Tulisan 1. Khawarij Kelompok Sesat Pertama Dalam Islam
Penulis: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al-Atsari, Lc.
Penulis: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al-Atsari, Lc.
Laa hukma illa lillah (tiada hukum kecuali untuk Allah). Kata-kata ini haq adanya, karena merupakan kandungan ayat yang mulia. Namun jika kemudian ditafsirkan menyimpang dari pemahaman salafush shalih, kebatilanlah yang kemudian muncul. Bertamengkan kata-kata inilah, Khawarij, kelompok sempalan pertama dalam Islam, dengan mudahnya mengkafirkan bahkan menumpahkan darah kaum muslimin.
Siapakah Khawarij?
Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Mereka adalah orang-orang yang memberontak terhadap pemerintah di akhir masa kepemimpinan ‘Utsman bin ‘Affan z yang mengakibatkan terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan z. Kemudian di masa kepemimpinan ‘Ali bin Abu Thalib z, keadaan mereka semakin buruk. Mereka keluar dari ketaatan terhadap ‘Ali bin Abu Thalib z, mengkafirkannya, dan mengkafirkan para shahabat. Ini disebabkan para shahabat tidak menyetujui madzhab mereka. Dan mereka menghukumi siapa saja yang menyelisihi madzhab mereka dengan hukuman kafir. Akhirnya mereka pun mengkafirkan makhluk-makhluk pilihan yaitu para shahabat Rasulullah r.” (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hal. 31)
Cikal bakal mereka telah ada sejak jaman Rasulullah r. Diriwayatkan dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri z, ia berkata: Ketika kami berada di sisi Rasulullah r dan beliau sedang membagi-bagi (harta), datanglah Dzul Khuwaisirah dari Bani Tamim, kepada beliau. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, berbuat adillah!” Rasulullah r pun bersabda: “Celakalah engkau! Siapa lagi yang berbuat adil jika aku tidak berbuat adil? Benar-benar merugi jika aku tidak berbuat adil.”
Maka ‘Umar bin Al- Khaththab z berkata: “Wahai Rasulullah, ijinkanlah aku untuk memenggal lehernya!” Rasulullah r berkata: “Biarkanlah ia, sesungguhnya ia akan mempunyai pengikut yang salah seorang dari kalian merasa bahwa shalat dan puasanya tidak ada apa-apanya dibandingkan shalat dan puasa mereka, mereka selalu membaca Al Qur’an namun tidaklah melewati kerongkongan mereka, mereka keluar dari Islam sebagaimana keluarnya anak panah dari ar-ramiyyah, dilihat nashl-nya (besi pada ujung anak panah) maka tidak didapati bekasnya. Kemudian dilihat rishaf-nya (tempat masuknya nashl pada anak panah) maka tidak didapati bekasnya, kemudian dilihat nadhiy-nya (batang anak panah) maka tidak didapati bekasnya, kemudian dilihat qudzadz-nya (bulu-bulu yang ada pada anak panah) maka tidak didapati pula bekasnya. Anak panah itu benar-benar dengan cepat melewati lambung dan darah (hewan buruan itu). Ciri-cirinya, (di tengah-tengah mereka) ada seorang laki-laki hitam, salah satu lengannya seperti payudara wanita atau seperti potongan daging yang bergoyang-goyang, mereka akan muncul di saat terjadi perpecahan di antara kaum muslimin.”
Abu Sa’id Al-Khudri z berkata: “Aku bersaksi bahwa aku mendengarnya dari Rasulullah r dan aku bersaksi pula bahwa ‘Ali bin Abu Thalib z yang memerangi mereka dan aku bersamanya. Maka ‘Ali z memerintahkan untuk mencari seorang laki-laki (yang disifati oleh Rasulullah r, di antara mayat-mayat mereka) dan ditemukanlah ia lalu dibawa (ke hadapan ‘Ali), dan aku benar-benar melihatnya sesuai dengan ciri-ciri yang disifati oleh Rasulullah r.” (Shahih, HR. Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitabuz Zakat, bab Dzikrul Khawarij wa Shifaatihim, 2/744)
Asy-Syihristani t berkata: “Siapa saja yang keluar dari ketaatan terhadap pemimpin yang sah, yang telah disepakati, maka ia dinamakan Khariji (seorang Khawarij), baik keluarnya di masa shahabat terhadap Al-Khulafa Ar-Rasyidin atau terhadap pemimpin setelah mereka di masa tabi’in, dan juga terhadap pemimpin kaum muslimin di setiap masa.” (Al-Milal wan Nihal, hal. 114)
Mengapa Disebut Khawarij?
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Dinamakan Khawarij dikarenakan keluarnya mereka dari jamaah kaum muslimin. Dikatakan pula karena keluarnya mereka dari jalan (manhaj) jamaah kaum muslimin, dan dikatakan pula karena sabda Rasulullah r:
يَخْرُجُ مِنْ ضِئْضِئِ هَذَا
“Akan keluar dari diri orang ini…” (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, 7/145)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani t berkata: “Dinamakan dengan itu (Khawarij) dikarenakan keluarnya mereka dari din (agama) dan keluarnya mereka dari ketaatan terhadap orang-orang terbaik dari kaum muslimin.” (Fathul Bari Bisyarhi Shahihil Bukhari, 12/296)
Mereka juga biasa disebut dengan Al-Haruriyyah karena mereka (dahulu) tinggal di Harura yaitu sebuah daerah di Iraq dekat kota Kufah, dan menjadikannya sebagai markas dalam memerangi Ahlul ‘Adl (para shahabat Rasulullah r). (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, 7/145)
Disebut pula dengan Al-Maariqah (yang keluar), karena banyaknya hadits-hadits yang menjelaskan tentang muruq-nya (keluarnya) mereka dari din (agama). Disebut pula dengan Al-Muhakkimah, karena mereka selalu mengulang kata-kata Laa Hukma Illa Lillah (tiada hukum kecuali untuk Allah I), suatu kalimat yang haq namun dimaukan dengannya kebatilan. Disebut pula dengan An-Nawashib, dikarenakan berlebihannya mereka dalam menyatakan permusuhan terhadap ‘Ali bin Abu Thalib z. (Firaq Mu’ashirah, 1/68-69, Dr. Ghalib bin ‘Ali Al-Awaji, secara ringkas)
Bagaimanakah Madzhab Mereka?
Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata, madzhab mereka adalah tidak berpegang dengan As Sunnah wal Jamaah, tidak mentaati pemimpin (pemerintah kaum muslimin, pen), berkeyakinan bahwa memberontak terhadap pemerintah dan memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin merupakan bagian dari agama. Hal ini menyelisihi apa yang diwasiatkan oleh Rasulullah r agar senantiasa mentaati pemerintah (dalam hal yang ma’ruf/ yang tidak bertentangan dengan syariat), dan menyelisihi apa yang telah diperintahkan oleh Allah I dalam firman-Nya:
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Taatilah Allah, dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri (pemimpin) di antara kalian.” (An-Nisa: 59)
Allah I dan Nabi-Nya r menjadikan ketaatan kepada pemimpin sebagai bagian dari agama… Mereka (Khawarij) menyatakan bahwa pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) telah kafir, tidak diampuni dosa-dosanya, kekal di neraka. Dan ini bertentangan dengan apa yang terdapat di dalam Kitabullah (Al Qur’an). (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hal. 31-33)
Al-Hafidz Ibnu Hajar t berkata: “Mereka berkeyakinan atas kafirnya ‘Utsman bin ‘Affan z dan orang-orang yang bersamanya. Mereka juga berkeyakinan sahnya kepemimpinan ‘Ali z (sebelum kemudian dikafirkan oleh mereka, pen) dan kafirnya orang-orang yang memerangi ‘Ali z dari Ahlul Jamal.”[1] (Fathul Bari, 12/296)
Al-Hafidz t juga berkata: “Kemudian mereka berpendapat bahwa siapa saja yang tidak berkeyakinan dengan aqidah mereka, maka ia kafir, halal darah, harta dan keluarganya.” (Fathul Bari, 12/297)
Peperangan antara Khawarij dan Khalifah ‘Ali bin Abu Thalib
Setelah Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan terbunuh, maka orang-orang Khawarij ini bergabung dengan pasukan Khalifah ‘Ali bin Abu Thalib. Dalam setiap pertempuran pun mereka selalu bersamanya. Ketika terjadi pertempuran Shiffin (tahun 38 H) antara pasukan Khalifah ‘Ali bin Abu Thalib dengan pasukan shahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan dari penduduk Syam yang terjadi selama berbulan-bulan -dikarenakan ijtihad mereka masing-masing-, ditempuhlah proses tahkim (pengiriman seorang utusan dari kedua pihak guna membicarakan solusi terbaik bagi masalah yang sedang mereka alami)
Orang-orang Khawarij tidak menyetujuinya, dengan alasan bahwa hukum itu hanya milik Allah dan tidak boleh berhukum kepada manusia. Demikian pula tatkala dalam naskah ajakan tahkim dari ‘Ali bin Abu Thalib termaktub: “Inilah yang diputuskan oleh Amirul Mukminin ‘Ali atas Mu’awiyah…” lalu penduduk Syam tidak setuju dengan mengatakan, “Tulislah namanya dan nama ayahnya,” (tanpa ada penyebutan Amirul Mukminin). ‘Ali pun menyetujuinya, namun orang-orang Khawarij pun mengingkari persetujuan itu.
Setelah disepakati utusan masing-masing pihak yaitu Abu Musa Al-Asy’ari dari pihak ‘Ali dan ‘Amr bin Al-‘Ash dari pihak Mu’awiyah, dan disepakati pula waktu dan tempatnya (Dumatul Jandal), maka berpisahlah dua pasukan tersebut. Mu’awiyah kembali ke Syam dan ‘Ali kembali ke Kufah, sedangkan kelompok Khawarij dengan jumlah 8.000 orang atau lebih dari 10.000 orang, atau 6.000 orang, memisahkan diri dari ‘Ali dan bermarkas di daerah Harura yang tidak jauh dari Kufah.
Pimpinan mereka saat itu adalah Abdullah bin Kawwa’ Al-Yasykuri dan Syabats At-Tamimi. Maka ‘Ali mengutus shahabat Abdullah bin ‘Abbas ct untuk berdialog dengan mereka dan banyak dari mereka yang rujuk. Lalu , ‘Ali t keluar menemui mereka, maka mereka pun akhirnya menaati ‘Ali t dan ikut bersamanya ke Kufah, bersama dua orang pimpinan mereka. Kemudian mereka membuat isu bahwa ‘Ali t telah bertaubat dari masalah tahkim, karena itulah mereka kembali bersamanya. Sampailah isu ini kepada ‘Ali t, lalu ia berkhutbah dan mengingkarinya. Maka mereka pun saling berteriak dari bagian samping masjid (dengan mengatakan): “Tiada hukum kecuali untuk Allah.” ‘Ali t pun menjawab: “Kalimat yang haq (benar) namun yang dimaukan dengannya adalah kebatilan!”
Kemudian ‘Ali t berkata kepada mereka: “Hak kalian yang harus kami penuhi ada tiga: Kami tidak akan melarang kalian masuk masjid, tidak akan melarang kalian dari rizki fai’, dan tidak akan pula memulai penyerangan selama kalian tidak berbuat kerusakan.”
Secara berangsur-angsur pengikut Khawarij akhirnya keluar dari Kufah dan berkumpul di daerah Al-Madain. ‘Ali t senantiasa mengirim utusan agar mereka rujuk. Namun mereka tetap bersikeras menolaknya hingga ‘Ali t mau bersaksi atas kekafiran dirinya dikarenakan masalah tahkim atau bertaubat. Lalu ‘Ali t mengirim utusan lagi (untuk mengingatkan mereka) namun justru utusan tersebut hendak mereka bunuh dan mereka bersepakat bahwa yang tidak berkeyakinan dengan aqidah mereka maka dia kafir, halal darah dan keluarganya.
Aksi mereka kemudian berlanjut dalam bentuk fisik, yaitu menghadang dan membunuh siapa saja dari kaum muslimin yang melewati daerah mereka. Ketika Abdullah bin Khabbab bin Al-Art -yang saat itu menjabat sebagai salah seorang gubernur ‘Ali bin Abu Thalib t- berjalan melewati daerah kekuasaan Khawarij bersama budak wanitanya yang tengah hamil, maka mereka membunuhnya dan merobek perut budak wanitanya untuk mengeluarkan anak dari perutnya.
Sampailah berita ini kepada ‘Ali t, maka ia pun keluar untuk memerangi mereka bersama pasukan yang sebelumnya dipersiapkan ke Syam. Dan akhirnya mereka berhasil ditumpas di daerah Nahrawan beserta para gembong mereka seperti Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi, Zaid bin Hishn At-Tha’i, dan Harqush bin Zuhair As-Sa’di. Tidak selamat dari mereka kecuali kurang dari 10 orang dan tidaklah terbunuh dari pasukan ‘Ali kecuali sekitar 10 orang.
Sisa-sisa Khawarij ini akhirnya bergabung dengan simpatisan madzhab mereka dan sembunyi-sembunyi semasa kepemimpinan ‘Ali t, hingga salah seorang dari mereka yang bernama Abdurrahman bin Muljim berhasil membunuh ‘Ali t yang saat itu sedang melakukan shalat Shubuh. (diringkas dari Fathul Bari karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani t, 12/296-298, dengan beberapa tambahan dari Al-Bidayah wan Nihayah, karya Al-Hafidz Ibnu Katsir, 7/281)
Kafirkah Khawarij?
