(ditulis oleh: Al-Ustadz Saifuddin Zuhri, Lc.)
إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ
وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ
أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ
فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ
شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ
تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. [آل عمران: 102]
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ
نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا
كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ
وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا [النساء: 1]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلًا
سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا [الأحزاب:
70-71]
أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ
الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ n وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا فَإِنَّ
كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ
فِي النَّارِ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ
مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ
إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah l dengan menjalankan
perintah-perintah-Nya sekuat kemampuan kita, serta dengan menjauhi
segala larangan-Nya. Dan marilah kita senantiasa mengingat bahwa dunia
yang kita tempati ini bukanlah tempat tinggal selamanya. Bahkan
sebenarnya kita sedang dalam suatu perjalanan menuju tempat tinggal yang
sesungguhnya di alam akhirat nanti. Telah banyak orang yang dulunya
bersama kita atau bahkan dahulu tinggal satu rumah dengan kita, telah
melewati dan meninggalkan dunia ini. Mereka telah meninggalkan tempat
beramal di dunia ini menuju tempat perhitungan dan pembalasan amalan.
Akan segera datang pula saatnya kita menyusul mereka. Maka, marilah kita
manfaatkan dunia ini sebagai tempat mencari bekal untuk kehidupan
akhirat kita. Sungguh seseorang akan menyesal ketika pada hari
perhitungan amal nanti dia datang dalam keadaan tidak membawa amal
shalih. Allah l berfirman:
يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ الْإِنْسَانُ وَأَنَّى لَهُ الذِّكْرَى. يَقُولُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي
“Pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi
mengingat itu baginya. Dia mengatakan: ‘Alangkah baiknya kiranya aku
dahulu mengerjakan (amal shalih) untuk hidupku (di akhirat) ini’.”
(Al-Fajr: 23-24)
Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah l,
Di dalam perjalanan hidup di dunia ini, kita akan menjumpai hari-hari
yang Allah l berikan keutamaan di dalamnya. Yaitu dengan
dilipatgandakannya balasan amalan dengan pahala yang berlipat, tidak
seperti hari-hari biasanya. Di antara hari-hari tersebut adalah sepuluh
hari pertama di bulan Dzulhijjah. Hal ini sebagaimana tersebut di dalam
sabda Nabi n:
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِـحُ فِيْهَا أَحَبَّ إِلَى اللهِ
مِنْ هَذِهِ اْلأَيَّامِ- يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوْا: يَا
رَسُوْلَ اللهِ، وَلاَ الْـجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ؟ قَالَ: وَلاَ
الْـجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ رَجُلاً خَرَجَ بِنَفْسِهِ
وَمَالِهِ ثُمَّ لَـمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ
“Tidaklah ada hari yang amal shalih di dalamnya lebih dicintai oleh
Allah dari hari-hari tersebut (yaitu sepuluh hari pertama bulan
Dzulhijah).” Para sahabat pun bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah jihad
di jalan Allah tidak lebih utama?” Rasulullah n berkata: “Tidaklah jihad
lebih utama (dari beramal di hari-hari tersebut), kecuali orang yang
keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali
dengan keduanya (karena mati syahid).” (HR. Al-Bukhari)
Saudara-saudaraku kaum muslimin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah l,
Pada sepuluh hari yang pertama ini, kita juga disyariatkan untuk
banyak berdzikir kepada Allah l, baik itu berupa ucapan takbir, tahmid,
maupun tahlil. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah l:
“Dan supaya mereka berdzikir menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.” (Al-Hajj: 28)
Diterangkan oleh para ulama bahwa hari-hari yang ditentukan pada ayat
tersebut adalah sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah. Maka hadits dan
ayat tadi menunjukkan keutamaan hari-hari tersebut dan betapa besarnya
rahmat Allah l kepada hamba-hamba-Nya. Karena Allah l masih memberikan
kesempatan bagi orang yang belum mampu menjalankan ibadah haji untuk
mendapatkan keutamaan yang besar pula, yaitu beramal shalih pada sepuluh
hari pertama di bulan Dzulhijjah. Sehingga sudah semestinya kaum
muslimin memanfaatkan sepuluh hari pertama ini dengan berbagai amalan
ibadah, seperti berdoa, dzikir, sedekah, dan sebagainya. Termasuk amal
ibadah yang disyariatkan untuk dikerjakan pada hari-hari tersebut
–kecuali hari yang kesepuluh– adalah puasa. Apalagi ketika menjumpai
hari Arafah, yaitu hari kesembilan di bulan Dzulhijjah, sangat
ditekankan bagi kaum muslimin untuk berpuasa yang dikenal dengan istilah
puasa Arafah, kecuali bagi jamaah haji yang sedang wukuf di Arafah. Hal
ini sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi n ketika ditanya tentang
puasa hari Arafah, beliau n menjawab:
يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْـمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
“(Puasa Arafah) menghapus dosa-dosa setahun yang lalu dan yang akan datang.” (HR. Muslim)
Adapun bagi para jamaah haji, mereka tidak diperbolehkan untuk
berpuasa, karena pada hari itu mereka harus melakukan wukuf. Karena
mereka memerlukan cukup kekuatan untuk memperbanyak dzikir dan doa pada
saat wukuf di Arafah. Sehingga pada hari tersebut kita semua berharap
untuk mendapatkan keutamaan yang sangat besar serta ampunan dari Allah
l. Karena Nabi n menyebutkan bahwa hari itu adalah hari pengampunan
dosa-dosa dan hari dibebaskannya hamba-hamba yang Allah l kehendaki dari
api neraka. Sebagaimana dalam sabda beliau n:
مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللهُ فِيْهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ
“Tidak ada hari yang Allah membebaskan hamba-hamba dari api neraka, lebih banyak daripada di hari Arafah.” (HR. Muslim)
Hadirin rahimakumullah,
Pada bulan Dzulhijjah juga ada hari yang sangat istimewa yang dikenal
dengan istilah hari nahr. Yaitu hari kesepuluh di bulan tersebut, di
saat kaum muslimin merayakan Idul Adha dan menjalankan shalat Id serta
memulai ibadah penyembelihan qurbannya, sementara para jamaah haji
menyempurnakan amalan hajinya. Begitu pula hari-hari yang datang
setelahnya, yang dikenal dengan istilah hari tasyriq, yaitu hari yang
kesebelas, keduabelas, dan ketigabelas. Allah l mengkhususkan hari-hari
tersebut sebagai hari-hari untuk makan, minum, dan berdzikir. Dan
hari-hari itulah yang menurut keterangan para ulama adalah hari yang
disebutkan dalam firman Allah l:
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (Al-Baqarah: 203)
Dan Nabi n juga menyebutkan tentang hari-hari tersebut:
أَيَّامُ مِنَى أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرٍ لِلهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Hari-hari Mina (hari nahr dan tasyriq) adalah hari-hari makan dan minum serta berdzikir kepada Allah l.” (HR. Muslim)
Saudara-saudaraku kaum muslimin rahimakumullah,
Berkaitan dengan dzikir yang Allah l perintahkan kaum muslimin untuk
banyak mengucapkannya pada hari-hari tasyriq dan hari-hari sebelumnya di
awal bulan Dzulhijah, para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Da`imah menyebutkan
fatwa sebagai berikut:
“Disyariatkan pada Idul Adha takbir mutlak dan takbir muqayyad.
Adapun takbir mutlak maka (disyariatkan untuk dilakukan) pada seluruh
waktu dari mulai awal masuknya bulan Dzulhijah sampai hari yang terakhir
dari hari-hari tasyriq. Sedangkan takbir muqayyad (disyariatkan untuk
dilakukan) pada setiap selesai shalat wajib mulai dari setelah selesai
shalat subuh pada hari Arafah sampai setelah shalat ‘Ashr pada akhir
hari tasyriq. Dan pensyariatkan hal tersebut ditunjukkan oleh ijma’ dan
perbuatan para sahabat g.”
