Diantara nikmat yang Alloh berikan
kepada hamba-hambaNya adalah dengan dijadikannya segala sesuatu telah
teratur dan tertata rapi. Salah satunya adalah waktu. Alloh telah
jadikan 1 tahun ini sebanyak 12 bulan, dan 4 bulan di antaranya adalah
bulan Harom. Alloh jadikan waktu tersebut sebagai taqdir bagi hambaNya
untuk dimakmurkan dengan keta’atan kepadanya dan bersyukur kepada Alloh
atas karuniaNya tersebut. Alloh berfirman dalam Surah At Taubah ayat 36,
yang artinya:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي
كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا
أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan,
dalam ketetapan Allah hari dimana Alloh menciptakan langit dan bumi,
diantara 12 bulan tersebut terdapat 4 bulan harom”. (At Taubah : 36)
Dan 4 bulan harom tersebut dijelaskan Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wa
Salam adalah Muharrom, Rajab, Dzulqo’dah dan Dzulhijjah. Sebagaimana
disebutkan dalam hadits Abi Bakroh yang diriwayatkan oleh Al Bukhori
Rahimahullah bahwa Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam berkhutbah
dalam hajjatu wada’: yang artinya:
Sesungguhnya zaman telah beredar seperti keadaan pada hari Alloh
menciptakan langit dan bumi. 1 tahun adalah 12 bulan diantaranya adalah 4
bulan haram. 3 bulan berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah,
Muharrom dan Rojab yang terletak di antara 2 jumadil (awal dan akhir)
dan Sya’ban.
InsyaAlloh kita akan memasuki salah satu dari bulan haram, yaitu
Dzhulhijjah yang di dalamnya terdapat banyak sekali hukum-hukum,
ketaatan, dan ibadah yang dapat kita lakukan pada bulan tersebut.
Sehingga untuk menyambut bulan tersebut maka sudah selayaknya kita
mengetahui dan mempelajari perkara-perkara apa saja yang dapat kita
amalkan pada bulan tersebut.
Di antara amalan yang dapat kita lakukan di bulan Dzulhijjah adalah:
1. Berpuasa pada 10 hari yang pertama (1-9 Dzulhijjah). Hal ini
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhori Rahimahullah dari
Abdulloh bin Abbas radliyallohu ‘anhu, artinya:
Tidak ada amal pada hari-hari yang lebih afdhol dari amal pada
hari-hari ini (10 hari pertama bulan Dzulhijjah) mereka mengatakan: dan
tidak juga jihad fii sabilillah? Dan beliau berkata: tidak juga jihad
fii sabilillah kecuali seseorang keluar dengan harta dan jiwanya dan
tidak kembali dari perkara tersebut sedikit pun.
Berkata Al Hafidh Ibnu Hajar Rahimahullah dan dijadikan dalil
dengannya atas keutamaan puasa pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah
dikarenakan kedudukan puasa tersebut di dalam amal. Lalu muncul sebuah
masalah apa yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dari hadits ‘Aisyah bahwa
beliau berkata: “Tidaklah aku melihat Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi
Wassalam berpuasa pada 10 hari pertama di bulan Dzulhijjah sedikitpun”.
Akan tetapi, berkata Nawawi Rahimahullah bahwa perkataan ‘Aisyah
ditakwilkan bahwa beliau tidak berpuasa pada hari tersebut dikarenakan
sakit atau safar atau sebab lainnya, atau bahwa ‘Aisyah tidak melihat
beliau puasa padanya dan ini tidak mengharuskan dari hal tersebut
(perkataan ‘Aisyah radliyallohu ‘anha tidak melihat Rasululloh
Shallallohu ‘Alaihi Wassalam berpuasa) tidak adanya puasa beliau pada
waktu tersebut.
Berkata Al Hafidh ; “Dan kemungkinannya bahwa hal tersebut
dikarenakan beliau meninggalkan amal dalam keadaan beliau suka untuk
mengamalkannya akan tetapi khawatir akan diwajibkan atas umatnya
sebagaimana tersebut dalam Shohihain dari hadits ‘Aisyah.
2. Berpuasa pada hari Arofah (9 Dzulhijjah)
Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Qotadah Al
Anshory radliyallohu ‘anhu bahwa Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam
ditanya tentang puasa hari Arofah, maka beliau berkata: “menghapuskan
(dosa-dosa kecil) tahun yang lalu dan tahun yang akan datang”. Dan
ditanya tentang puasa Asyuro (10 Muharrom), beliau berkata menghapuskan
(dosa-dosa kecil) tahun yang lalu.
a) Shaum pada hari Arafah ini disunnahkan bagi mereka-mereka yang
diluar Arafah (tidak wujuf di Arofah). Sementara mereka-mereka yang
wukuf di Arofah tidak disunnahkan untuk berpuasa pada hari itu,
dikarenakan beliau Shallallohu ‘Alaihi Wassalam tidak berpuasa pada hari
tersebut. Bahkan diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim Rahimahullah
dari Maimunah bintu Al Harits, bahwa manusia berselisih di sisinya pada
hari Arofah berkenaan dengan puasanya Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi
Wassalam (pada hari tersebut). Sebagian mereka berkata bahwa beliau
berpuasa, dan sebagian lain menyatakan bahwa beliau tidak berpuasa. Maka
Maimunah mengantar kepada Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam
segelas susu, dan beliau berada di atas tunggangannya di Arofah, lalu
beliaupun minum (susu tersebut). Ini adalah pendapat jumhur para ‘ulama
dan inilah yang dirojihkan oleh Syaikh Yahya bin Ali Al Hajury
Hafidhahullah.
b) Sebagian ulama mengharamkannya, seperti halnya Yahya bin Said Al
Anshori dan dirojihkan oleh Al Imam Shon’ani Rahimahullah , berdasarkan
dengan hadits Abu Hurairoh riwayat Ahmad, Abu Dawud, An Nasa’i dan Ibnu
Majah: “Rasululloh melarang puasa arafah di arafah”
Akan tetapi haditsnya lemah, di dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang bernama
Mahdi bin Harb Al Hajari, dia majhul (tidak dikenal).
Para ulama berselisih tentang hikmah tidak disunnahkannya puasa Arofah bagi yang wukuf di Arofah:
a) Sebagian menyatakan untuk memperkuat dalam berdo’a kepada Alloh (pendapat Al Khiroqi).
b) Sebagian ulama lainnya seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Rahimahullah mengatakan bahwa tidak disunnahkan berpuasa bagi yang wukuf
di Arofah dikarenakan hari tersebut Iednya bagi penduduk Arofah. Maka
tidak disunnahkan berpuasa bagi mereka. Wallohu a’lam bish showab.
3. Udhhiyyah / berqurban :
Kata Udhhiyyah merupakan bentuk jamaknya dari adhoohiy. Dijelaskan oleh
Imam Nawawi Rahimahullah dalam Syarh Muslim (7/111) ada 4 bahasa:
1 ) udhhiyyah dan
2) idhiyyah bentuk jamaknya adalah adhoohiy dengan mentasydid ya dan meringankannya
3) dhohyah bentuk jamaknya adalah dhohaayaa.
4) adhhaah jamaknya adhhaa, dan karenanya dinamakan yaumul adha. Dan
dikatakan; dinamakan demikian karena dilakukan pada waktu dhuha yaitu
naiknya siang.
Udhhiyyah disyari’atkan oleh Alloh Subhanahu Wa Ta’ala kepada
hamba-hambaNya sebagai bukti syukur seorang hamba kepada Rabbnya setelah
memberikan nikmat/anugrah yang banyak kepada mereka. Alloh berfirman
dalam Surah Al Kautsar ayat 1-3 yang artinya: “Sesungguhnya kami telah
memberimu Al Kautsar, maka sholatlah kepada Rabb-mu dan berqurbanlah”.
Berkata Syaikh Abdurrahman As Sa’dy Rahimahullah dalam tafsir beliau:
Alloh mengkhususkan dua ibadah ini dengan penyebutan, dikarenakan
keduanya merupakan ibadah yang paling utama dan merupakan kedekatan yang
paling mulia. Dan dikarenakan pada sholat terkandung ketundukan pada
hati dan anggota tubuh terhadap Alloh. Sementara pada berqurban
merupakan kedekatan kepada Alloh dengan apa yang paling afdhol yang
dimiliki seorang hamba dari hewan qurban. Juga padanya terdapat
pengeluaran harta yang jiwa ini diberikan fithroh/kecenderungan untuk
mencintainya, dan bakhil terhadapnya (hal.1105).
Hukum Udhhiyyah
Adapun tentang hukum udhhiyyah itu sendiri para ulama berselisih menjadi beberapa pendapat, yaitu:
a) Jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya sunnah muakkadah, jika
meninggalkannya dengan tanpa udzur tidak berdosa, dan tidak diwajibkan
atasnya qodho. Diantara para shahabat yang berpendapat dengan pendapat
ini adalah Abu Bakr Ash Shiddiq, Umar bin Khottob, Bilal, Abdullah bin
Mas’ud. Juga para ulama seperti Said Ibnul Musayyib, Al Qomah, Atho,
Malik, Ahmad, dll.
b) Abu Hanifah, Laits, Rabi’ah, dan Al Auzai’y berpendapat wajib bagi
yang memiliki kemudahan. Ini adalah pendapat sebagian Malikiyyah.
Mereka berdalilkan dengan hadits riwayat Ibnu Majah dan Tirmidzi dan
dishohihkan olehnya, dari Mikhnaf bin Sulaim: “Atas setiap ahlu bait
terdapat udhhiyyah”. Juga sebelumnya mereka berdalilkan dengan ayat yang
kita sebutkan di atas. Juga berdalilkan dengan hadits Abu Hurairoh
riwayat Ahmad, Ibnu Majah dll:
من كان له سعة و لم يضح فلا يقربن مصلانا
“Barang siapa yang memiliki kelapangan dan tidak berqurban maka
jangan mendekati mushola kami”. ( Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam
shohihul Jami’, hadits no. 6490)
Namun yang rojih – Wallohu a’lam – adalah pendapat jumhur ulama yang
menyatakan sunnah muakaddah, dengan melihat hadits Ummu Salamah
radliyallohu ‘anha yang diriwayatkan oleh Imam Muslim Rahimahullah ,
bahwa Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam bersabda: Yang artinya:
“jika telah masuk 10 hari (bulan Dzulhijjah) dan salah seorang dari
kalian ingin berqurban, maka janganlah menyentuh (mencabut/memotong)
dari rambutnya dan kukunya sedikit pun”
Syahidnya, bahwa beliau Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam
berkata idzaa arooda, maka ini menunjukkan bahwa berqurban tidak wajib
hukumnya, karena sesuatu yang wajib terdapat penekanan (ilzam) padanya.
Tidak semata-mata irodah (keinginan), dan pendapat inilah yang
dirojihkan oleh Syaikhuna Yahya bin Ali Al Hajuriy Hafidhahullah. Bahkan
tidak dinukilkan dari salah seorang shahabatpun yang mewajibkannya,
seperti yang disebutkan oleh Ibnu Hazm Rahimahullah, kemudian
diriwayatkan juga dari Ibnu Umar radliyallohu ‘anhu bahwa beliau
berkata:
“bahwa qurban adalah sunnah yang ma’ruf / diketahui”.
Adapun dalil-dalil yang mereka sebutkan seperti:
1) Firman Alloh : fasholli lirobbika wanhar, tidak menunjukkan
wajibnya udhhiyyah, tetapi menunjukkan bahwa qurban waktunya setelah
sholat, maka riwayat tersebut menentukan terhadap waktunya bukan
menunjukkan wajibnya berqurban. Demikian dijelaskan oleh Ashon’ani
Rahimahullah dalam Subulussalam.
2) Adapun hadits Abu Hurairoh, haditsnya maukuf maka tidak ada hujjah padanya.
3) Sementara hadits Mikhaf bin Sulaim di dalam sanadnya terdapat
seorang bernama Amir, Abu Romlah. Berkata Al Khottoby Rahimahullah :
majhul (tidak dikenal). Wallohu a’lam bish showab. (lihat Syarh Muslim
7/112, Subulussalam 4/1352-1353)
Peringatan:
Berkata Syaikh Yahya Hafidhahullah, meskipun sunnah muakkadah, tidak
sepantasnya bagi mereka yang mampu, untuk meninggalkan sunnah tersebut.
Awal Waktu Penyembelihan Qurban
Berkata Ibnul Mundzir: para ulama sepakat bahwa tidak boleh menyembelih
hewan qurban sebelum terbitnya fajar pada hari Nahr (Iedul Adha).
Kemudian mereka berselisih jika setelah waktu tersebut (fajr):
a) Berkata Syafi’i, Dawud, dan Ibnul Mundzir: masuk waktunya jika
matahari telah terbit dan telah lewat waktu sekedar shalat Ied dan
Khutbah (dari terbitnya matahari), maka jika menyembelih setelah waktu
ini sah-sah saja. Sama halnya imam telah sholat atau belum.
b) Berkata Malik Rahimahullah : tidak boleh menyembelih hewan qurban
kecuali setelah shalatnya imam, khutbahnya imam dan menyembelihnya imam.
c) Berkata Ahmad Rahimahullah : tidak boleh menyembelih hewan qurban
sebelum shalatnya imam, dan boleh setelah shalatnya imam, meskipun imam
belum menyembelih.
Yang rojih wallohu a’lam adalah pendapat yang terakhir yang menyatakan
bolehnya menyembelih hewan qurban ketika selesai sholat dan khutbahnya
imam. Sesuai dengan zhahir hadits Jundub bin Sufyan Al Bajaly yang
diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim yang artinya:
“Barang siapa menyembelih sebelum sholat, maka hendaknya dia menyembelih
yang lain sebagai penggantinya” dalam lafadz lain: “Barang siapa
menyembelih sebelum shalat maka hendaknya dia menyembelih seekor kambing
sebagai penggantinya”.
Juga berdasarkan hadits Al Bara bin ‘Azib riwayat Al Bukhari dan Muslim:
“Barang siapa yang menyembelih sebelum shalat maka sesungguhnya dia
menyembelih untuk dirinya, dan barang siapa yang menyembelih setelah
shalat maka telah sempurna qurbannya dan mencocoki sunnahnya kaum
muslimin”
(lihat Syarah Muslim 7/112-114)
Akhir Waktu Penyembelihan Qurban
a) Berkata Syafi’i Rahimahullah : boleh berqurban pada hari Nahr
(Iedul Adha) dan hari-hari Tasyrik yang 3, setelahnya. Ini juga
pendapatnya Ali bin Abi thalib, Jubair bin Muth’im dan Abdullah bin
Abbas radliyallohu ‘anhum.
b) Berkata Abu Hanifah, Malik dan Ahmad: Qurban khusus pada hari
Nahar (Iedul Adha) dan 2 hari setelahnya. Ini juga diriwayatkan dari
Umar bin Khattab dan Abdullah bin Umar radliyallohu ‘anhuma.
c)Berkata Muhammad bin Sirrin: tidak boleh berqurban kecuali pada hari Nahr saja.
Yang rojih wallohu a’lam pendapat Syafi’i Rahimahullah yang
menyatakan bahwa akhir waktu qurban adalah hari Tasyrik yang ketiga
yaitu sebelum tenggelamnya matahari pada hari itu. Dalilnya adalah
hadits Jubair bin Muth’im radliyallohu ‘anhu riwayat Ahmad dan Ibnu
Hibban, artinya: “Hari Tasyrik adalah hari-hari penyembelihan atau
seluruhnya waktu penyembelihan”
Hadits ini memiliki jalan yang banyak yang menguatkan satu sama lain.
Dan juga berdasarkan hadits yang lain yang sanadnya shohih dan
disebutkan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Rahimahullah dalam Shahihul
Musnad: “Hari-hari Mina adalah tiga hari”
Dan inilah yang dirajihkan Syaikh Yahya bin Ali Hafidhahullah (lihat
Syarah Muslim 7/112, Subulussalam 4/1354-1355, Zaadul Ma’ad 2/318-320)
Tempat Udhhiyyah
Disunnahkan untuk menyembelih hewan qurban di musholla kaum muslimin
dalam rangka menampakkan syiar-syiar agama. Sesuai dengan hadits
Abdullah bin Umar radliyallohu ‘anhu yang diriwayatkan Bukhori
Rahimahullah : “Adalah Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam berqurban
dan menyembelih di musholla (tanah lapang)”
(lihat Raudhotun Nadhiyyah hal 613, Zaadul Ma’ad 2/322)
Hukum Tasmiyyah (mengucapkan bismillah) Ketika Menyembelih
Telah sepakat kaum muslimin tentang disyariatkannya menyebut nama Alloh
ketika melepas hewan pemburu binatang buruan, ketika berqurban dan
menyembelih hewan qurban. Lalu mereka berselisih tentang hukumnya apakah
wajib atau sunnah?
a) Madzhabnya Syafi’i dan sebagian ulama, bahwa hukumnya sunnah. Bagi
yang meninggalkannya karena lupa atau sengaja halal buruannya dan
sebelihannya. Ini juga pendapatnya Malik dan Ahmad dalam sebuah riwayat.
b) Berkata ulama dari kalangan Hanafiyyah, bahwa tasmiyyah wajib
hukumnya bagi yang ingat dan tidak halal sembelihannya/buruannya jika
ditingalkan secara sengaja, berdasarkan firman Alloh :
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ
“Dan janganlah kalian makan dari apa-apa yang tidak disebut nama Alloh atasnya” (Al An’am : 121)
c) Berkata Ahlu Zhohir (zhohiriyyah) bahwa tasmiyyah wajib, dan
apabila ditinggalkan sengaja atau lupa tidak halal hukumnya. Dan inilah
yang dirajihkan oleh Syaikh Yahya bin Ali Hafidhahullah . Berdasarkan
ayat di atas dan juga ayat yang lain, yaitu: dalam Surah Al An’am : 118 :
َكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ
“maka makanlah oleh kalian dari apa-apa yang disebut nama Alloh atasnya”
Dan juga berdasarkan keumuman hadits Al Bara bin Azib riwayat Al-Bukhari dan Muslim,“dan barang siapa yang belum menyembelih maka hendaknya dia menyembelih dengan nama Alloh”
Faedah:
Dijelaskan dalam riwayat Muslim bahwa beliau mengucapkan tasmiyyah dengan ucapan :
Artinya: dengan nama Alloh, dan Alloh Maha Besar (lihat Syarah Muslim 7/123, Subulussalam jilid 4/1336 – 1337)
Binatang Qurban yang Diperbolehkan Untuk Disembelih
Berkata Imam Nawawi: para ulama telah bersepakat bahwa tidak sah
sembelihan qurban dengan tanpa (selain) unta, sapi dan kambing, kecuali
yang dihikayatkan oleh Ibnu Mundzir dari Al Hasan bin Sholeh, bahwa dia
berkata boleh berqurban dengan kerbau (sapi liar).