Kafirnya Khawarij masih diperselisihkan di kalangan ulama. Al-Hafidz Ibnu Hajar t berkata: “Sebagian besar ahli ushul dari Ahlus Sunnah berpendapat bahwasanya Khawarij adalah orang-orang fasiq, dan hukum Islam berlaku bagi mereka. Hal ini dikarenakan mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan selalu melaksanakan rukun-rukun Islam. Mereka dihukumi fasiq, karena pengkafiran mereka terhadap kaum muslimin berdasarkan takwil (penafsiran) yang salah, yang akhirnya menjerumuskan mereka kepada keyakinan akan halalnya darah, dan harta orang-orang yang bertentangan dengan mereka, serta persaksian atas mereka dengan kekufuran dan kesyirikan.” (Fathul Bari, 12/314)
Al-Imam Al-Khaththabi t berkata: “Ulama kaum muslimin telah bersepakat bahwasanya Khawarij dengan segala kesesatannya tergolong firqah dari firqah-firqah muslimin, boleh menikahi mereka, dan memakan sembelihan mereka, dan mereka tidak dikafirkan selama masih berpegang dengan pokok keislaman.” (Fathul Bari, 12/314)
Al-Imam Ibnu Baththal t berkata: “Jumhur ulama berpendapat bahwasanya Khawarij tidak keluar dari kumpulan kaum muslimin.” (Fathul Bari, 12/314)
Sebab-sebab yang Mengantarkan Khawarij kepada Kesesatan
Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Yang demikian itu disebabkan kebodohan mereka tentang agama Islam, bersamaan dengan wara’, ibadah dan kesungguhan mereka. Namun tatkala semua itu (wara’, ibadah, dan kesungguhan) tidak berdasarkan ilmu yang benar, akhirnya menjadi bencana bagi mereka.” (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hal. 35)
Demikan pula, mereka enggan untuk mengambil pemahaman para shahabat (As-Salafush Shalih) dalam memahami masalah-masalah din ini, sehingga terjerumuslah mereka ke dalam kesesatan.
Anjuran Memerangi Mereka [2]
Rasulullah r bersabda:
فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ فَإِنَّ فِى قَتْلِهِمْ أَجْرًا لِمَنْ قَتَلَهُمْ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Maka jika kalian mendapati mereka (Khawarij-pen), perangilah mereka! Karena sesunggguhnya orang-orang yang memerangi mereka akan mendapat pahala di sisi Allah pada hari kiamat.” (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, 2/747, dari shahabat ‘Ali bin Abu Thalib z).
Beliau r juga bersabda:
لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ
“Jika aku mendapati mereka (Khawarij), benar-benar aku akan perangi seperti memerangi kaum ‘Aad.” (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, 2/742, dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri z)
Dalam lafadz yang lain beliau r bersabda:
لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ ثَمُودَ
“Jika aku mendapati mereka, benar-benar aku akan perangi seperti memerangi kaum Tsamud.” (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, 2/742, dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri z)
Al-Imam Ibnu Hubairah berkata: “Memerangi Khawarij lebih utama dari memerangi orang-orang musyrikin. Hikmahnya, memerangi mereka merupakan penjagaan terhadap ‘modal’ Islam (kemurnian Islam -pen), sedangkan memerangi orang-orang musyrikin merupakan ‘pencarian laba’, dan penjagaan modal tentu lebih utama.” (Fathul Bari, 12/315)
Samakah Musuh-musuh ‘Ali bin Abu Thalib dalam Perang Jamal dan Shiffin dengan Khawarij?
Pendapat yang menyatakan bahwa musuh-musuh ‘Ali bin Abu Thalib z sama dengan Khawarij ini tentunya tidak benar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Adapun jumhur ahli ilmu, mereka membedakan antara orang-orang Khawarij dengan Ahlul Jamal dan Shiffin, serta selain mereka yang terhitung sebagai penentang dengan berdasarkan ijtihad. Inilah yang ma’ruf dari para shahabat, keseluruhan ahlul hadits, fuqaha, dan mutakallimin. Di atas pemahaman inilah, nash-nash mayoritas para imam dan pengikut mereka dari murid-murid Malik, Asy-Syafi’i, dan selain mereka.” (Majmu’ Fatawa, 35/54)
Nasehat dan Peringatan
Madzhab Khawarij ini sesungguhnya terus berkembang (di dalam merusak aqidah umat) seiring dengan bergulirnya waktu. Oleh karena itu Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menasehatkan: “Wajib bagi kaum muslimin di setiap masa, jika terbukti telah mendapati madzhab yang jahat ini untuk mengatasinya dengan dakwah dan penjelasan kepada umat tentangnya. Jika mereka (Khawarij) tidak mengindahkannya, hendaknya kaum muslimin memerangi mereka dalam rangka membentengi umat dari kesesatan mereka.” (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hal. 37)
Wallahu a’lam bish shawab.
Sumber: Majalah Asy-Syari’ah Vol I/No. 04/Desember 2003/Syawwal 1424 H (http://www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=138)
[1] Ahlul Jamal adalah Ummul Mukminin ‘Aisyah, Az-Zubair bin Al-‘Awwam, Thalhah bin ‘Ubaidillah, dan orang-orang yang bersama mereka yang menuntut dihukumnya para pembunuh ‘Utsman bin ‘Affan t, setelah mereka membai’at ‘Ali bin Abu Thalib t. (pen)
[2] Adapun memerangi mereka bukanlah urursan perseorangan atau kelompok tertentu namun di bawah naungan pemerintah, sebagaimana dijelaskan para ulama tentang aturannya dalam buku-buku fiqih.
Tulisan 2 : Ciri-Ciri Neo-Khawarij dari Keterangan dan Fatwa Ulama Masa Kini
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله صلى الله عليه وسلم وبعد
Dari shahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Aku mendengar Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
سيخرج في آخر الزمان قوم أحداث الأسنان، سفهاء الأحلام، يقولون من خير قول البرية، يقرأون القرآن لا يجاوز حناجرهم، يمرقون من الدين كما يمرق السهم من الرمية، فإذا لقيتموهم فاقتلوهم فإن في قتلهم أجراً لمن قتلهم عند الله يوم القيامة.
“Akan keluar pada akhir zaman nanti sekelompok orang yang mereka masih muda-muda umurnya dan pendek akalnya. Mereka mengatakan sebaik-baik perkataan manusia. Mereka membaca Al-Quran, (akan tetapi) tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka melesat keluar dari batas-batas agama ini seperti melesatnya anak panah keluar dari tubuh buruannya. Maka apabila kalian mendapati mereka perangilah mereka karena sesungguhnya orang-orang yang memerangi mereka akan mendapat pahala di sisi Allah pada hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Kaum Khawarij tidak diketahui oleh kebanyakan manusia karena ahlul bid’ah dengan ciri-ciri mereka yang umum tidak mampu dibedakan oleh kebanyakan manusia kecuali jika mereka (kaum Khawarij tersebut) mempunyai kekuasaan dan kekuatan atau hidup mereka terpisah dengan orang-orang yang menyelisihinya[1]. Syaikhul Islam berkata di dalam Kitab An-Nubuwat (I/139):
“Dan begitulah Khawarij ketika mereka menjadi kelompok yang suka mengangkat senjata dan berperang, maka tampaklah penyelisihan mereka terhadap jama’ah kaum muslimin manakala mereka benar-benar memerangi umat Islam. Adapun pada masa sekarang, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.”
