan di atas bahwa hewan yang disembelih dengan
sesuatu yang bukan benda tajam, yakni dengan cara disengat listrik,
membenturkan kepala hewan, atau cara lain yang semisal, adalah hewan
yang haram dimakan.
Kedelapan, darah telah mengalir dari hewan sembelihan. Syarat ini berdasarkan hadits Râfi’ bin Khajîd radhiyallâhu ‘anhu
di atas. Dalam hal menentukan bagian tubuh hewan yang harus disembelih,
terdapat silang pendapat di kalangan ulama. Namun, sikap yang paling
hati-hati dalam hal menyembelih adalah memotong empat bagian:
kerongkongan (saluran nafas), tenggorokan (saluran makan dan minum),
dan kedua urat tebal yang berada di sekitar kerongkongan dan
tenggorokan.
Kesembilan, hendaknya orang yang menyembelih diizinkan secara syar’i untuk menyembelih hewan tersebut. Perihal tidak diizinkan ini karena dua hal:
- Karena berkaitan dengan hak Allah, seperti menyembelih
hewan buruan di tanah haram atau menyembelih pada saat berihram.
- Karena berkaitan dengan hak makhluk, yakni menyembelih hewan milik orang lain, hewan rampasan, dan semisalnya.
Kesepuluh, hendaknya penyembelihan terjadi pada
saat hewan masih hidup. Hal ini berdasarkan ketentuan yang telah
dimaklumi tentang keharaman bangkai.
[1] Al-Muhalla.
[2] Al-Ijmâ’ hal. 56.
[3] Diriwayatkan oleh Imam Muslim.
[4] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry.
[5] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari hadits Rafi’ bin Khajid radhiyallâhu ‘anhu. Lafazh hadits adalah milik Al-Bukhâry.
[6] Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhâry.