Dari Ibnu Umar radhiyallâhu ‘anhumâ, dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
“Tiada suatu hari apapun yang amalan pada hari itu lebih agung di sisi Allah tidak (pula) lebih dicintai oleh Allah melebihi sepuluh hari (awal Dzulhijjah) ini. Oleh karena itu, perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid pada hari-hari tersebut.” [1]
Hadits di atas menjelaskan bahwa salah satu amalan yang disyariatkan pada sepuluh hari awal Dzulhijjah adalah memperbanyak takbir, tahlil, dan tahmid. Inilah yang dipahami oleh Imam Al-Bukhâry bahwa, sebelum menyebutkan hadits Ibnu ‘Abbâs tentang keutamaan amalan pada sepuluh hari awal Dzulhijjah, beliau berkata,
“Dan Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ berkata bahwa (tentang ayat),
‘Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan ….’ [Al-Hajj: 28]
(Yaitu) hari-hari sepuluh (awal Dzulhijjah), dan (tentang ayat),
‘Beberapa hari yang berbilang ….’ [Al-Baqarah: 203]
(Yaitu) hari-hari Tasyriq. Adalah Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhumâ keluar ke pasar pada hari-hari sepuluh (awal Dzulhijjah). Mereka berdua bertakbir, dan manusia pun bertakbir dengan (lafazh) takbir mereka berdua. Sementara itu, Muhammad bin Ali[2] bertakbir selepas mengerjakan shalat sunnah.”
Mungkin bisa disimpulkan bahwa ada dua bentuk takbir pada sepuluh hari awal Dzulhijjah dan hari-hari Tasyriq:
Pertama, takbir mutlak, yaitu takbir yang tidak terikat oleh tempat maupun waktu tertentu pada sepuluh hari awal Dzulhijjah dan hari-hari Tasyriq. Hal ini berdasarkan hadits lbnu Umar di atas.
Kedua, takbir yang terikat, yaitu takbir yang dilakukan setelah setiap pelaksanaan shalat, bermula dari shalat Shubuh hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah) dan berakhir pada shalat Ashar hari terakhir Tasyriq (13 Dzulhijjah).
Ibnu Taimiyah rahimahullâh berkata, “Pendapat yang paling kuat tentang takbir, yang dipegang oleh kebanyakan ulama salaf dan ahli fiqih dari kalangan shahabat dan imam fiqih, adalah bertakbir dari Shubuh hari ‘Arafah hingga akhir hari-hari Tasyriq setelah setiap pelaksanaan shalat.”[3]
Ketika ditanya, “Apa dalil anda sehingga berpendapat dengan hal tersebut?” Imam Ahmad menjawab, “Dengan ijma’ (kesepakatan) Umar, Ali, Ibnu ‘Abbâs, dan Ibnu Mas’ud radhiyallâhu ‘anhum.”[4]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullâh Berkata, “Riwayat yang paling shahih dari shahabat adalah ucapan Ali dan Ibnu Mas’ud bahwa (takbir) bermula dari Shubuh hari ‘Arafah hingga akhir hari Mina (baca: hari terakhir Tasyriq). (Ini) Diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dan selainnya.”[5]
[1] Diriwayatkan oleh Ahmad 2/131, ‘Abd bin Humaid sebagaimana dalam Al-Muntakhab no. 807, Ath-Thabarâny dalam Ad-Du’â` no. 871, dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Îmân 3/354 dari jalan Yazîd bin Abi Ziyâd, dari Mujâhid, dari Ibnu Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memang ada kelemahan pada Yazîd, namun hadits di atas mempunyai pendukung-pendukung yang bisa menguatkannya sebagaimana dalam Irwâ’ul Ghalîl 3/398-399 karya Syaikh Al-Albâny.
[2] Beliau adalah Muhammad bin Ali bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thâlib, Abu Ja’far Al-Bâqir, salah seorang imam Ahlul Bait yang shalih.
[3] Majmû’ Al-Fatâwâ 24/220.
[4] Al-Mughny 3/289, Al-Majmû’ 5/35, dan Irwâ’ul Ghalîl 3/125.
[5] Fathul Bâry 2/462.
مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمَ عِنْدَ اللَّهِ وَلاَ
أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنَ الْعَمَلِ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ
الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ
وَالتَّحْمِيدِ
“Tiada suatu hari apapun yang amalan pada hari itu lebih agung di sisi Allah tidak (pula) lebih dicintai oleh Allah melebihi sepuluh hari (awal Dzulhijjah) ini. Oleh karena itu, perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid pada hari-hari tersebut.” [1]
Hadits di atas menjelaskan bahwa salah satu amalan yang disyariatkan pada sepuluh hari awal Dzulhijjah adalah memperbanyak takbir, tahlil, dan tahmid. Inilah yang dipahami oleh Imam Al-Bukhâry bahwa, sebelum menyebutkan hadits Ibnu ‘Abbâs tentang keutamaan amalan pada sepuluh hari awal Dzulhijjah, beliau berkata,
“Dan Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ berkata bahwa (tentang ayat),
‘Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan ….’ [Al-Hajj: 28]
(Yaitu) hari-hari sepuluh (awal Dzulhijjah), dan (tentang ayat),
‘Beberapa hari yang berbilang ….’ [Al-Baqarah: 203]
(Yaitu) hari-hari Tasyriq. Adalah Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhumâ keluar ke pasar pada hari-hari sepuluh (awal Dzulhijjah). Mereka berdua bertakbir, dan manusia pun bertakbir dengan (lafazh) takbir mereka berdua. Sementara itu, Muhammad bin Ali[2] bertakbir selepas mengerjakan shalat sunnah.”
Mungkin bisa disimpulkan bahwa ada dua bentuk takbir pada sepuluh hari awal Dzulhijjah dan hari-hari Tasyriq:
Pertama, takbir mutlak, yaitu takbir yang tidak terikat oleh tempat maupun waktu tertentu pada sepuluh hari awal Dzulhijjah dan hari-hari Tasyriq. Hal ini berdasarkan hadits lbnu Umar di atas.
Kedua, takbir yang terikat, yaitu takbir yang dilakukan setelah setiap pelaksanaan shalat, bermula dari shalat Shubuh hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah) dan berakhir pada shalat Ashar hari terakhir Tasyriq (13 Dzulhijjah).
Ibnu Taimiyah rahimahullâh berkata, “Pendapat yang paling kuat tentang takbir, yang dipegang oleh kebanyakan ulama salaf dan ahli fiqih dari kalangan shahabat dan imam fiqih, adalah bertakbir dari Shubuh hari ‘Arafah hingga akhir hari-hari Tasyriq setelah setiap pelaksanaan shalat.”[3]
Ketika ditanya, “Apa dalil anda sehingga berpendapat dengan hal tersebut?” Imam Ahmad menjawab, “Dengan ijma’ (kesepakatan) Umar, Ali, Ibnu ‘Abbâs, dan Ibnu Mas’ud radhiyallâhu ‘anhum.”[4]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullâh Berkata, “Riwayat yang paling shahih dari shahabat adalah ucapan Ali dan Ibnu Mas’ud bahwa (takbir) bermula dari Shubuh hari ‘Arafah hingga akhir hari Mina (baca: hari terakhir Tasyriq). (Ini) Diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dan selainnya.”[5]
[1] Diriwayatkan oleh Ahmad 2/131, ‘Abd bin Humaid sebagaimana dalam Al-Muntakhab no. 807, Ath-Thabarâny dalam Ad-Du’â` no. 871, dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Îmân 3/354 dari jalan Yazîd bin Abi Ziyâd, dari Mujâhid, dari Ibnu Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memang ada kelemahan pada Yazîd, namun hadits di atas mempunyai pendukung-pendukung yang bisa menguatkannya sebagaimana dalam Irwâ’ul Ghalîl 3/398-399 karya Syaikh Al-Albâny.
[2] Beliau adalah Muhammad bin Ali bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thâlib, Abu Ja’far Al-Bâqir, salah seorang imam Ahlul Bait yang shalih.
[3] Majmû’ Al-Fatâwâ 24/220.
[4] Al-Mughny 3/289, Al-Majmû’ 5/35, dan Irwâ’ul Ghalîl 3/125.
[5] Fathul Bâry 2/462.