Kaum Khawarij memiliki ciri-ciri yang bisa dikenali, akan tetapi sebaiknya perlu diketahui bahwa sebagian dari ciri-ciri tersebut diketahui setelah adanya upaya penelitian terlebih dahulu dan merujuk kepada perkataan ulama, dan tidak diharuskan pada setiap ciri yang disebutkan, mereka pasti mengakuinya. Syaikhul Islam berkata sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa (XIII/49):
“Dan pemikiran Khawarij sesungguhnya kita bisa mengetahuinya dari menukil ucapan manusia tentang mereka, dan kita tidak bisa mencukupkan dengan kitab yang ditulis tentang Khawarij tersebut.”
Bahkan seorang peneliti akan mendapatkan bahwasanya Khawarij di masa-masa terdahulu yang telah disepakati atas kesesatannya, terkadang menyulitkan manusia di zamannya (untuk mengenali) sesuatu (pemikiran) yang mereka ada-adakan, lalu bagaimana dengan orang-orang yang menampakkan dan menisbahkan diri mereka kepada sunnah pada masa sekarang, padahal mereka adalah Khawarij, disadari ataupun tidak.
Saudaraku yang mulia, berikut sebagian ciri mereka sebagaimana yang telah difatwakan ulama masa kini:
1. Berprinsip khuruj (menentang) pemerintah yang sah, tidak mau mendengar dan taat kepada mereka dalam hal kebaikan.
Samahatul Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya:
“Sebagian saudara-saudara kita -semoga Allah memberikan hidayah kepada mereka- tidak meyakini tentang wajibnya berbai’at kepada pemerintah yang sah di negara ini, bagaimana nasihat anda?”
Beliau rahimahullah menjawab: “Kami menasihatkan kepada semuanya untuk tunduk, mendengar, dan taat -sebagaimana yang telah lalu- dan mewaspadai dari sikap (usaha) untuk memecah belah persatuan dan keluar dari ketaatan, serta menentang pemerintah yang sah, karena ini merupakan bentuk kemungkaran yang besar. Inilah prinsip kaum Khawarij. Dan prinsip Khawarij ini merupakan prinsip beragamanya orang-orang Mu’tazilah. Keluar dari ketaatan kepada pemerintah yang sah serta tidak mau mendengar dan taat kepada mereka dalam hal-hal yang bukan maksiat adalah suatu kesalahan yang besar dan menyelisihi perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mendengar dan taat dalam hal yang ma’ruf (baik), beliau bersabda:
من رأى من أميرة شيئا من معصية الله فليكره ما يأتي من معصية الله ولا ينزعن يداً من طاعة
“Barangsiapa yang melihat pada diri pemimpinnya suatu perbuatan maksiat kepada Allah, maka bencilah perbuatan maksiatnya kepada Allah tersebut, dan jangan menarik ketaatan kepadanya.”
Dan beliau juga bersabda:
من أتاكم وأمركم جميع يريد أن يريد أن يشق عصاكم ويفرق جماعتكم فاضربوا عنقه
“Jika ada seseorang yang datang kepada kalian, sementara kalian dalam keadaan bersatu dalam suatu kepemimpinan, dan dia menginginkan untuk memecah belah persatuan kalian, maka penggallah leher orang itu.”
Sehingga tidak boleh bagi seorang pun untuk memecah belah persatuan dan menentang pemerintah yang sah atau mengajak kepada itu semua, karena ini merupakan salah satu bentuk kemungkaran yang terbesar dan termasuk sebab terbesar timbulnya fitnah dan permusuhan. Orang yang menyeru kepada perkara ini -yakni prinsip beragamanya Khawarij dan perpecahan jama’ah muslimin- hukumannya adalah dibunuh[1] karena dia telah memecah belah persatuan dan menceraiberaikan jama’ah kaum muslimin. Maka wajib untuk mewaspadai sikap dan pemikiran seperti ini dengan kewaspadaan yang maksimal. Dan wajib bagi pemerintah jika mengetahui seseorang yang mengajak kepada pemahaman Khawarij ini untuk menangkap dan menghukumnya agar tidak timbul fitnah.” [Diambil dari kaset dengan judul “Hukum Bagi Pembawa Pemahaman Sesat ke Negari Al-Haramain]
Beliau (Asy-Syaikh bin Baz) rahimahullah juga berkata:
"Dan negara ini (yakni Saudi Arabia) alhamdulillah tidak ada padanya sesuatu yang bisa dijadikan alasan (bagi rakyatnya) untuk keluar dari ketaatan kepada pemerintahnya. Dan sesungguhnya yang membolehkan untuk keluar dan menentang pemerintah disebabkan kemaksiatan yang mereka perbuat hanyalah kaum Khawarij yang mereka itu mengkafirkan kaum muslimin karena dosa-dosa yang mereka lakukan, dan mereka pun memerangi orang Islam dan membiarkan para penyembah berhala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda tentang mereka:
يمرقون من الدين كما يمرق السهم من الرمية
“Mereka keluar dari batas-batas agama ini sebagaimana keluarnya anak panah yang melesat menembus tubuh buruannya.”
Dan beliau juga bersabda:
أينما لقيتموهم فاقتلوهم فإن في قتلهم أجراً لمن قتلهم عند الله يوم القيامة
“Di manapun kalian mendapati mereka, maka perangilah mereka, karena sesungguhnya orang-orang yang memerangi mereka akan mendapat pahala di sisi Allah pada hari kiamat.” [Muttafaqun ‘Alaihi]
Dan hadits-hadits yang menyebutkan tentang mereka sangat banyak dan telah diketahui. [Majmu’ Fatawa Samahatisy Syaikh bin Baz (IV/91)]
Muhadditsul ‘Ashr Al-Imam Al-Albani rahimahullahu ta’ala ketika menjelaskan tentang hadits:
بايعنا رسول الله صلى الله عليه وسلم على السمع والطاعة
“Kami telah berbai’at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk selalu mendengar dan taat kepada pemimpin.”
… setelah membantah kaum Khawarij, beliau berkata:
“Dan yang dimaksud adalah bahwasanya mereka (kaum Khawarij) telah menghidupkan sunnah (memberikan contoh dalam agama ini) dengan contoh yang jelek dan menjadikan sikap menentang (keluar dari ketaatan) terhadap pemerintah kaum muslimin sebagai prinsip beragama sepanjang zaman. Telah datang peringatan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kejelekan mereka dalam hadits-haditsnya yang banyak, di antaranya adalah sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:
الخوارج كلاب النار
“Kaum Khawarij adalah anjing-anjing neraka.”
Mereka (kaum Khawarij) tidak melihat pada diri pemimpin kaum muslimin kekufuran yang nyata, akan tetapi mereka hanya melihat yang lebih ringan dari itu berupa perbuatan zhalim, fujur, dan kefasikan.