Sebagaimana ibadah lainnya, dzikir juga merupakan suatu amalan yang
tata caranya tidak boleh menyimpang dari petunjuk Nabi n. Sehingga para
ulama juga memberikan peringatan dari dilakukannya takbir secara jama’i,
karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi n dan Al-Khulafa`
Ar-Rasyidin. Yang dimaksud di sini adalah takbir yang diucapkan secara
bersama-sama dengan satu suara dan dipimpin oleh seseorang. Hal ini
sebagaimana tersebut dalam fatwa para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Da`imah
yang isinya: “(Yang benar) adalah setiap orang melakukan takbir
sendiri-sendiri dengan suara keras. Karena sesungguhnya takbir dengan
cara bersama-bersama (dengan satu suara yang dipimpin oleh seseorang)
tidak pernah dilakukan oleh Nabi n. Dan beliau n telah bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengamalkan amalan yang tidak ada syariatnya dari kami maka amalan tersebut ditolak.” (HR. Al-Bukhari Muslim)
Hadirin rahimakumullah,
Akhirnya, marilah kita berusaha memanfaatkan hari-hari yang penuh
dengan keutamaan untuk menambah dan meningkatkan amal shalih kita.
Begitu pula kita manfaatkan waktu yang ada untuk memperbanyak dzikir
kepada Allah l. Sehingga kita akan menjadi orang yang mendapatkan
kelapangan hati, senantiasa takut kepada-Nya dan terjaga dari gangguan
setan, serta faedah lainnya dari amalan berdzikir kepada Allah l.
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ
وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ.
أَقُوْلُ مَا تَسْمَعُوْنَ وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ
الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ
اْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Khutbah Kedua
الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَـمِيْنَ، أَمَرَنَا بِاتِّبَاعِ
صِرَاطِهِ الْـمُسْتَقِيْمِ وَنَهَانَا عَنِ اتِّبَاعِ سُبُلِ أَصْحَابِ
الْـجَحِيْمِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ
شَرِيْكَ لَهُ الْـمَلِكُ الْبَرُّ الرَّحِيْمُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ بَلَّغَ اْلبَلاَغَ الْـمُبِيْنَ
وَقَالَ: عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ تَلَقَّوْا
عَنْهُ الدِّيْنَ وَبَلَّغُوْهُ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ
بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا،
أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah l dengan selalu
menjalankan berbagai ketaatan kepada-Nya. Di antara bentuk ketaatan yang
sangat besar keutamaannya dan sangat penting untuk mendekatkan diri
kepada Allah l adalah menyembelih binatang qurban. Amalan ini merupakan
sunnah Nabi Ibrahim q dan Nabi kita Muhammad n. Maka seorang muslim yang
memiliki kemampuan semestinya menjalankan amal ibadah yang mulia ini,
yaitu menyembelih hewan qurban, baik dia lakukan sendiri dan ini lebih
afdhal, atau meminta orang lain yang mengetahui hukum dan cara
penyembelihan yang syar’i untuk melakukan penyembelihannya. Namun tidak
boleh baginya untuk membayar upah penyembelihannya dengan sebagian dari
hewan qurbannya, baik itu kepalanya, kulitnya, atau yang semisalnya.
Meskipun boleh baginya untuk memberinya sebagai sedekah sebagaimana
diberikan kepada yang lainnya dari kalangan fakir miskin. Atau bisa pula
dia memberikan sebagian dari hewan qurbannya sebagai hadiah,
sebagaimana dia berikan pula kepada yang lainnya baik tetangga ataupun
kerabatnya meskipun mereka orang yang kaya. Dan disunnahkan bagi orang
yang berqurban untuk memakan hewan sembelihannya, namun tidak boleh
baginya untuk menjual bagian apapun dari hewan sembelihannya. Begitu
pula tidak boleh bagi orang yang berqurban untuk memotong rambut dan
kukunya dari mulai masuknya awal bulan Dzulhijah sampai dia melakukan
ibadah penyembelihan hewan qurban. Yang demikian tadi disebutkan dalam
hadits-hadits yang shahih.
Saudara-saudaraku kaum muslimin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah l,
Disebutkan pula dalam hadits Nabi n, bahwa untuk melaksanakan ibadah
qurban ini, tujuh orang atau kurang bisa bergabung secara bersama-sama
dengan menyembelih seekor onta atau sapi. Begitu pula bisa dengan
menyembelih seekor kambing, namun itu hanya mencukupi untuk satu orang.
