Syariat
berpuasa bisa dipahami dari hadits Ibnu ‘Abbâs yang telah lalu karena
berpuasa juga termasuk “amal shalih” yang disyariatkan pada sepuluh awal
Dzulhijjah dalam hadits tersebut.
Juga dari dasar tuntunan dalam hal ini adalah riwayat dari sebagian istri Nabi radhiyallâhu ‘anhâ, beliau berkata,
“Sesungguhnya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari ‘Asyurâ, pada sembilan hari Dzulhijjah, dan pada tiga hari dalam sebulan: senin awal dari bulan (berjalan) dan dua kamis.” [1]
Hadits di atas merupakan dalil tegas tentang syariat berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijjah: delapan hari pada awal bulan[2] dan hari kesembilan yang dikenal dengan hari ‘Arafah.
Hadits di atas tidaklah bertentangan dengan hadits Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ bahwa beliau bertutur,
“Saya sama sekali tidak pernah melihat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh (hari awal Dzulhijjah).” [3]
Keterangan Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ di atas dijelaskan oleh para ulama bahwa Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ mungkin saja tidak pernah melihat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengerjakan puasa tersebut, tetapi bukan berarti Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakan puasa itu karena beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam mungkin saja berada di rumah Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ pada satu hari di antara hari-hari awal Dzulhijjah dan berada di rumah istri-istri beliau yang lain pada hari-hari lain. Atau, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mungkin mengerjakan sebagian puasa tersebut pada suatu tahun, mengerjakan sebagian puasa tersebut pada tahun lain, dan mengerjakan seluruh puasa itu pada tahun yang lain lagi. Atau, beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam meninggalkan pelaksanaan puasa tersebut pada sebagian tahun karena suatu penghalang berupa safar, sakit, atau selainnya. Demikian makna keterangan Imam An-Nawawy rahimahullâh.[4]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullâh [5] berpandangan bahwa keterangan Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ di atas mungkin saja sebagaimana zhahirnya –yaitu Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakan puasa tersebut- karena beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam kadang meninggalkan suatu amalan, meskipun mencintai amalan tersebut, dibangun di atas kekhawatiran beliau bahwa amalan itu akan menjadi wajib terhadap umatnya.
Adapun Al-Baihaqy rahimahullâh [6] dan Ibnul Qayyim rahimahullâh [7], keduanya berpandangan bahwa hadits sebagian istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam tersebut, yang menerangkan bahwa beliau berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijjah, lebih didahulukan dan lebih diterima daripada keterangan Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ berdasarkan kaidah “Orang yang menetapkan lebih didahulukan daripada orang yang menafikan.”[8]
Demikianlah keterangan tentang sunnahnya[9] puasa pada sembilan hari awal Dzulhijjah, dan puasa tersebut dikerjakan pada tanggal 1-9 Dzulhijjah. Adapun perbuatan sebagian orang yang mengkhususkan puasa hanya pada tanggal 7, 8, dan 9 Dzulhijjah, hal itu termasuk bentuk pengkhususan ibadah yang tidak memiliki dalil.
[1] Diriwayatkan oleh Ahmad 5/271, 6/288, 423, Abu Dâwud no. 2437, An-Nasâ`iy 4/205, 220-221, serta Al-Baihaqy 4/284 dan dalam Syu’abul Îmân 3/355 dari jalan Hunaidah bin Khâlid, dari istri (Hunaidah), dari sebagian istri Nabi, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny dalam Shahîh Sunan Abi Dâwud. Walaupun terdapat sebagian perselisihan dalam periwayatannya, insya Allah, jalan di atas adalah jalan yang terkuat dan bisa dishahihkan. Dalam riwayat Abu Dâwud, diriwayatkan dengan konteks (والخميس), maksudnya adalah tiga hari dalam sebulan, yaitu awal senin, kamis, dan satu hari yang lain. Demikian keterangan Al-Baihaqy setelah membawa riwayatnya seperti riwayat Abu Dâwud.
[2] Dalam Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah pada pembahasan puasa sunnah, disebutkan bahwa puasa delapan hari awal adalah sunnah menurut kesepakatan para ulama ahli fiqih. Namun, dalam Lathâ`if Al-Ma’ârif hal. 277 (cet. Maktabah Ar-Riyadh Al-Haditsiyah), Ibnu Rajab hanya menyebutkan bahwa sunnahnya adalah merupakan pendapat kebanyakan para ulama.
[3] Diriwayatkan oleh Muslim no. 1176, Abu Dâwud 2439, At-Tirmidy no. 755, dan selainnya.
[4] Bacalah Al-Majmû’ dan Syarh Muslim 8/71-72.
[5] Bacalah Fathul Bâry 2/460.
[6] Bacalah As-Sunan Al-Kubrâ` 4/285.
[7] Baca Zâdul Ma’âd 2/61.
[8] Penjelasan An-Nawawy, Al-Baihaqy, dan Ibnul Qayyim juga diterangkan oleh Ibnu Rajab dengan membawakan beberapa keterangan tambahan. Silakan membaca buku beliau, Lathâ`if Al-Ma’ârif, hal. 277-278 (cet. Maktabah Ar-Riyadh Al-Haditsiyah).
[9] Bahkan, menurut Imam An-Nawawy rahimahullâh, itu adalah puasa yang sangat disunnahkan. Bacalah Syarh Muslim 8/71.