Dan pada masa kini -sejarah akan kembali terulang sebagaimana yang dikatakan-, telah tumbuh di kalangan sebagian pemuda muslim yang belum memahami agama ini kecuali hanya sedikit saja tentang pemahaman bahwasanya pemerintah tidak berhukum dengan hukum yang telah diturunkan oleh Allah kecuali hanya sedikit saja. Kemudian mereka memandang perlunya keluar dari ketaatan terhadap pemerintah tanpa bermusyawarah (meminta bimbingan) terlebih dahulu dengan ahlul ‘ilmi wal fiqhi wal hikmah di antara mereka, bahkan mereka penuhi kepala-kepala mereka dengan fitnah yang membutakan mata hati, mereka tumpahkan darah di negeri Mesir, Syria, dan Aljazair, yang sebelum itu mereka juga kobarkan fitnah di Al-Haram Al-Makki. Sehingga dengan perbuatan yang mereka lakukan ini, mereka telah menyelisihi hadits shahih yang telah diamalkan oleh kaum muslimin sejak zaman dahulu hingga sekarang kecuali kaum Khawarij.” [Lihat As-Silsilah Ash-Shaihah (VII/bagian ke-2, hal. 1240-1243)]
Sumber: http://sahab.net/forums/showthread.php?t=375822
[1] Dan tentunya yang melakukan adalah pemerintah muslimin, bukan orang per orang sebagaimana yang masyhur dalam manhaj ahlussunnah.
2. Mengkafirkan pelaku dosa besar
Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz pernah ditanya:
“Kita tahu bahwasanya pernyataan ini merupakan salah satu di antara prinsip-prinsip dasar Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, akan tetapi -yang amat disayangkan- di sana ada dari kalangan anak-anak Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang memandang ini adalah suatu pemikiran yang bisa memecah belah persatuan, ….. dan pernyataan ini pun telah diserukan. Oleh karenanya, mereka mengajak para pemuda untuk melakukan perubahan dengan cara kekerasan.”
Beliau menjawab:
“Ini adalah kekeliruan orang yang mengatakannya, dan menunjukkan minimnya pemahaman dia, karena sesungguhnya mereka tidak memahami as-sunnah dan tidak mengetahuinya sebagaimana mestinya. Sesungguhnya yang mendorong sikap mereka yang seperti ini adalah semangat dan kecemburuan yang tinggi untuk menghilangkan kemungkaran yang terjadi disebabkan penyelisihan terhadap syari’at namun tanpa didasari dengan bimbingan ilmu yang benar sebagaimana yang menimpa kaum Khawarij dan Mu’tazilah.
Kecintaan kepada al-haq dan kecemburuan terhadapnya juga telah membawa mereka untuk terjatuh kepada kebatilan sehingga sampai mengkafirkan kaum muslimin hanya disebabkan perbuatan maksiat yang mereka kerjakan, sebagaimana ini yang dilakukan oleh kaum Khawarij. Atau menyatakan mereka (kaum muslimin) akan kekal di dalam neraka disebabkan perbuatan maksiat yang mereka lakukan, sebagaimana ini yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah.
Khawarij mengkafirkan kaum muslimin disebabkan maksiat yang mereka lakukan dan menyatakan mereka akan kekal di dalam neraka. Adapun Mu’tazilah sepakat dengan mereka (kaum Khawaraij) dalam hal di mana tempat kembalinya pelaku maksiat, yakni bahwasanya mereka kekal di dalam neraka. Hanya saja mereka (Mu’tazilah) mengatakan bahwa pelaku maksiat selama di dunia ini berada dalam manzilah bainal manzilatain (suatu keadaan di antara dua keadaan, yakni suatu keadaan antara muslim dan kafir). dan ini semua adalah pemikiran yang sesat.
Dan yang menjadi keyakinan Ahlus sunnah -dan inilah yang benar- adalah bahwa pelaku kemaksiatan tidaklah dikafirkan disebabkan maksiat yang dia kerjakan selama dia belum berkeyakinan halalnya maksiat tersebut. Jika dia berzina, maka dia tidak dikafirkan, begitu pula jika dia mencuri atau meminum minuman keras, maka tidak dikafirkan, akan tetapi dia adalah termasuk pelaku maksiat yang lemah imannya, dan orang fasik yang harus ditegakkan padanya hukum hadd. Dan dia tidak dikafirkan disebabkan perbuatan-perbuatan tersebut kecuali jika dia menganggap halalnya perbuatan maksiat tadi dan mengatakan: ’sesungguhnya perbuatan-perbuatan maksiat tersebut halal hukumnya’.
Apa yang diyakini oleh Khawarij adalah batil dan pengkafiran mereka terhadap manusia adalah perbuatan batil pula, oleh karena itu Nabi bersabda tentang mereka (kaum Khawarij):
إنهم يمرقون من الدين مروق السهم من الرميه ثم لا يعودون إليه يقاتلون أهل الإسلام ويدعون أهل الأوثان.
“Sesungguhnya mereka keluar dari batas-batas agama sebagaimana melesatnya anak panah menembus tubuh buruannya kemudian tidak kembali padanya, mereka memerangi orang Islam dan membiarkan penyembah berhala.”
Ini adalah keadaan Khawarij disebabkan sikap mereka yang berlebihan, kebodohan, dan kesesatan mereka. Sehingga tidak layak bagi seorang pemuda dan yang selainnya untuk mengikuti jejak Khawarij dan Mu’tazilah ini, bahkan wajib atas mereka untuk berjalan di atas madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berdasarkan dalil-dalil yang syar’i, dan tunduk kepada dalil-dalil sebagaimana yang datang padanya.
Dan tidak boleh bagi mereka (para pemuda) untuk keluar dari ketaatan kepada penguasa disebabkan maksiat yang mereka kerjakan, bahkan yang wajib atas mereka adalah menyampaikan nasihat melalui surat maupun berdialog langsung dengan cara yang baik dan penuh hikmah, atau dengan perdebatan dengan cara yang baik pula sampai tercapai tujuan yang diinginkan, sehingga kejelekan yang ada padanya bisa terminimalisir atau bahkan hilang sama sekali dan kebaikan padanya akan semakin bertambah.
Demikianlah sebagaimana telah datang dalil-dalil tentang diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah ‘azza wajalla berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ.
“Maka dengan Rahmat Allah lah engkau bisa berlaku lemah lembut terhadap mereka dan seandainya engkau berlaku keras dan kasar terhadap mereka tentulah mereka akan menjauhkan diri darimu.” (Ali ‘Imran: 159)
Maka yang wajib bagi orang yang ingin mengubah kemungkaran karena Allah dan bagi orang yang mengajak kepada petunjuk yang benar, agar selalu berpegang teguh dengan batas-batas syar’i, selalu menasehati para penguasanya dengan perkataan yang baik dan penuh hikmah, serta dengan cara/metode yang baik sehingga bertambahlah kebaikan padanya dan terkurangilah kejelakan darinya, bertambah pula orang-orang yang mengajak kepada kebaikan (da’i ilallah) sehingga semakin bersemangat untuk selalu mengajak manusia kepada kebaikan dengan cara yang benar, bukan semangat yang didasari dengan sikap keras dan kasar, serta menasehati penguasa dengan segala macam bentuk nasehat yang baik dan penuh hormat disertai dengan do’a kebaikan bagi mereka agar Allah memberi petunjuk dan taufik kepada mereka dan membantu mereka dalam menjalankan kebajikan dan meninggalkan maksiat yang biasa dilakukannya, serta membantu untuk selalu menegakkan kebenaran.
