Kebanyakan ulama –termasuk Imam Empat- bersepakat bahwa hewan yang sah untukudh-hiyyah hanyalah bahîmatul an’âm‘hewan ternak’, yaitu kambing, sapi, dan unta. Kesepakatan ini berdasarkan firman Allah‘Azza wa Jalla,
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ
“Dan bagi tiap-tiap umat, telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban) supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah (Allah) rezekikan kepada mereka.” [Al-Hajj: 34]
Juga berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla,
ثَمَانِيَةَ أَزْوَاجٍ مِنَ الضَّأْنِ اثْنَيْنِ وَمِنَ الْمَعْزِ اثْنَيْنِ قُلْ آلذَّكَرَيْنِ حَرَّمَ أَمِ الْأُنْثَيَيْنِ أَمَّا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ أَرْحَامُ الْأُنْثَيَيْنِ نَبِّئُونِي بِعِلْمٍ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ. وَمِنَ الْإِبِلِ اثْنَيْنِ وَمِنَ الْبَقَرِ اثْنَيْنِ
“(Yaitu) delapan hewan ternak yang berpasangan: sepasang domba, sepasang dari kambing. Katakanlah, ‘Apakah dua yang jantan yang (Allah) haramkan ataukah dua yang betina, ataukah yang berada dalam kandungan dua betina itu?’ Terangkanlah kepadaku berdasarkan pengetahuan jika kalian memang orang-orang yang benar. Serta sepasang unta dan sepasang sapi.” [Al-An’âm: 143-144]
Bahîmatul an’âm yang diinginkan adalah unta, sapi, dan kambing. Demikian yang diterangkan dalam hadits-hadits yang menjelaskan tentang sembelihan udh-hiyyah. Penafsiran itulah yang dikenal di kalangan orang-orang Arab sebagaimana keterangan Ibnu Jarir.
Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Tidak diketahui, dari beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak (pula) dari sahabat yang melakukan hadyu, udh-hiyyah, dan ‘aqiqah, (penggunaan) hewan jenis lain.”
Al-Qurthuby rahimahullâh berkata, “Hewan yang menjadi udh-hiyyah, menurut kesepakatan kaum muslimin, adalah delapan hewan ternak yang berpasangan, yaitu domba, kambing, unta, dan sapi.”
Demikian pula kesepakatan yang telah dinukil oleh An-Nawawy, Ibnu Abdil Barr, dan selain mereka. Namun, Ibnul Mundzir menghikayatkan dari Al-Hasan bin Shâlih bahwa Al-Hasan berpendapat akan pembolehan ber-udh-hiyyah dengan sapi liar dan dhabb ‘biawak padang pasir’. Dâwud Azh-Zhâhiry Juga berpendapat akan bolehnya ber-ud-hiyyah dengan sapi liar, bahkan Ibnu Hazm membolehkan seluruh hewan yang dagingnya dimakan di antara hewan berkaki empat dan burung-burung.
Tidak diragukan bahwa pendapat kebanyakan ulama itulah yang mesti dipegang dalam pembahasan ini berdasarkan dalil-dalil dan keterangan di atas.
Dari keterangan di atas, juga bisa disimpulkan sejumlah perkara sebagai berikut.
Pertama, hewan ternak yang diperbolehkan dalam udh-hiyyah hanyalah tiga jenis hewan, yaitu kambing, sapi, dan unta.
Kedua, dari sisi keabsahan, tidak ada perbedaan antara jantan dan betina, antara yang dikebiri dan yang tidak dikebiri, serta antara yang susunya diperah dan yang tidak diperah. Demikian pula, seluruh jenis kambing ternak adalah sah, baik itu kambing kibas, kambing kacang, domba, maupun jenis lain. Adapun berkaitan dengan sapi, kerbau juga terhitung ke dalam jenis tersebut. Selain itu, tidak ada perbedaan antara unta yang berpunuk satu, berpunuk dua, dan selainnya.
Ketiga, berdasarkan keterangan di atas, yang tidak tergolong ke dalam hewan ternak adalah jenis yang liar dari ketiga kategori hewan di atas, juga rusa serta segala jenis unggas, baik burung, angsa, maupun selainnya.
Hewan Udh-hiyyah yang Paling Afdhal
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa hewan udh-hiyyah yang paling afdhal adalah unta, lalu sapi, kemudian kambing. Mereka berdalilkan dengan beberapa dalil, di antaranya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu bahwa Rasulullahshallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً ، فَإِذَا خَرَجَ الإِمَامُ حَضَرَتِ الْمَلاَئِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ
“Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at dengan mandi Janabah, kemudian berangkat ke masjid, seakan-akan dia bertaqarrub (dengan) unta. Barangsiapa yang berangkat pada waktu yang kedua, seakan-akan dia bertaqarrub (dengan) sapi. Barangsiapa yang berangkat pada waktu yang ketiga, seakan-akan dia bertaqarrub dengan kambing bertanduk. Barangsiapa yang berangkat pada waktu yang keempat, seakan-akan dia bertaqarrub dengan ayam. Barangsiapa yang berangkat pada waktu yang kelima, seakan-akan dia bertaqarrub dengan sebutir telur. Bila imam keluar, para malaikat hadir mendengar dzikir.” [1]
Sisi pendalilan dari hadits di atas adalah bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallammengurut hal yang paling utama, dimulai dari unta, lalu sapi, kemudian kambing.
Mereka berdalilkan pula dengan hadits Abu Dzarr radhiyallâhu ‘anhu bahwa beliau berkata,
قُلْتُ فَأَيُّ الرِّقَابِ أَفْضَلُ قَالَ أَغْلاَهَا ثَمَنًا ، وَأَنْفَسُهَا عِنْدَ أَهْلِهَا
“Saya bertanya, ‘Lalu pembebasan budak bagaimana yang paling utama?’ (Nabishallallâhu ‘alaihi wa sallam) menjawab, ‘Yang harganya paling mahal dan paling bernilai bagi pemiliknya.’.” [2]
Sisi pendalilannya adalah bahwa unta lebih mahal daripada sapi, sementara sapi lebih mahal daripada kambing.
Dua dalil di atas merupakan sanggahan terhadap Imam Malik akan pendapat beliau bahwa hewan yang paling utama adalah kambing, lalu sapi, kemudian unta.
Selain itu, mengingat adanya penjelasan dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallambahwa unta dan sapi diperbolehkan untuk disembelih bagi tujuh orang yang berserikat, jumhur ulama merinci urutan hewan udh-hiyyah yang terafdhal sebagai berikut.
- Unta,
- Lalu sapi,
- Kemudian kambing,
- Selanjutnya sepertujuh unta,
- Lalu sepertujuh sapi.
Wallâhu A’lam
Beberapa Sifat yang Menambah Keafdhalan Hewan Udh-Hiyyah
- Dalam Hal Kegemukan
Hewan udh-hiyyah yang lebih gemuk tentu lebih utama daripada hewan yang kurang gemuk karena salah satu maksud udh-hiyyah adalah berkaitan dengan pemanfaatan dagingnya. Allah ‘Azza wa Jalla berfiman,
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah, sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” [Al-Hajj: 32]
Imam Asy-Syâfi’iy rahimahullâh berdalil dengan ayat di atas akan kesunnahan mengagungkan dan menggemukkan sembelihan. Beliau berkata, “Memperbanyak harga udh-hiyyah lebih utama daripada memperbanyak jumlah (udh-hiyyah), dan, terhadap pembebasan budak, sebaliknya. Kemudian, karena yang dimaksud dalam hal ini adalah daging, dan yang gemuk lebih banyak dan lebih baik.”
Diriwayatkan pula oleh Imam Al-Bukhâry dari shahabat Abu Umamah bin Sahl bahwa Abu Umamah berkata,
كُنَّا نُسَمِّنُ الأُضْحِيَّةَ بِالْمَدِينَةِ ، وَكَانَ الْمُسْلِمُونَ يُسَمِّنُونَ
“Kami menggemukkan udh-hiyyah di Madinah, dan kaum muslimin juga menggemukkan (udh-hiyyah).” [3]
- Dalam Hal Warna
Hewan udh-hiyyah terafdhal adalah yang berwarna putih, lalu, afrâ`, kemudian hitam.
Tentang putih, telah berlalu hadits Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu,
ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا.
“Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam berqurban dengan dua kambing jantan yangamlah. Beliau menyembelih kedua (kambing) tersebut dengan tangan beliau. Beliau membaca basmalah dan bertakbir serta meletakkan kaki beliau di atas badan kedua (kambing) itu.” [4]
Adapun afrâ` ‘putih kemerahan’, warna ini berdasarkan hadits Abu Hurairahradhiyallâhu ‘anhu bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دَمُ عَفْرَاءَ أَحَبُّ إِلَىَّ مِنْ دَمِ سَوْدَاوَيْنِ
“Darah hewan afrâ` lebih dicintai oleh Allah daripada dua hewan hitam.” [5]
Ibnu Taimiyah rahimahullâh berkata, “Dan afrâ` lebih afdhal daripada hitam. Apabila di sekitar kedua mata, mulut, dan kedua kaki (hewan udh-hiyyah) berwarna hitam, itu lebih mirip dengan udh-hiyyah Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam.”[6]
Telah diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ bahwa beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُ فِيْ سَوَادٍ وَيَبْرُكُ فِيْ سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِيْ سَوَادٍ فَأُتِىَ بِهِ لِيُضَحِّىَ بِهِ فَقَالَ لَهَا يَا عَائِشَةُ هَلُمِّي الْمُدْيَةَ ». ثُمَّ قَالَ اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ. فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ « بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ». ثُمَّ ضَحَّى بِهِ.
“Sesungguhnya Rasulullah memerintah (untuk ber-udh-hiyyah) dengan kambing bertanduk yang menginjak dengan yang hitam, bersimpuh dengan yang hitam, dan melihat dengan yang hitam, maka didatangkanlah (kambing tersebut dan) beliau ber-udh-hiyyah dengan (kambing) itu. Beliau bersabda, ‘Wahai Aisyah, ambilkanlah pisau,’ lalu berkata, ‘Asahlah (pisau itu) dengan menggunakan batu.’.” (Perawi berkata), “Aisyah pun melakukan hal itu. Selanjutnya, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengambil pisau itu dan mengambil kambing beliau. Lalu, beliau membaringkan (kambing)nya kemudian bermaksud menyembelih (kambing) tersebut, lalu berdoa, ‘Bismillah. Ya Allah, terimalah dari Muhammad dan keluarga Muhammad, serta dari umat Muhammad.’ Selanjutnya beliau ber-udh-hiyyahdengan (menyembelih kambing)nya.” [7]
An-Nawawy rahimahullâh berkata, “Makna (hadits) tersebut adalah bahwa kaki, perut, dan sekitar mata (kambing) itu berwarna hitam.”
- Antara Jantan dan Betina
Imam An-Nawawy rahimahullâh berkata, “Adalah sah, ber-udh-hiyyah dengan (menyembelih hewan) jantan maupun betina, menurut ijma’ (kesepakatan ulama). Tentang jenis terafdhal di antara keduanya, terdapat khilaf. (Pendapat) yang benar –menurut nash Asy-Syâfi’iyyah, dan dipastikan oleh kebanyakan (ulama Syâfi’iyyah)- adalah bahwa jantan lebih baik daripada betina. Bagi Imam Asy-Syâfi’iy, riwayat lain (menerangkan) bahwa betina lebih utama.”
Ibnu Taimiyah rahimahullâh berkata, “Tatkala maksud (udh-hiyyah) adalah untuk dimakan, jantan lebih utama daripada betina.”
Berserikat dalam Hal Menyembelih Unta atau Sapi
Seekor kambing bisa diganti dengan sepertujuh unta atau sepertujuh sapi sebab Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam membolehkan tujuh orang untuk berserikat dalam hal menyembelih unta atau sapi. Jâbir bin Abdillah radhiyallâhu ‘anhumâberkata,
نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ.
“Bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, kami menyembelih unta untuk tujuh orang dan sapi untuk tujuh orang pada tahun Hudaibiyah.” [8]
Dari hadits di atas, juga dipahami bahwa, kalau sebagian di antara tujuh orang yang berserikat menyembelih bukan dengan maksud berqurban, melainkan hanya menginginkan daging atau semisalnya, penyembelihan tersebut tidaklah sah karena, berdasarkan hadits di atas, tujuh orang tersebut berserikat dalam rangka ber-udh-hiyyah.
Perserikatan dalam hal menyembelih udh-hiyyah hanyalah terhadap unta dan sapi sebagaimana yang telah diterangkan. Adapun perserikatan beberapa orang dalam hal membeli seekor kambing untuk disembelih, hal itu tidak terhitung sebagai udh-hiyyah karena udh-hiyyah adalah ibadah yang bentuk pelaksanaannya telah ditentukan, sedangkan tidak pernah ada nukilan dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya bahwa mereka pernah berserikat dalam hal menyembelih kambing.
Sebagian ulama berpendapat bahwa boleh menyembelih seekor unta untuk sepuluh orang. Demikian pendapat Sa’îd bin Musayyad, Ishâq bin Rahawaih, dan Ibnu Khuzaimah, serta dikuatkan oleh Imam Asy-Syaukâny. Namun, yang benar adalah kebanyakan ulama yang mengatakan bahwa unta hanya boleh diperserikatkan untuk disembelih oleh tujuh orang.
Adapun ulama yang mengatakan tentang pembolehan untuk berserikat terhadap sepuluh orang, mereka berdalilkan dengan beberapa hadits lemah. Lagipula, hadits-hadits yang menjelaskan bahwa berserikat hanya cukup bagi tujuh orang adalah lebih kuat dan lebih masyhur.
Memberi Hewan Sembelihan kepada Orang Lain Agar Orang Itu Ber-udh-hiyyah
Orang yang memiliki kelapangan harta diperbolehkan untuk memberikan hewanudh-hiyyah-nya kepada orang lain untuk dijadikan sebagai ibadah udh-hiyyah orang lain tersebut. Hal ini berdasarkan hadits ‘Uqbah bin ‘Âmir Al-Juhany bahwa beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَسَمَ ضَحَايَا بَيْنَ أَصْحَابِهِ
“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam membagi-bagi hewan-hewan udh-hiyyah di antara para shahabatnya.” [9]
Hukum Perihal Menyembelih Hewan Bunting
Menurut jumhur ulama, seseorang boleh menyembelih hewan bunting. Penyembelihan terhadap hewan tersebut menghalalkan janin yang berada di dalam perut hewan itu. Demikianlah keterangan dalam hadits Abu Sa’îd Al-Khudry dan selainnya bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ذَكَاةُ الْجَنِينِ ذَكَاةُ أُمِّهِ
“Penyembelihan terhadap janin (teranggap ke dalam) penyembelihan induknya.”[10]
Demikianlah ketentuan tentang hal ini. Akan tetapi, apabila janin dalam perut sang induk masih bergerak setelah dikeluarkan, hendaknya janin yang telah dikeluarkan tersebut harus disembelih secara tersendiri.
[1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry, Muslim, Abu Dâwud, At-Tirmidy dan An-Nasâ`iy.
[2] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry, Muslim dan Ibnu Mâjah.
[3] Secara mu’allaq dengan sighah jazm. Hadits di ini diriwayatkan secara bersambung oleh Abu Nu’aim dalam Al-Mustakhrâ`.
[4] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim.
[5] Diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Hâkim, dan selainnya. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albâny dengan pendukungnya dalam Ash-Shahîhah No. 1861.
[6] Majmû’ Al-Fatâwâ 26/305.
[7] Diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Dâwud.
[8] Diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 3246.
[9] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry, Muslim, dan An-Nasâ`iy.
[10] Diriwayatkan dari tiga shahabat: Jâbir, Abu Sa’îd, dan Ibnu Umar radhiyallâhu ‘anhum. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny dalam Irwâ’ul Ghalîl no. 2539.