Harus diketahui bahwa penyembelihan udh-hiyyah hendaknya dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan oleh syariat.
Ada beberapa pembahasan yang perlu diketahui berkaitan dengan waktu penyembelihan udh-hiyyah ini. Berikut rinciannya.
Para ulama bersepakat bahwa, pada hari Nahr, seseorang tidak boleh
menyembelih sebelum fajar Shubuh terbit. Demikian nukilan kesepakatan
dari Ibnul Mundzir.
Tentang awal penyembelihan, waktunya bermula dari setelah pelaksanaan
shalat ‘Id, walaupun khutbah ‘Id belum dimulai. Hal ini berdasarkan
hadits Al-Barâ` bin Azib radhiyallâhu ‘anhumâ bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ بِهِ فِيْ يَوْمِنَا
هَذَا نُصَلِّيْ ثُمَّ نَرْجِعُ فَنَنْحَرُ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ
أَصَابَ سُنَّتَنَا وَمَنْ ذَبَحَ فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ قَدَّمَهُ
لأَهْلِهِ لَيْسَ مِنَ النُّسُكِ فِيْ شَىْءٍ.
“Sesungguhnya permulaan, yang kita mulai pada hari kita ini,
adalah shalat. Setelah itu, kita kembali lalu menyembelih. Barangsiapa
yang mengerjakan hal tersebut, sesungguhnya ia telah mencocoki sunnah
kami, dan barangsiapa yang menyembelih sebelum pelaksanaan shalat (‘Id),
sesungguhnya (sembelihan) itu hanyalah daging yang dia peruntukkan
untuk keluarganya, tidak terhitung sebagai nusuk (sembelihan) sama sekali.” [1]
Walaupun hadits di atas menunjukkan bahwa waktu penyembelihan bermula
setelah shalat ‘Id, penyembelihan yang terbaik adalah bisa dilakukan
setelah khatib menyelesaikan khutbahnya sebagaimana keterangan dalam
sebagian riwayat Jundub bin Sufyân dalam Shahîh Al-Bukhâry dan beberapa riwayat lain.
Demikian pula, bila pimpinan kaum muslimin (kepala negara) ingin
menyembelih, tidak seorang pun rakyatnya yang boleh menyembelih
sebelumnya. Hal ini ditunjukkan oleh sejumlah riwayat, di antaranya
adalah hadits Jâbir bin Abdillah radhiyallâhu ‘anhumâ bahwa beliau berkata,
صَلَّى بِنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَوْمَ النَّحْرِ بِالْمَدِينَةِ فَتَقَدَّمَ رِجَالٌ فَنَحَرُوا وَظَنُّوا أَنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَدْ نَحَرَ فَأَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَنْ كَانَ نَحَرَ قَبْلَهُ أَنْ يُعِيدَ بِنَحْرٍ آخَرَ وَلاَ يَنْحَرُوا حَتَّى يَنْحَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat dengan mengimami kami pada hari Nahr di Madinah. Maka, sekelompok lelaki maju kemudian menyembelih. Mereka menyangka bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah menyembelih. Oleh karena itu, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam
memerintah siapa saja, yang telah menyembelih sebelum beliau
(menyembelih), untuk mengulangi penyembelihannya dengan sembelihan lain,
dan tidak boleh ada yang menyembelih hingga Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah menyembelih.” [2]
Demikian pendapat di kalangan Malikiyyah. Adapun jumhur ulama, mereka
memandang bahwa hadits di atas hanyalah hardikan dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam
terhadap orang yang tergesa-gesa untuk berqurban sehingga penyembelihan
terjadi sebelum waktunya, bukan berarti tidak boleh menyembelih sebelum
penguasa menyembelih.
Adapun akhir penyembelihan, waktunya berakhir pada akhir hari-hari
Tasyriq, yaitu pada tanggal 13 Dzulhijjah bersamaan dengan terbenamnya
matahari, menurut pendapat yang lebih kuat di kalangan ulama. Demikian
yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, serta
sejumlah ulama pada masa ini, seperti Ibnu Baz dan Zaid Al-Madkhaly.
Hal tersebut dipetik dari kandungan umum firman Allah ‘Azza wa Jalla,
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ
اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ
الْأَنْعَامِ
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan
supaya mereka menyebut nama Allah, pada hari yang telah ditentukan, atas
rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” [Al-Hajj: 28]
Dari Nubaisyah Al-Hudzaly radhiyallâhu ‘anhu, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرٍ لِلَّهِ.
“Hari-hari Tasyriq adalah hari-hari makan dan minum,” dalam sebuah riwayat (disebutkan), “Serta hari berdzikir kepada Allah.” [3]
Terdapat pendapat kedua yang menyatakan bahwa batas pelaksanaan
penyembelihan hanya hingga terbenamnya matahari pada hari kedua belas
Dzulhijjah. Demikian pendapat Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad. Alasan
mereka adalah bahwa yang ternukil dari sejumlah shahabat hanyalah hingga
hari kedua belas, sedang tidak diketahui bahwa ada seorang shahabat
yang menyelisihi mereka.
Menurut hemat penulis, mengamalkan pendapat kedua adalah sikap berhati-hati yang sudah pada tempatnya.
Barangsiapa yang mengerjakan shalat bersama imam, ia menyembelih
setelah mengerjakan shalat sebagaimana yang telah dijelaskan. Selain
itu, barangsiapa yang tidak menghadiri pelaksanaan shalat ‘Id lantaran
bersafar dan selainnya, ia tidak boleh menyembelih hingga yakin bahwa
manusia telah menunaikan shalat ‘Id.
Barangsiapa yang belum menyembelih, pada waktu penyembelihan yang
telah ditentukan, disebabkan oleh sebuah udzur atau halangan yang syar’i, ia boleh mengqadha penyembelihannya setelah waktu tersebut.