Berkata Imam Shon’ani dinukilkan dari Asma, bahwa beliau berkata ; “Kami
berqurban bersama Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam dengan kuda.
Dan diriwayatkan dari Abu Hurairoh bahwa beliau berqurban dengan ayam”.
Adapun minimalnya adalah kambing sebagaimana disebutkan dalam riwayat
Tirmidzi dan Ibnu Majjah dari Atha’ bin Yassar, beliau berkata: Aku
menanyakan kepada Abu Ayyub Al Anshori; “bagaimana penyembelihan qurban
pada masa Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam? Beliau berkata:
“adalah seseorang berqurban dengan kambing, atasnya dan atas
keluarganya. Maka mereka makan dan memberikan makan (darinya) (lihat
Syarh Muslim 7/119 – 123, Subulussalam 4/1358 dan Rhaudattun Nadhiyyah
hal.611)
Binatang Qurban yang Paling Utama
Binatang qurban yang paling utama adalah yang paling gemuk.
Berdasarkan hadits Abi Rafi’ yang artinya: “Adalah Rasululloh
Shallallohu ‘Alaihi Wassalam apabila beliau berqurban membeli 2 kibas
yang gemuk” (HR. Ahmad dengan sanad yang hasan)
Juga bedasarkan hadits Abu Umamah dalam riwayat Bukhori:“adalah kami
menggemukkan hewan qurban di Madinah dan kaum muslimin pun menggemukkan
juga. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Dan jika ingin mencontoh
perbuatan beliau, adalah dengan menyembelih hewan qurban yang bertanduk
dan gemuk, sebagaimana dijelaskan dalam banyak haditsnya. (lihat Syarah
Muslim 7/120, Raudhottun Nadhiyyah 610).
Umur Binatang Qurban
Sembelihan hewan qurban mempunyai ketentuan-ketentuan, diantaranya ketentuan umur sebagai syarat sahnya penyembelihan qurban.
a) Untuk domba minimal berumur 1 tahun menurut pendapat yang paling
rojih, sebagaimana dirojihkan oleh Syaikh Yahya bin Ali Hafidhahullah
b) Untuk kambing minimal berumur 2 tahun.
c) Untuk sapi minimal 2 tahun.
d) Untuk unta minimal berumur 5 tahun masuk tahun ke-6
Semua ini berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim Rahimahullah yang artinya: “Dan janganlah kalian
menyembelih kecuali musinnah (usia 2 tahun untuk sapi, dan kambing, usia
5 tahun untuk unta), kecuali sulit atas kalian, maka sembelihlah
jadzdah (usia 1 tahun) dari domba”
Catatan:
Al Musinnah adalah Atstsaniyyah yang telah sempurna usia 2 tahun masuk
tahun ke-3, untuk sapi, kambing, adapun istilah untuk unta adalah yang
berusia 5 tahun sempurna untuk tahun ke-6, dan inilah fatwa dari Syaikh
Yahya bin Ali Al Hajuriy Hafidhahullah . (lihat Raudhotun Nadhiyyah 611,
Syarh Muslim 7/119-120).
Keadaan Hewan Qurban
Selain dipersyaratkan umur yang mencukupi dalam hewan qurban, juga
dipersyaratkan harus bebas dari aib/ cacat, terutama 4 cacat yang
disebutkan oleh Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam dalam hadits Al
Bara bin ‘Azib radliyallohu ‘anhu, berkata Rasululloh Shallallohu
‘Alaihi Wassalam :
Empat jenis hewan qurban yang tidak diperbolehkan: 1) yang buta, yang
jelas butanya, 2) yang sakit, yang jelas penyakitnya, 3) yang pincang,
yang jelas kepincangannya, 4) yang kurus yang tidak bersumsum. (HR.
Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah, Nasa’i, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani
Rahimahullah) (lihat Raudhotun Nadhiyyah hal 162, Zaadul Ma’ad
2/320-321).
Pembagian Daging Qurban
Disunnahkan daging qurban untuk dibagi menjadi 3 bagian: 1/3 untuk
dimakan, 1/3 untuk shodaqoh, 1/3 untuk disimpan yang kemudian di
shodaqohkan atau dimakan. Berdasarkan hadits: “Bahwa Rasululloh
Shallallohu ‘Alaihi Wassalam bersabda: makanlah, sedekahlah dan
simpanlah”. HR. Bukhari dan Muslim (lihat Raudhotun Nadhiyyah hal 613,
Subulus Salam 4/1360).
Faedah:
Dahulu pada awal Islam, Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam
melarang untuk menyimpan daging qurban lebih dari 3 hari, seperti
disebutkan dalam hadits Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Umar, Abdullah
bin Waqid, Jabir bin Abdillah radliyallohu ‘anhum ajma’in dalam riwayat
Muslim, dikarenakan pada saat itu kaum muslimin dalam keadaan sulit dan
membutuhkan, yang diharapkan daging tersebut betul-betul dimanfaatkan
oleh kaum muslimin. Kemudian larangan tersebut dimansukhkan dengan
hadits Buraidah dalam riwayat Muslim, bahwa Rasululloh Shallallohu
‘Alaihi Wassalam bersabda yang artinya: dahulu aku melarang kalian untuk
menyimpan daging qurban diatas 3 hari maka sekarang tahanlah oleh
kalian apa yang jelas bagi kalian (kalian inginkan). Juga disebutkan
dalam hadits yang semakna dari Jabir bin Abdillah, Abu Said Al Khudri,
Salamah Ibnul Aqwa dan Tsauban (lihat Syarah Muslim 7/132-136).
Peringatan!!
Berdasarkan hadits-hadits di atas dan juga hadits lainnya, seperti
hadits Ali bin Abi Thalib dalam shohihain, maka tidak boleh daging
qurban maupun kulitnya dijadikan sebagai upah/ ongkos penyembelihan
kepada tukang sembelih. Akan tetapi ongkos tersebut diberikan dari
ongkos tersendiri, dan jika kulit atau daging hewan qurban tersebut
hendak di shodaqohkan kepada si penyembelih maka tidak mengapa. Karena
shodaqoh bukan ongkos penyembelihan. Ali bin Abi Tholib berkata: Nabi
Shallallohu ‘Alaihi Wassalam memerintahkan kepadaku untuk menyembelih
hewan qurbannya (unta beliau) dan agar aku bershodaqoh dengan dagingnya,
kulitnya, kain/sesuatu yang dihamparkan di punggung hewan qurban. Dan
agar aku tidak memberikan kepada tukang sembelih dari hewan qurban
sebagai upah. Akan tetapi kami memberinya dari sisi kami (HR. Bukhari,
Muslim) (lhat Syarah Muslim 5/69-70).
Larangan Bagi Orang yang Hendak Berqurban
Dijelaskan oleh Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam dalam hadits
yang shohih, bahwa seorang muslim yang hendak berqurban (sama halnya dia
yang menyembelih sendiri atau diwakilkan), maka dilarang untuk memotong
rambutnya, atau bulu-bulu yang asalnya disunnahkan atau dibolehkan.
Juga dilarang untuk memotong kuku atau melepas kulitnya. Hal ini berlaku
sejak tanggal 1 Dzulhijjah sampai dia menyembelih atau hewan qurbannya
disembelih. Berdasarkan hadits Ummu Salamah riwayat Muslim:
“Apabila telah masuk 10 Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian hendak
berqurban maka jangan menyentuh (memotong) dari rambutnya dan juga
kulitnya. Dalam lafadz yang lain: “dan jangan mengambil rambutnya dan
memotong kukunya”.
Para ulama berselisih tentang hukum larangan di atas, menjadi beberapa pendapat:
a)Berkata Said Ibnul Musayyib, Robi’ah, Ahmad, Ishaq dan Dawud, serta sebagian Syafi’iyyah: hukumnya haram.
b) Berkata Syafi’i dan Malik dalam sebuah riwayat bahwa hukumnya makruh.
c) Berkata Abu Hanifah: tidak dimakruhkan.
Wallohu a’lam yang rojih adalah pedapat pertama yang menyatakan haram
sesuai dengan zhohir hadits-hadits yang ada. Akan tetapi hukum ini
dapat berubah menjadi mubah, bagi yang merasa terganggu dengan
kulit/rambutnya sehingga mau tidak mau dia harus memotongnya dan ini
adalah pendapat Abdullah bin Abbas radliyallohu ‘anhu.