Begitulah selayaknya seorang yang beriman dalam berdo’a kepada Allah dan bersungguh-sungguh dalam do’anya tersebut agar Allah memberi petunjuk kepada penguasa, dan agar Allah membantu mereka dalam meninggalkan kebatilan dan menegakkan kebenaran dengan cara yang baik. Menyebutkan kebaikan mereka sehingga dengannya akan menambah semangat dalam mengajak kepada kebaikan dengan cara yang baik, bukan dengan cara yang keras lagi kasar. Sehingga dengan itu semua akan bertambah kebaikan dan terkuranginya kejelekan. Dan hendaknya seorang mukmin juga berdo’a agar Allah memberi petunjuk kepada mereka untuk menjalankan kebaikan dan istiqamah di atasnya, sehingga terciptalah akhir yang baik bagi semuanya.
[Dinukil dari kitab Al-Ma’lum Min Wajibil ‘Ilaqah bainal Hakim Wal Mahkum]
Sumber: http://sahab.net/forums/showthread.php?t=375822
Beberapa Ciri-Ciri Lain Kaum Khawarij
Wahai sekalian muslimin, dari apa yang telah lalu dengan adanya penjelasan perjalanan sejarah generasi awal kaum khawarij ini, dan setelah pula diadakannya penelitian, maka kita mendapati bahwa mereka memiliki beberapa ciri-ciri dan sifat-sifat serta tanda-tanda yang menunjukkan dengan jelas, yang itu semua kita dapati melalui khutbah-khutbah dan ceramah-ceramah mereka, statemen-statemen dan fatwa-fatwa mereka, serta cara ibadah dan tindak-tanduk mereka.
Maka dengan itu kami mencoba untuk menyebutkannya secara gamblang namun bersifat global, walaupun ciri-ciri tersebut agak sedikit berbeda (mengalami perkembangan) dari masa ke masa dan dari generasi ke generasi, antara lain:
- Mereka adalah para ‘ulama penguasa. 58)
- Mereka adalah para ‘ulama su’ (jelek), para ‘ulama yang menginginkan kursi dan jabatan, ‘ulama yang hidup serba comfortable. 59)
- Mereka adalah para ‘ulama urusan haidh dan nifas.
- Mereka adalah para ‘ulama yang tidak mengetahui kecuali urusan ru’yatul hilal dan tidak mengerti sama sekali tentang realita umat. 60)
- Mereka adalah ‘ulama-’ulama yang mendapat tekanan dari negara, atau dari majelis Hai`ah Kibaril ‘Ulama` atau tekanan-tekanan dari badan-badan intelegen dan yang lainnya.61)
- Mereka adalah para ‘ulama yang tidak membuka pintu hatinya untuk para aktivis muda.
- ….dst 62).
____________________________________________
58)
Muhammad Surur Zainal ‘Abidin -yang dia gerah hidup di negeri Islam bersama-sama muslimin, dan lebih memilih ‘hijrah’ ke negeri kafir Inggris dan hidup bersama-sama orang-orang kafir- dia berkata tentang para ‘ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di Biladil Haram (yaitu Saudi Arabia):
“Dan jenis lain adalah orang-orang yang berbuat tanpa ada rasa takut, yang selalu menyesuaikan sikap-sikapnya dengan sikap para tuannya (pemerintah Saudi)…. Ketika para tuan ini meminta bantuan (pasukan) dari Amerika (untuk menghadapi Saddam Husain yang sosialis, pent), dengan sigap para budak tersebut (para ‘ulama) mempersiapkan dalil-dalil yang membolehkan perbuatan itu, dan ketika para tuan tersebut berseteru dengan negeri Iran yang berpaham Rafidhah, serta merta para budak (para ‘ulama) tersebut menyebutkan kejelekan-kejelekan Rafidhah…” (Majalah As Sunnah, edisi 23 hal. 29-30).
Usamah bin Laden berkata: “… bahwa lembaga seperti ini dan yang semisalnya mengeluarkan fatwa-fatwa yang memberikan legimitasi akan perbuatan penguasa tadi dan mereka menyebutkan sebagai ‘Waliyul Amr’, padahal dia bukanlah wali (pemimpin) kaum muslimin, maka sudah selayaknya waspada dalam hal itu.
Barangkali, orangpun terheran-heran; bagaimana mungkin masuk di akal, bahwa seorang Syaikh Fulan atau syaikh itu dengan banyaknya ilmu yang ia miliki dan tuanya usia dia, mungkinkah ia akan menjual dînnya dengan harta duniawi yang tak seberapa?!
… Hal ini teramat penting untuk diketahui, agar tergambar dalam benak kalian bahwa pondasi bangunan Majelis Kibârul ‘Ulamâ’ itu singkron dengan istana Kerajaan Saudi, …, maka akankah kamu pergi menanyakan kepada lelaki yang menjadi pegawai dan menerima gaji dari kerajaan?! …, janganlah Anda pergi bertanya kepada pegawai kerajaan tentang hukum kerajaan!”. (Nasehat dan Wasiat Kepada Umat Islam Dari Syaikh Mujahid Usâmah bin Lâden, hal. 64, 69-70).