Namun dengan menyembelih satu ekor kambing sudah mencukupi untuk diri
dan keluarganya, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal
dunia. Dengan cara dia niatkan pahalanya untuk dirinya dan seluruh
keluarganya baik yang hidup maupun yang telah meninggal dunia1. Maka
semua akan mendapat keutamaan dan pahala yang sangat besar. Wallahu
a’lam bish-shawab.
Hadirin rahimakumullah,
Ibadah menyembelih qurban ini harus dilakukan sesuai dengan ketentuan
yang telah disyariatkan. Baik yang berkaitan dengan waktu penyembelihan
maupun yang berkaitan dengan kriteria dan syarat-syarat hewan yang bisa
dijadikan sebagai hewan qurban. Adapun yang berkaitan dengan waktu
penyembelihan, waktunya adalah dimulai dari setelah selesai shalat Idul
Adha dan berakhir waktunya menurut pendapat yang benar hingga
tenggelamnya matahari pada hari ketiga belas di bulan Dzulhijjah. Nabi n
bersabda:
مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيَذْبَحْ مَكَانَهَا أُخْرَى
“Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat, maka sembelihlah (lagi)
kambing untuk menggantikan kambing (yang disembelih sebelum saatnya)
tersebut.” (Muttafaqun ‘alaih)
Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah l,
Adapun berkaitan dengan syarat hewan yang akan dijadikan sebagai
hewan qurban, hewan tersebut harus sudah mencapai umur yang telah
ditentukan. Juga sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi n, hewan itu
bukanlah hewan yang buta satu matanya dan sangat jelas butanya, serta
bukan pula hewan yang terkena sakit dan sangat jelas sakitnya. Bukan
pula hewan yang pincang sehingga tidak bisa berjalan mengikuti lainnya,
serta bukan hewan yang sudah sangat tua sehingga tidak pantas untuk
dikonsumsi dagingnya. Oleh karena itu, wajib bagi kaum muslimin untuk
belajar dan bertanya kepada ahlinya tentang hal-hal yang berkaitan
dengan ibadah qurban ini.
Hadirin rahimakumullah,
Semestinya seseorang yang berqurban berusaha untuk mencari
sebaik-baik hewan yang akan dijadikan sebagai hewan qurban. Hewan yang
tinggi nilai/harganya, seperti yang banyak dagingnya, bagus warnanya,
dan kuat/sehat tubuhnya, atau yang semisalnya. Karena, yang demikian
termasuk bentuk pengagungan terhadap syi’ar-syi’ar Allah l yang
menunjukkan besarnya ketakwaan dirinya. Hal ini sebagaimana tersebut
dalam firman Allah l:
“Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu menunjukkan ketakwaan hati.” (Al-Hajj: 32)
Akhirnya, mudah-mudahan Allah l senantiasa memberikan kepada kita
petunjuk-Nya sehingga kita bisa menjalankan ibadah sebagaimana yang
disyariatkan-Nya. Dan mudah-mudahan Allah l tidak menjadikan kita
menjadi orang yang sia-sia amalannya, karena beribadah dengan tidak ikhlas atau tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullah n dan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin. Sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
“Katakanlah: ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang
orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang
telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka
menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya’.” (Al-Kahfi: 103-104)
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ
وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ
الْـخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِي
وَعَنْ جَمِيْعِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ لَـهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ
يَوْمَ الدِّيْنِ.
اللَّهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْـمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ
الشِّرْكَ وَالْـمُشْرِكِيْنَ. وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّينِ، وَانْصُرْ
عِبَادَكَ الْـمُوَحِّدِيْنَ. اللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ
الْـمُسْلِمِيْنَ في كُلِّ مَكَانٍ. اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ
وَالْـمُسْلِمَاتِ وَالْـمُؤْمِنِيْنَ وَالْـمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ
مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّهُ سَمِيْعٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ،
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً
وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَ اللهِ … اذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ الْـجَلِيْلَ يَذْكُرْكُمْ
وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ،
وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ.
1 Tentang qurban bagi yang telah meninggal dunia, bisa dilihat penjelasannya dalam Kajian Utama, red.