Juga dari dasar tuntunan dalam hal ini adalah riwayat dari sebagian istri Nabi radhiyallâhu ‘anhâ, beliau berkata,
أَنَّ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ يَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَتِسْعًا
مِنْ ذِى الْحِجَّةِ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنَ الشَّهْرِ أَوَّلَ
اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْنِ
“Sesungguhnya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari ‘Asyurâ, pada sembilan hari Dzulhijjah, dan pada tiga hari dalam sebulan: senin awal dari bulan (berjalan) dan dua kamis.” [1]
Hadits di atas merupakan dalil tegas tentang syariat berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijjah: delapan hari pada awal bulan[2] dan hari kesembilan yang dikenal dengan hari ‘Arafah.
Hadits di atas tidaklah bertentangan dengan hadits Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ bahwa beliau bertutur,
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ صَائِمًا فِى الْعَشْرِ قَطُّ
“Saya sama sekali tidak pernah melihat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh (hari awal Dzulhijjah).” [3]
Keterangan Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ di atas dijelaskan oleh para ulama bahwa Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ mungkin saja tidak pernah melihat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengerjakan puasa tersebut, tetapi bukan berarti Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakan puasa itu karena beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam mungkin saja berada di rumah Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ pada satu hari di antara hari-hari awal Dzulhijjah dan berada di rumah istri-istri beliau yang lain pada hari-hari lain. Atau, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mungkin mengerjakan sebagian puasa tersebut pada suatu tahun, mengerjakan sebagian puasa tersebut pada tahun lain, dan mengerjakan seluruh puasa itu pada tahun yang lain lagi. Atau, beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam meninggalkan pelaksanaan puasa tersebut pada sebagian tahun karena suatu penghalang berupa safar, sakit, atau selainnya. Demikian makna keterangan Imam An-Nawawy rahimahullâh.[4]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullâh [5] berpandangan bahwa keterangan Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ di atas mungkin saja sebagaimana zhahirnya –yaitu Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakan puasa tersebut- karena beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam kadang meninggalkan suatu amalan, meskipun mencintai amalan tersebut, dibangun di atas kekhawatiran beliau bahwa amalan itu akan menjadi wajib terhadap umatnya.
Adapun Al-Baihaqy rahimahullâh [6] dan Ibnul Qayyim rahimahullâh [7], keduanya berpandangan bahwa hadits sebagian istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam tersebut, yang menerangkan bahwa beliau berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijjah, lebih didahulukan dan lebih diterima daripada keterangan Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ berdasarkan kaidah “Orang yang menetapkan lebih didahulukan daripada orang yang menafikan.”[8]
Demikianlah keterangan tentang sunnahnya[9] puasa pada sembilan hari awal Dzulhijjah, dan puasa tersebut dikerjakan pada tanggal 1-9 Dzulhijjah. Adapun perbuatan sebagian orang yang mengkhususkan puasa hanya pada tanggal 7, 8, dan 9 Dzulhijjah, hal itu termasuk bentuk pengkhususan ibadah yang tidak memiliki dalil.
[1] Diriwayatkan oleh Ahmad 5/271, 6/288, 423, Abu Dâwud no. 2437, An-Nasâ`iy 4/205, 220-221, serta Al-Baihaqy 4/284 dan dalam Syu’abul Îmân 3/355 dari jalan Hunaidah bin Khâlid, dari istri (Hunaidah), dari sebagian istri Nabi, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny dalam Shahîh Sunan Abi Dâwud. Walaupun terdapat sebagian perselisihan dalam periwayatannya, insya Allah, jalan di atas adalah jalan yang terkuat dan bisa dishahihkan. Dalam riwayat Abu Dâwud, diriwayatkan dengan konteks (والخميس), maksudnya adalah tiga hari dalam sebulan, yaitu awal senin, kamis, dan satu hari yang lain. Demikian keterangan Al-Baihaqy setelah membawa riwayatnya seperti riwayat Abu Dâwud.
[2] Dalam Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah pada pembahasan puasa sunnah, disebutkan bahwa puasa delapan hari awal adalah sunnah menurut kesepakatan para ulama ahli fiqih. Namun, dalam Lathâ`if Al-Ma’ârif hal. 277 (cet. Maktabah Ar-Riyadh Al-Haditsiyah), Ibnu Rajab hanya menyebutkan bahwa sunnahnya adalah merupakan pendapat kebanyakan para ulama.
[3] Diriwayatkan oleh Muslim no. 1176, Abu Dâwud 2439, At-Tirmidy no. 755, dan selainnya.
[4] Bacalah Al-Majmû’ dan Syarh Muslim 8/71-72.
[5] Bacalah Fathul Bâry 2/460.
[6] Bacalah As-Sunan Al-Kubrâ` 4/285.
[7] Baca Zâdul Ma’âd 2/61.
[8] Penjelasan An-Nawawy, Al-Baihaqy, dan Ibnul Qayyim juga diterangkan oleh Ibnu Rajab dengan membawakan beberapa keterangan tambahan. Silakan membaca buku beliau, Lathâ`if Al-Ma’ârif, hal. 277-278 (cet. Maktabah Ar-Riyadh Al-Haditsiyah).
[9] Bahkan, menurut Imam An-Nawawy rahimahullâh, itu adalah puasa yang sangat disunnahkan. Bacalah Syarh Muslim 8/71.