Abu Muhammad Al-Maqdisi
Ketika berbicara tentang para ‘ulama di Saudi ‘Arabia, terkhusus Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi, Abu Muhammad Al-Maqdisi berkata: “Terakhir, saya mengingatkan dan memperingatkan Akhi Muwahhîd agar jangan sekali-kali terpedaya oleh para ulama pemerintah yang pura-pura tidak tahu terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya, berupa kekafiran-kekafiran serta kebobrokan-kebobrokan keluarga Su’ud dan pemerintahnya. Demi Allah, jangan sampai Anda sekalian terpedaya dengan ijazah-ijazah, gelar-gelar, jenggot-jenggot, dan sorban-sorban mereka.” (hal. 301)
Dia juga berkata: “Perhatikanlah, bagaimana para syaikh ada di setiap tempat. Inilah Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Ibnu Utsaimin, pegawai negara, dan mereka yang membela-bela dan melindungi negara ini. … .” (hal. 303, cetak tebal pada dua penukilan di atas dari kami)
59) Contohnya adalah ucapan Imam Samudra di bukunya “Aku Melawan Teroris!” : “Berbeda dengan mereka yang hidup di lingkungan yang jauh dari desingan peluru, yang sehari-harinya berada di tengah-tengah keadaan yang serba wah, serba mapan, serba comfortable. Hidup di tengah kerumunan para penggemarnya, penuh decak kagum dan pujian, penuh fasilitas dan seabreg kemudahan lainnya. Per-bedaan gaya hidup akan menimbulkan pemahaman sikap yang berbeda. Pemahaman yang berbeda akan melahirkan pertimbangan dan cara pandang yang berbeda. Selanjutnya, akan melahirkan fatwa yang berbeda pula. Dus, dalam kondisi semacam ini, fatwa siapakah yang lebih mendekati kebenaran?” [Aku…: hal 68-69]
60) Salman Al-’Audah dalam pernyataannya ketika berbicara tentang Hai‘ah Kibaril ‘Ulama‘: “Dan di negeri-negeri Islam pada masa kini, terdapat berbagai lembaga yang banyak sekali namun tidak tersisa lagi perkara yang mereka urusi dalam agama ini -padahal lembaga tersebut bisa jadi sebagai penanggung jawab urusan fatwa atau bahkan menangani berbagai urusan keislaman- kecuali sekadar bertugas mengumumkan masuk atau keluarnya bulan Ramadhan … .” (dinukil dari kaset Waqafat Ma’a Imami Daril Hijrah. Lihat Al-Quthbiyyah hal. 112)
Dalam kesempatan lain ia berkata -dalam upayanya melecehkan para ‘ulama-: “… peristiwa ini pun (peristiwa Perang Teluk) mempertegas bahwasanya mereka (para ‘ulama) tidak memiliki kapasitas untuk menghadapi berbagai macam tragedi besar semacam ini, dan bahkan peristiwa ini menguak tentang tidak adanya referensi/rujukan ilmiah yang benar dan bisa dipercaya bagi kaum muslimin, yang memiliki kemampuan untuk membatasi ruang lingkup perselisihan yang terjadi atau mampu memberikan solusi (jalan keluar) yang matang dan benar. … .” (wawancara yang dimuat dalam majalah Al-Ishlah Emirat edisi 223, hal. 11. Lihat Al-Quthbiyyah hal. 112).
Hal yang sama dilakukan pula oleh Safar Al-Hawali dalam kitabnya yang diberi judul Kasyful Ghummah ‘an ‘Ulama-il Ummah di waktu lain diberi judul Haqa`iq Haula Azmatil Khalij, dan dikemudian hari diberi judul Wa’d Kissinjer.
Sebagai contoh, lihat ucapan Muhammad Al-Mis’ari pada halaman 51.
Contohnya juga ucapan dari Imam Samudra: “… Dewan Fatwa Saudi Arabia yang -dengan segala hormat- kurang mengerti trik-trik politik…”
61) Contohnya adalah pernyataan Usamah bin Laden yang dengan dusta menyatakan bahwa Ha‘iah Kibaril ‘Ulama‘ mendapatkan tekanan dari pemerintah Saudi ketika mengeluarkan fatwa tentang bolehnya meminta bantuan kepada tentara Multinasional dalam kasus teluk. Dia nisbahkan kedustaan ini pada Asy-Syaikh Al ‘Utsaimin. Sementara Asy Syaikh Al-’Utsaimin sendiri sebagai seorang ‘ulama ternama di masa kini, membuktikan dengan fatwa-fatwanya, dan sikap-sikap beliau, bahwa pernyataan Usamah bin Laden itu adalah dusta atas nama beliau dan para ‘ulama.
Begitulah kebiasaan kaum Khawarij yang sering mencatut fatwa-fatwa para ‘ulama Ahlus Sunnah, serta memanipulasinya untuk mengelabui umat. untuk lengkapnya para pembaca bisa melihatnya pada buku kami yang berjudul “Mereka Adalah Teroris”Pustaka Qaulan Sadida halaman 486-497 (cet. II) atau halaman 473-484 (cet. I) terbitan .
62) Tak kalah kejamnya adalah ucapan salah satu tokoh besar mereka sekaligus dedengkot kelompok sempalan Hizbut Tahrir (HT), yang bernama Muhammad Al-Mis’ari, terhadap salah satu ‘ulama besar Ahlus Sunnah masa kini, yang telah menghabiskan hidup, jiwa, dan hartanya untuk dakwah dan tarbiyyah umat Islam, yaitu Asy-Syaikh Al-‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin Baz . Al-Mis’ari menyatakan dalam selebaran yang dikeluarkan Lajnah Ad-Difa’ anil Huquqisy Syar’iyyah, dan dia juga sebagai Juru Bicara resminya, sebagaimana telah kami kemukakan pada halaman 51.
Dari Mengidentifikasi Neo-Khawarij … hal. 120-124
Maka dengan itu kami mencoba untuk menyebutkannya secara gamblang namun bersifat global, walaupun ciri-ciri tersebut agak sedikit berbeda (mengalami perkembangan) dari masa ke masa dan dari generasi ke generasi, antara lain:
Beberapa Bentuk Ungkapan Caci Maki Neo-Khawarij Terhadap Para ‘Ulama
5. Kaum neo-Khawarij juga mencaci-maki para ‘ulama Ahlus Sunnah As-Salafiyyin, dengan ungkapan-ungkapan yang sangat jelek dan keji. Seperti pernyataan mereka:- Mereka adalah para ‘ulama penguasa. 58)
- Mereka adalah para ‘ulama su’ (jelek), para ‘ulama yang menginginkan kursi dan jabatan, ‘ulama yang hidup serba comfortable. 59)
- Mereka adalah para ‘ulama urusan haidh dan nifas.
- Mereka adalah para ‘ulama yang tidak mengetahui kecuali urusan ru’yatul hilal dan tidak mengerti sama sekali tentang realita umat. 60)
- Mereka adalah ‘ulama-’ulama yang mendapat tekanan dari negara, atau dari majelis Hai`ah Kibaril ‘Ulama` atau tekanan-tekanan dari badan-badan intelegen dan yang lainnya.61)
- Mereka adalah para ‘ulama yang tidak membuka pintu hatinya untuk para aktivis muda.
- ….dst 62).
____________________________________________
58)
Muhammad Surur Zainal ‘Abidin -yang dia gerah hidup di negeri Islam bersama-sama muslimin, dan lebih memilih ‘hijrah’ ke negeri kafir Inggris dan hidup bersama-sama orang-orang kafir- dia berkata tentang para ‘ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di Biladil Haram (yaitu Saudi Arabia):
“Dan jenis lain adalah orang-orang yang berbuat tanpa ada rasa takut, yang selalu menyesuaikan sikap-sikapnya dengan sikap para tuannya (pemerintah Saudi)…. Ketika para tuan ini meminta bantuan (pasukan) dari Amerika (untuk menghadapi Saddam Husain yang sosialis, pent), dengan sigap para budak tersebut (para ‘ulama) mempersiapkan dalil-dalil yang membolehkan perbuatan itu, dan ketika para tuan tersebut berseteru dengan negeri Iran yang berpaham Rafidhah, serta merta para budak (para ‘ulama) tersebut menyebutkan kejelekan-kejelekan Rafidhah…” (Majalah As Sunnah, edisi 23 hal. 29-30).
Usamah bin Laden berkata: “… bahwa lembaga seperti ini dan yang semisalnya mengeluarkan fatwa-fatwa yang memberikan legimitasi akan perbuatan penguasa tadi dan mereka menyebutkan sebagai ‘Waliyul Amr’, padahal dia bukanlah wali (pemimpin) kaum muslimin, maka sudah selayaknya waspada dalam hal itu.