Cara Menyembelih Hewan Qurban
Secara umum syariat Islam memerintahkan kepada kita untuk berbuat
baik/ihsan kepada hewan yang kita sembelih, baik dalam hal tata cara
penyembelihan maupun alat-alat yang digunakan untuk menyembelih atau
perkara-perkara lain yang menyegerakan hilangnya ras sakit dari hewan
yang disembelih. Beliau bersabda: “sesungguhnya Alloh telah menuliskan
/mewajibkan untuk berbuat baik kepada segala sesuatu ketika kalian
membunuh, maka berbuat baiklah dalam membunuh tersebut. Dan ketika kamu
menyembelih berbuat baiklah dalam penyembelihan, dan hendaknya salah
seorang diantara kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan hewan
qurbannya. (HR. Muslim dari Syaddad bin Aus radliyallohu ‘anhu).
Adapun mengenai tata cara penyembelihan hewan qurban ada dua cara, yaitu:
1. Nahr
Hal ini disunnahkan ketika menyembelih unta, yaitu dengan cara mengikat
tangan kiri (disebutkan juga kaki kirinya), dalam keadaan unta itu
berdiri kemudian ditarik, dan setelah punggung unta jatuh di atas tanah
maka segera ditebas/disembelih. Karena dalam keadaan seperti iniada
kenyamanan padanya dan lebih cepat menghilangkan nyawa (lihat Surat Al
Haj Ayat 36).
2. Dzabh
Hal ini disunnahkan ketika menyembelih sapi, kambing dan lainnya yang
selain unta, yaitu dengan cara membaringkan hewan tersebut pada lambung
kirinya, kemudian penyembelih menginjak pundak kanan hewan, tangan kanan
memegang pisau dan tangan kiri memegang kepala hewan qurban. Dan
disyaratkan membaca tasmiyyah “bismillah wallohu akbar” (dengan nama
Alloh dan Alloh Maha Besar) sebagaimana disebutkan dalam pembahasan yang
lalu.
Diperbolehkan ketika menyembelih menggunakan apa saja yang tajam yang
dapat mengalirkan darah, kecuali kuku dan gigi dan seluruh jenis tulang,
sebagaimana disebutkan dalam hadits Rafi’ bin Khadij riwayat Bukhari
dan Muslim: “Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan nama
Alloh atasnya, maka makanlah, selain gigi dan kuku. Adapun gigi karena
dia adalah tulang, dan adapun kuku adalah senjatanya orang Habasyah”.
(lihat Syarah Muslim 5/74 dan 7/125-126).
Peringatan!!
- hendaknya pisau yang digunakan untuk menyembelih adalah pisau yang
sangat tajam, dan menyegerakan jalannya pisau di leher hewan tersebut
ketika memotongnya.
- Ketika hewan qurban telah disembelih, hendaknya kaki-kaki hewan
tersebut dilepas, tidak diikat atau dipegang. Hal ini memberikan dua
faedah yang penting:
1) Lebih meringankan dan memberi kenyamanan bagi hewan yang disembelih.
2) Lebih menuntaskan darah untuk keluar sehingga semakin bersih darahnya dan semakin baik kualitas dagingnya.
- Adapun yang disebutkan oleh sebagian ulama bahwa disukai/disunnahkan
agar tidak menajamkan pisau di sisi hewan disembelihan atau tidak
menyembelih seekor hewan di hadapan yang lain, maka hal ini dijelaskan
oleh Syaikh Yahya bin Ali Al Hajury tidak ada dalil atasnya. Wallohu
a’lam bishshowab.
Bersekutu Dalam Hewan Qurban
Diperbolehkan bersekutu dalam hewan qurban pada unta sebanyak 7
orang, demikian pula pada sapi sebanyak 7 orang. Dan disebutkan dalam
hadits Ibnu Abbas radliyallohu ‘anhu bahwa diperbolehkan bersekutu 10
orang pada unta. “Unta untuk 10 orang”, Juga hadits Rofi’ bin Khadij
dalam shahihain “adalah Nabi Shallallohu ‘Alaihi Wassalam menyamakan 1
ekor unta dengan 10 ekor kambing”.
Adapun untuk kambing maka hanya untuk 1 orang dan ahli baitnya
(keluarganya) meskipun banyak jumlah mereka. Sebagaimana disebutkan
dalam hadits Atho bin Yasaar dari Abu Ayyub Al Anshori riwayat Ahmad
dengan sanad yang hasan (lihat Zaadul Ma’ad 2/323, Syarah Muslim 5/72,
Subulussalam 4/1359).
BEBERAPA PERMASALAHAN BERKAITAN DENGAN QURBAN (FATWA SYAIKH YAHYA BIN ALI AL HAJURY Hafidhahullah )
1. Menghadap kiblat ketika menyembelih. Berkata Hafidhahullah : tidak
ada dalil yang mengharuskan untuk menghadap kiblat. Sungguh Rasululloh
Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam pernah menyembelih dengan tangannya 60 unta
dan tidak dinukilkan bahwa beliau menyembelih menghadap kiblat. Adapun
riwayat yang datang dari Sunan Baihaqy dari jalannya Ibnu Juraij dari
Nafi’ dari Ibnu Umar terdapat ‘an’anah (meriwayatkan dengan lafadz ‘an)
Ibnu Juraij dan dia adalah seorang mudallis.
