Hewan ternak harus lepas dari cacat. Dasar utama, yang menjelaskan tentang cacat yang menghalangi keabsahan hewan udh-hiyyah, adalah hadits Al-Barâ` bin ‘Âzib radhiyallâhu ‘anhumâ bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menyebut empat cacat dari udh-hiyyah yang harus dihindari. Beliau bersabda,
الْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ظَلَعُهَا وَالْعَوْرَاءُ
الْبَيِّنُ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَالْعَجْفَاءُ
الَّتِيْ لاَ تُنْقِيْ
“Sembelihan pincang yang kepincangannya sangat tampak, sembelihan
yang sebelah matanya buta yang kebutaannya sangat tampak, sembelihan
sakit yang sakitnya sangat tampak, dan sembelihan kurus yang tidak
berlemak (bersumsum).” [1]
Empat cacat yang tetera dari hadits di atas adalah cacat yang mengakibatkan seekor hewan tidak sah sebagai udh-hiyyah,
demikian pula segala cacat yang semakna dengannya atau yang lebih buruk
daripadanya. Hal ini –menurut Imam An-Nawawy dan selainnya- adalah
suatu kesepakatan di kalangan ulama. Rincian empat cacat tersebut adalah
sebagai berikut.
- Sembelihan pincang yang kepincangannya sangat tampak.
Ukuran kepincangan yang dimaksud adalah kepincangan yang menghambat
hewan itu untuk berjalan sejajar atau seiring dengan hewan yang sehat,
demikian pula hewan yang tidak bisa berjalan lantaran sakit atau salah
satu tangan dan kakinya terputus. Adapun kalau kepincangan itu tidak
menghalangi hewan itu untuk berjalan sejajar dengan yang hewan lain,
kepincangan tersebut tergolong kepincangan yang tidak begitu tampak.
Berdasarkan pemahaman hadits di atas, hewan tersebut sah sebagai udh-hiyyah. Namun, tentunya hewan yang sama sekali tidak pincang adalah lebih utama.
- Sembelihan yang sebelah matanya buta dan kebutaannya sangat tampak.
Kebutaan yang sangat tampak pada bola mata, dengan menonjol keluar,
mencekung ke dalam, atau bentuk lain, tidak boleh terdapat pada hewan
sembelihan. Kalau hewan yang sebelah matanya buta tidak boleh, yang buta
kedua matanya tentunya lebih tidak boleh diterima. Adapun hewan yang
sebelah matanya tidak mampu melihat, tetapi kebutaannya tidaklah tampak,
hewan tersebut terhitung sah untuk dijadikan sebagai sembelihan.
Demikian pula, hewan rabun, yang hanya melihat pada siang hari, tetapi
tidak melihat pada malam hari, sah sebagai udh-hiyyah menurut
pendapat yang lebih kuat di kalangan ulama karena kebutaannya bukanlah
sesuatu yang tampak jelas. Namun, tidak diragukan bahwa sembelihan yang
selamat terhadap seluruh cacat mata yang disebut di atas adalah lebih
afdhal.
- Sembelihan sakit yang sakitnya sangat tampak.
Segala jenis penyakit, yang pengaruhnya tampak pada hewan sembelihan,
tercakup ke dalam larangan dalam hadits di atas, yakni hewan yang panas
sehingga tidak mau makan, hewan kurapan yang kurapannya mempengaruhi
kesehatan dan kualitas dagingnya, dan berbagai penyakit lain yang sangat
tampak. Adapun hewan yang tampak malas dan tidak bersemangat, tetapi
hal itu tidak menghalangi kegiatan makannya, tidaklah mengapa. Namun,
hewan yang benar-benar selamat terhadap penyakit itu lebih afdhal.
Demikian pula, hewan yang tergolong sakit adalah yang tidak bisa membuang kotoran dan yang sedang dalam proses melahirkan.
- Hewan kurus yang tidak berlemak atau bersumsum.
Hewan jenis ini tidak boleh dijadikan sebagai hewan sembelihan.
Adapun hewan kurus, tetapi masih berlemak atau bersumsum, tidaklah
mengapa. Namun, menyembelih hewan yang gemuk tentunya lebih utama.
Ada banyak cacat lain yang dibahas oleh para ulama selain empat cacat
di atas. Seluruh cacat tersebut amatlah panjang untuk diuraikan. Akan
tetapi, yang benar adalah bahwa patokan keabsahan sembelihan terukur
dari empat cacat di atas. Cacat selain itu, seperti telinga yang
terpotong, ekor yang putus, atau tanduk yang patah, adalah hal yang
makruh, tetapi hewan tersebut tetap sah. Kadang, cacat-cacat tersebut
tidak dipermasalahkan kalau memang sudah merupakan asal penciptaan
seekor hewan (cacat semenjak lahir).
Kami tetap mengingatkan bahwa sembelihan yang sama sekali tidak memiliki cacat itulah yang lebih utama. Wallâhu A’lam.
[1]
Diriwayatkan oleh Malik, Ahmad, Abu Dâwud, At-Tirmidzy, An-Nasâ`iy,
Ibnu Mâjah, Ad-Dârimy, dan selainnya. Dishahihkan oleh Al-Albâny dalam Irwâ’ul Ghalîl no. 1148.