Barangkali, orangpun terheran-heran; bagaimana mungkin masuk di akal, bahwa seorang Syaikh Fulan atau syaikh itu dengan banyaknya ilmu yang ia miliki dan tuanya usia dia, mungkinkah ia akan menjual dînnya dengan harta duniawi yang tak seberapa?!
… Hal ini teramat penting untuk diketahui, agar tergambar dalam benak kalian bahwa pondasi bangunan Majelis Kibârul ‘Ulamâ’ itu singkron dengan istana Kerajaan Saudi, …, maka akankah kamu pergi menanyakan kepada lelaki yang menjadi pegawai dan menerima gaji dari kerajaan?! …, janganlah Anda pergi bertanya kepada pegawai kerajaan tentang hukum kerajaan!”. (Nasehat dan Wasiat Kepada Umat Islam Dari Syaikh Mujahid Usâmah bin Lâden, hal. 64, 69-70).
Abu Muhammad Al-Maqdisi
Ketika berbicara tentang para ‘ulama di Saudi ‘Arabia, terkhusus Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi, Abu Muhammad Al-Maqdisi berkata: “Terakhir, saya mengingatkan dan memperingatkan Akhi Muwahhîd agar jangan sekali-kali terpedaya oleh para ulama pemerintah yang pura-pura tidak tahu terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya, berupa kekafiran-kekafiran serta kebobrokan-kebobrokan keluarga Su’ud dan pemerintahnya. Demi Allah, jangan sampai Anda sekalian terpedaya dengan ijazah-ijazah, gelar-gelar, jenggot-jenggot, dan sorban-sorban mereka.” (hal. 301)
Dia juga berkata: “Perhatikanlah, bagaimana para syaikh ada di setiap tempat. Inilah Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Ibnu Utsaimin, pegawai negara, dan mereka yang membela-bela dan melindungi negara ini. … .” (hal. 303, cetak tebal pada dua penukilan di atas dari kami)
59) Contohnya adalah ucapan Imam Samudra di bukunya “Aku Melawan Teroris!” : “Berbeda dengan mereka yang hidup di lingkungan yang jauh dari desingan peluru, yang sehari-harinya berada di tengah-tengah keadaan yang serba wah, serba mapan, serba comfortable. Hidup di tengah kerumunan para penggemarnya, penuh decak kagum dan pujian, penuh fasilitas dan seabreg kemudahan lainnya. Per-bedaan gaya hidup akan menimbulkan pemahaman sikap yang berbeda. Pemahaman yang berbeda akan melahirkan pertimbangan dan cara pandang yang berbeda. Selanjutnya, akan melahirkan fatwa yang berbeda pula. Dus, dalam kondisi semacam ini, fatwa siapakah yang lebih mendekati kebenaran?” [Aku…: hal 68-69]
60) Salman Al-’Audah dalam pernyataannya ketika berbicara tentang Hai‘ah Kibaril ‘Ulama‘: “Dan di negeri-negeri Islam pada masa kini, terdapat berbagai lembaga yang banyak sekali namun tidak tersisa lagi perkara yang mereka urusi dalam agama ini -padahal lembaga tersebut bisa jadi sebagai penanggung jawab urusan fatwa atau bahkan menangani berbagai urusan keislaman- kecuali sekadar bertugas mengumumkan masuk atau keluarnya bulan Ramadhan … .” (dinukil dari kaset Waqafat Ma’a Imami Daril Hijrah. Lihat Al-Quthbiyyah hal. 112)
Dalam kesempatan lain ia berkata -dalam upayanya melecehkan para ‘ulama-: “… peristiwa ini pun (peristiwa Perang Teluk) mempertegas bahwasanya mereka (para ‘ulama) tidak memiliki kapasitas untuk menghadapi berbagai macam tragedi besar semacam ini, dan bahkan peristiwa ini menguak tentang tidak adanya referensi/rujukan ilmiah yang benar dan bisa dipercaya bagi kaum muslimin, yang memiliki kemampuan untuk membatasi ruang lingkup perselisihan yang terjadi atau mampu memberikan solusi (jalan keluar) yang matang dan benar. … .” (wawancara yang dimuat dalam majalah Al-Ishlah Emirat edisi 223, hal. 11. Lihat Al-Quthbiyyah hal. 112).
Hal yang sama dilakukan pula oleh Safar Al-Hawali dalam kitabnya yang diberi judul Kasyful Ghummah ‘an ‘Ulama-il Ummah di waktu lain diberi judul Haqa`iq Haula Azmatil Khalij, dan dikemudian hari diberi judul Wa’d Kissinjer.
Sebagai contoh, lihat ucapan Muhammad Al-Mis’ari pada halaman 51.
Contohnya juga ucapan dari Imam Samudra: “… Dewan Fatwa Saudi Arabia yang -dengan segala hormat- kurang mengerti trik-trik politik…”
61) Contohnya adalah pernyataan Usamah bin Laden yang dengan dusta menyatakan bahwa Ha‘iah Kibaril ‘Ulama‘ mendapatkan tekanan dari pemerintah Saudi ketika mengeluarkan fatwa tentang bolehnya meminta bantuan kepada tentara Multinasional dalam kasus teluk. Dia nisbahkan kedustaan ini pada Asy-Syaikh Al ‘Utsaimin. Sementara Asy Syaikh Al-’Utsaimin sendiri sebagai seorang ‘ulama ternama di masa kini, membuktikan dengan fatwa-fatwanya, dan sikap-sikap beliau, bahwa pernyataan Usamah bin Laden itu adalah dusta atas nama beliau dan para ‘ulama.
Begitulah kebiasaan kaum Khawarij yang sering mencatut fatwa-fatwa para ‘ulama Ahlus Sunnah, serta memanipulasinya untuk mengelabui umat. untuk lengkapnya para pembaca bisa melihatnya pada buku kami yang berjudul “Mereka Adalah Teroris”Pustaka Qaulan Sadida halaman 486-497 (cet. II) atau halaman 473-484 (cet. I) terbitan .
62) Tak kalah kejamnya adalah ucapan salah satu tokoh besar mereka sekaligus dedengkot kelompok sempalan Hizbut Tahrir (HT), yang bernama Muhammad Al-Mis’ari, terhadap salah satu ‘ulama besar Ahlus Sunnah masa kini, yang telah menghabiskan hidup, jiwa, dan hartanya untuk dakwah dan tarbiyyah umat Islam, yaitu Asy-Syaikh Al-‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin Baz . Al-Mis’ari menyatakan dalam selebaran yang dikeluarkan Lajnah Ad-Difa’ anil Huquqisy Syar’iyyah, dan dia juga sebagai Juru Bicara resminya, sebagaimana telah kami kemukakan pada halaman 51.
Dari Mengidentifikasi Neo-Khawarij … hal. 120-124
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah membaca artikel kami. Silahkan berkomentar dengan sopan.