2. Jual beli daging qurban atau kulitnya. Berkata Hafidhahullah :
tidak boleh jual beli daging qurban atau kulitnya, tetapi bershodaqoh
dengannya sebagaimana perintah beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam
kepada Ali bin Abi Thalib dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim.
3. Apakah diambil dari harta anak yatim untuk hewan qurban? (sebagai qurbannya)
berkata Hafidhahullah : tidak diambil dari harta anak yatim dalam
perkara mustahab, dan udhhiyyah hukumnya sunnah muakkadah. Hanya saja
diabil dari hartanya untuk zakat saja, berdasarkan dalil yang kuat:
“diambil zakat dari orang-orang kaya mereka (kaum muslimin) dan
dibagikan kepada oran gyang fakir diantara mereka (HR. Bukhari dan
Muslim dari Abdullah bin Abbas radliyallohu ‘anhu.
4. Mana yang lebih afdhol udhhiyyah dengan zatnya atau bershodaqoh
dengan uang seharga udhhiyyah tersebut? Berkata Hafidhahullah: tidak
ragu lagi bahwa udhhiyyah lebih afdhol dari shodaqoh dengan harganya,
bahkan udhhiyyah terkandung di dalamnya shodaqoh seperti perintah beliau
dalam hadits Ali bin Abi Tholib.
5. Apakah boleh seorang wanita menyembelih hewan qurban? Berkata
Hafidhahullah : na’am, boleh-boleh saja seorang wanita menyembelih hewan
qurban meskipun dalam keadaan haidh. Sebagaimana dinukilkan dari Al
Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah dalam Fathul Bary.
6. Menyembelih qurban untuk mayit? Berkata Hafidhahullah : berkata
Ibnul Mubarok Rahimahullah, tidak disembelih hewan qurban untuknya akan
tetapi di shodaqohkan atasnya sebagaimana hadits Abu Hurairoh riwayat
Bukhari dan Muslim: “jika mati anak Adam terputus amalnya kecuali 3
perkara: shodaqoh jariyah ……” al hadits.
Dan seorang mayit tidak dibebani dengan kewajiban-kewajiban apalagi
perkara yang sunnah seperti halnya udhhiyyah. Dan tidak datang dari Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam bahwa beliau berqurban atas Khodijah yang
telah meninggal.
7. Manakah yang didahulukan, hutang atau udhhiyyah? Berkata Hafidhahullah : ada perinciannya:
- apabila dalam keadaan sehat dan lapang, terlebih lagi pemilik uang
tidak menginginkannya saat itu, maka tidak mengapa mendahulukan
udhhiyyah.
- Apabila dalam keadaan sempit maka tidak boleh mendahulukan udhhiyyah
dari hutang. Terlebih lagi dia dalam keadaan sakit atau ajalnya telah
dekat. Maka wajib baginya untuk mendahulukan hutangnya, karena
Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam telah memperingatkan dari hutang
dan beliau tidak mensholatkan seseorang yang mati dan memiliki hutang.
Tetapi memerintahkan para shahabat untuk mensholatkannya.
8. Sembelihan orang-orang rafidhoh? Berkata Hafidhahullah: tidak
dimakan karena kedudukannya sama dengan sembelihan orang musyrik, dan
ini fatwa Syaikh Ibnu Baaz Rahimahullah
9. Apakah udhhiyyah memansukhkan aqiqah? Berkata Hafidhahullah : ini
adalah pendapat yang batil, bahkan aqiqah wajib hukumnya menurut
pendapat yang paling rajih berdasarkan hadits: “setiap bayi yang lahir
tergadaikan dengan aqiqahnya” HR. Abu Dawud dari Samurah bin Jundab.
Adapun undhhiyyah sunnah muakkadah saja hukumnya dan tidak memansukhkan
aqiqah.
10. Apakah dipersyaratkan pada aqiqah seperti yang dipersyaratkan
pada udhhiyyah? Berkata : jumhur ulama mempersyaratkan hal tersebut
dengan mengqiyaskan aqiqah kepada udhhiyyah. Akan tetapi yang rajih
adalah tidak dipersyaratkan. Dan qiyas yang mereka gunakan ada perbedaan
padanya, seperti halnya mengqiyaskan antara khutbah Ied dengan khutbah
Jum’at. Dan juga selain dari itu tidak ada dalil yang shahih yang
mempersyaratkan hal tersebut.
Wallohu a’lam bishshowab. Walhamdulillahi robbil ‘alamin.